Drama reshuffle kali ini, bila konteksnya membicarakan menteri, sesungguhnya tak ada yang luar biasa karena hanya mengurangi jatah partai koalisi dua pos menteri, yakni Golkar (Fadel Muhammad/ Menteri Perikanan dan Kelautan) digantikan oleh Sharif Cicip Sutardjo, dan PKS (Suharna Surapranata/ Menristek) digantikan oleh Gusti Muhammad Hatta. Namun yang mengejutkan adalah penambahan pos wakil menteri (wamen). Presiden menambah 13 wamen, dari sebelumnya 6, kini menjadi 19 wamen. Ini adalah kabinet paling gemuk sepanjang sejarah kementerian dalam sistem presidensial. Terkait dengan penambahan nomenklatur wamen yang berlebihan ini, legalitasnya patut dipertanyakan dari aspek politik dan hukum.
Pertama; wamen sesungguhnya jabatan karier PNS dengan pangkat eselon I/ A sebagaimana ketentuan Perpres (lama) Nomor 47 Tahun 2009. Artinya hanya PNS yang memenuhi kriteria dan kepangkatan tertentulah yang dapat menduduki pos itu.
Namun ketentuan dalam regulasi itu diingkari oleh SBY dengan melahirkan Perpres Nomor 76 Tahun 2011 pada 13 Oktober 2011, beberapa hari sebelum pemanggilan calon wamen.
Melalui regulasi baru itu, jabatan wamen tidak lagi mensyaratkan jabatan karier PNS bereselon I/ A di kementeriaan bersangkutan, tetapi bisa berasal dari unsur profesi apapun sepanjang dikehendaki Presiden. Kedua; perpres baru produk SBY ini sesungguhnya melahirkan inkonsistensi dalam penataan birokrasi sekaligus mematisurikan karier meritokrasi PNS.
Kehadiran perpres baru ini tampaknya untuk memasukkan orang-orang SBY, seperti Denny Indrayana (Staf Khusus Presiden Bidang Hukum) yang kini diserahi tugas baru sebagai Wamenkumham, Eko Prasojo (guru besar UI) yang diserahi tugas sebagai Wamen PAN dan RB, Widjajono Partowidagdo (guru besar ITB) yang ditugasi sebagai Wamen ESDM dan kalangan profesional lainnya untuk menempati sejumlah pos.
Sebelumnya, Perpres (lama) Nomor 47 Tahun 2009 menelan korban Anggito Abimanyu (ekonom UGM) yang gagal jadi Wamenkeu karena dia tak memenuhi persyaratan kepangkatan PNS setara eselon I/ A. Saat itu, SBY tidak membela Anggito tapi malah merestui Anggito mundur dari jabatan Deputi Fiskal BI.
Sebaliknya, saat menghendaki orang-orangnya, SBY mengeluarkan perpres baru untuk mengakomodasi kepentingan politik jangka pendek.
Kepentingan Politik
Ketiga; perpres baru itu juga melanggar ketentuan yang lebih tinggi, yakni UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang mengatur wamen merupakan birokrat karier. Bahkan secara eksplisit berdasar ketentuan Pasal 10, UU Nomor 10 Tahun 2008 memang membolehkan presiden mengangkat wamen jika ada beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus.
Namun dalam penjelasannya, pasal itu juga mengatur kewajiban wamen diduduki pejabat karier dari unsur PNS dan bukan merupakan bagian anggota kabinet. Lebih dari itu, UU ini membatasi jumlah menteri dan nonkementerian dalam kabinet maksimal 34 orang. Ini dimaksudkan agar kementerian efektif dan efesien bekerja. Lebih dari itu, agar presiden tidak mudah menambah dan mengurangi jumlah menteri sesuai selera politiknya.
Keempat; kelahiran perpres baru SBY yang membolehkan unsur non-PNS menduduki jabatan wamen dari konteks jumlah dan komposisinya yang gemuk juga bertentangan dengan Perpres Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Tugas kementerian Negara, yang mengatur tentang pembatasan jumlah wamen di kementerian maksimal 9, yakni untuk posisi wamen di Kemenlu, Pertahanan, Pertanian, Perhubungan, Pekerjaan Umum, Diknas, dan Bapenas.
Kegamangan SBY itu mencerminkan ia tersandera oleh kepentingan politik dalam skema sistem presidensial, namun bercita rasa parlementer. Di titik ini bisa dipahami bahwa kehadiran 19 wamen adalah ilegal secara politik-hukum, bukan saja memperboros anggaran negara melainkan juga berpotensi mempergemuk dan memperpanjang rantai birokrasi, serta mempersulit pembagian kerja dengan menteri dan sekjen di kementerian. Lebih dari itu, bertentangan dengan aneka produk perpres sebelumnya dan UU yang lebih tinggi.
(Sumber: Suara Merdeka, 25 Oktober 2011)
Tentang penulis:
Agus Riewanto, kandidat doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta