Salah satu persoalan yang memantik perdebatan kontroversi, terkait dengan hasil revisi UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, adalah peran partai politik (parpol) yang menjadi lebih dominan. Pasalnya, dengan UU baru itu, parpol terlibat dalam penetapan dan pengawasan, sekaligus bisa masuk dalam struktur lembaga penyelenggara pemilu. Paling tidak ada 3 (tiga) pasal krusial. Pertama; Pasal 11 Huruf (i) UU baru ini yang memberi peluang bagi anggota/ pengurus parpol turut dalam pencalonan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota. Anggota parpol boleh mendaftar sebagai calon anggota KPU dengan syarat mundur dari parpol, begitu mendaftar. Padahal di UU lama, anggota parpol tidak boleh mencalonkan, kecuali tak terlibat dalam keanggotaan dan kepengurusan parpol minimal 5 tahun sebelumnya.
Kedua; Pasal 8 Ayat (1) Huruf c, Ayat (2) Huruf c, dan Ayat (3) Huruf a mengenai kewajiban bagi KPU dalam menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk tiap tahapan pemilu setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Dalam UU sebelumnya KPU sangat independen dalam menentukan dan mengatur jadwal dan tahapan pemilu.
Ketiga; Pasal Pasal 109 Ayat (4) yang mengatur tentang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang komposisinya mengikutsertakan perwakilan 9 parpol di DPR, dan juga pemerintah. UU sebelumnya tidak mengatur masalah itu, dan KPU hanya mengatur ketentuan kode etik bagi penyelenggara pemilu dengan membentuk Dewan Kehormatan, beranggotakan pengurus KPU, tokoh masyarakat, dan akademisi, sama sekali tidak ada unsur parpol dan pemerintah.
Sesungguhnya, polemik boleh tidaknya kader parpol jadi penyelenggara pemilu berpangkal pada multitafsir terhadap makna ‘’mandiri’’ dalam Pasal 22 E Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, bahwa pemilu diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Apakah makna mandiri berarti penyelenggara pemilu adalah nonpartisan atau sebaliknya partisan ?
Rujukan untuk menjawab ini mestinya dilakukan dengan cara mendalami secara filosofis makna mandiri berdasar UUD 1945 pascaamendemen, bukan berdasarkan tafsiran politis yang sarat kepentingan politik jangka pendek. Makna KPU mandiri dalam Pasal 22 E Ayat (5) UUD 1945 itu sesungguhnya menyiratkan pada maksud, bahwa penyelenggara pemilu haruslah bebas dari segala bentuk pengaruh pihak lain yang dapat mengurangi kemampuannya dalam penyelenggaraan pemilu.
Mengubah Personalitas
Artinya kemandirian itu bukan hanya personalitasnya melainkan juga secara kelembagaan.
Adalah tidak etis bila pemilu diselenggarakan oleh kader partai yang partainya ikut berkompetisi dalam pemilu. Jika anggota KPU berasal dari partai, yang akan terjadi sesungguhnya bukan saling kontrol dalam proses penyelenggaraan pemilu melainkan saling bekerja sama menyelamatkan perolehan suara partai masing-masing.
Kita bisa berkaca pada Pemilu 1999, saat keanggotaan KPU berasal dari partai peserta pemilu. Waktu itu 27 anggota KPU yang partainya kalah, menolak menandatangani pengesahan hasil. Dalam pemilu ‘’teraneh’’ itu akhirnya Presiden BJ Habibie mengambil inisiatif mengesahkan padahal mestinya KPU. Bila anggota KPU mendatang berasal dari kader partai, sebagaimana dikehendaki Komisi II DPR, tragedi Pemilu 1999 terulang pada Pemilu 2014 dan kita menuai kemunduran demokrasi.
Mencermati UU baru tersebut, yang memberikan peran dominan parpol dalam penyelenggaraan pemilu, lebih disebabkan dendam politik atas hasil Pemilu 2009. Jikapun terjadi persoalan dalam penyelenggaraan pemilu, lebih karena produk UU Pemilu, yakni UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden yang penuh multitafsir, inkonsistensi antarpasal, dan penuh rekayasa kepentingan politik.
Jadi waktu itu energi KPU Pusat lebih banyak digunakan untuk memahami dan membuat aneka peraturan teknis pemilu, dan melupakan manajemen penyelenggaraannya. Dengan demikian, keinginan UU baru yang menghendaki KPU diisi kader parpol lebih didorong oleh keinginan mengubah personalitas KPU, bukan sistem pemilu. Padahal sejatinya keberhasilan pemilu sepanjang 1955-2009 lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sistem melalui paket UU pemilu, bukan faktor personalitas penyelenggaranya.
(Sumber: Suara Merdeka, 04 Oktober 2011).
Tentang penulis:
Agus Riewanto SAg SH MA, Ketua KPU Kabupaten Sragen, kandidat doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta