Menguak pemalsuan dokumen MK jangan hanya menanti kerja Panja Mafia Pemilu, yang mungkin teramat lama. Lebih baik Mabes Polri membuka kembali laporan Mahfud MD
Publik telah dikejutkan oleh dugaan pemalsuan terhadap dokumen putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus penentuan caleg Pemilu 2009, yang disebut-sebut melibatkan mantan anggota KPU Andi Nurpati, yang kini jadi juru bicara Partai Demokrat.
Komisi II DPR sudah meresponsnya dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu (SM, 17/06/11). Sebagai sebuah modus kejahatan itu tergolong langka dan unik karena berani menukar produk keadilan dengan uang, prestise, dan mungkin juga kekuasaan politik.
Di negeri ini nyaris tak ada lagi sebuah dokumen sakral. Padahal, dalam praktik di negara hukum manapun di dunia, baik yang bertradisi Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon, dokumen keputusan hukum sangat bernilai tinggi. Karena itu, orang tak berani memalsukannya, kecuali di negeri ini.
John Rawl (1971) berteori bahwa dokumen putusan hukum dianggap bernilai tinggi dan sakral, karena hanya lewat dokumen inilah tercermin rasa keadilan yang abstrak menjadi konkret dan dapat dinalar. Ketika sebuah dokumen hukum dipalsukan berarti aktor pelakunya telah mengalami bias moralitas yang akut.
Ini adalah kejahatan yang sempurna. Bahkan dapat disebut praktik kejahatan dengan mengunakan hukum sebagai alat utamanya. Hukum yang semula alat untuk melakukan perubahan sosial (law as a tool of social engineering) bereposisi menjadi alat untuk kejahatan (law as a tool of crime).
Dalam perjalanannya, Andi Nurpati membantah ia pelakunya karena saat itu ia hanya menerima dokumen putusan MK untuk bahan rapat pleno KPU memutuskan caleg terpilih DPR (SM, 17/06/11). Pernyataan ini mudah diduga bahwa pemalsu dokumen MK tidaklah sendiri, melainkan sindikat terorganisasi.
Apalagi untuk menjadikan seseorang pejabat publik (anggota DPR) sehingga tidak menutup kemungkinan atas dasar pesanan politik partai tertentu. Jenis kejahatan ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian tertentu dan memiliki otoritas jabatan khusus. Modus ini dapat digolongkan sebagai kejahatan berkerah putih.
Membuka Laporan
Kasus ini juga mengundang pertanyaan publik, mengapa peristiwa tahun 2009 baru dapat diungkap 2011? Padahal menurut Ketua MK Moh Mahfud MD, ia telah melaporkan kasus ini ke Mabes Polri tahun 2009, yang dibantah Polri. Apakah Polri sengaja membiarkan kasus ini karena masyarakat kita mudah melupakan dan pemaaf? Ataukah pembiaran ini dilakukan agar kasus ini tidak diarahkan pada tindak pidana murni tetapi diseret ke ranah politik, sehingga secara sistemik dimaksudkan untuk menurunkan kredibiltas institusi KPU?
Jika diarahkan ke pidana murni, dipastikan hanya akan melibatkan Andi Nurpati dan ini berisiko menurunkan kredibilitas Partai Demokrat. Tetapi jika dibawa ke ranah politik maka akan melibatkan semua anggota KPU.
Pesan politik yang dapat ditangkap adalah agar publik segera melucuti dan menghakimi buruknya manajemen kepemiluan 2009. Apalagi saat ini DPR tengah merevisi UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang diproyeksikan untuk memperpendek masa kerja KPU dan me-reshuffle semua anggota KPU.
Apapun motifnya, ketika komisi II DPR membentuk Panja Mafia Pemilu, patut diapresiasi positif, bukan saja diharapkan mampu menguak tabir gelap kasus ini secara politis melainkan sekaligus pembelajaran publik, bahwa sindikat pemalsuan telah sampai pada kejahatan pemalsuan surat putusan hukum yang sakral.
Diharapkan juga mampu memberikan peringatan pada publik dan pejabat publik pusat dan daerah agar selalu berhati-hati membuat putusan apapun karena rawan dibajak dan dipalsukan.
Menguak tabir gelap kasus ini seharusnya tidak hanya menanti kerja Panja Mafia Pemilu, yang mungkin teramat lama. Lebih baik Mabes Polri membuka kembali laporan Mahfud MD. Soalnya, kasus itu bukan kejahatan pemilu yang merupakan lex specialis mengingat peristiwa hukumnya telah kedaluwarsa.
Kasus itu merupakan tindak pidana murni sehingga pelakunya bisa dijerat ”melalui” Buku II Bab XII KUHP tentang Pemalsuan Surat Pasal 263 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) tentang Pelaku yang Menyuruh Melakukan, Turut Serta Melakukan, dan Penganjur, dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara. (Sumber: Suara Merdeka, 23 Juni 2011).
Tentang penulis:
Agus Riewanto, Ketua KPU Kabupaten Sragen, kandidat doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta