Mahkamah Konstitusi (MK) menorehkan keputusan berani dengan menganulir jabatan wakil menteri (wamen) dengan alasan bertentangan dengan Pasal 17 dan 28 D Ayat (1) UUD 1945. Pengangkatan wamen mendasarkan pada norma baru dalam Penjelasan Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, padahal MK telah membatalkan penjelasan itu.
Keberadaan wamen juga melanggar asas legalitas karena tak sejalan dengan maksud semula (original intent) pembentuk UU Nomor 39 Tahun 2008, yaitu presiden harus efektif dan efisien membentuk kementerian negara. Artinya tak boleh mengobral jabatan menteri/ kementerian atau sekadar mengakomodasi kepentingan partai koalisi.
Terkait dengan putusan MK, ada sejumlah implikasi terhadap nasib 19 wamen. Pertama; jabatan itu kini status quo, eksistensinya tak lagi memiliki pijakan hukum kuat sebab mereka diangkat Presiden SBY dengan Perpres Nomor 76 Tahun 2011 pada 13 Oktober 2011. Padahal perpres itu berdasarkan Penjelasan Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 sudah dibatalkan oleh MK.
Kendati, putusan MK tidak menyebut perpres itu tidak berlaku lagi, pemaknaannya perpres itu batal. Putusan MK berbeda dari putusan PTUN yang selalu jelas menyebut pembatalannya terhadap produk peraturan di bawah UU. Adapun putusan MK membatalkan produk UU di bawah UUD 1945.
Kedua; wamen tidak lagi dianggap jabatan karier. Pasalnya Penjelasan Pasal 10
UU Nomor 39 Tahun 2008 menyebutkan jabatan itu hanya boleh diisi oleh PNS setara eselon 1/A. Pembatalan atas penjelasan pasal itu mengandung konsekuensi bahwa kedudukan wamen harus diperjelas lagi oleh SBY. Artinya, bila tetap membiarkan mereka menjabat wamen, SBY harus memperbaiki perpres lama dengan perpres baru, supaya bisa mengangkat wamen kendati bukan dari pejabat karier.
Soal Pemahaman
Ketiga; putusan MK itu ingin menegaskan bahwa wamen adalah jabatan karier PNS, tak boleh diisi mereka dari profesional non-PNS. Sebelum ada putusan MK, jabatan wamen bisa dianggap tidak jelas: antara ada dan tiada. Disebut wamen tetapi faktanya dipilih dan dilantik sendiri oleh presiden, bahkan melalui semacam fit and proper test layaknya calon menteri.
Padahal jika mengikuti logika hukum administrasi kepegawaian, wamen adalah jabatan karier yang prosedurnya diusulkan oleh menteri, lalu dibawa ke wapres yang bersama-sama tim penilai jabatan akan mengusulkan nama itu kepada presiden.
Saat ini nasib wamen bergantung pada Presiden SBY, apakah akan mempertahankan mereka dengan konsekuensi masuk dalam struktur kabinet. Risikonya kabinet menjadi gemuk karena ada tambahan 19 orang, yang berarti ada pemborosan anggaran negara.
Bisa juga SBY meniadakan jabatan wamen namun mengangkatnya dalam bentuk jabatan politis (political appointee), misalnya sebagai staf khusus, utusan khusus, atau apa pun sebutannya, kendati dijabat oleh orang yang sama, di antara 19 wamen itu. Karena itu, jabatan wamen antara ada dan tiada, dan semua bergantung pada SBY.
Realitas keputusan MK menunjukkan bahwa secara politik hukum ada krisis pemahaman hukum administrasi dan ketatanegaraan, terutama di lingkungan Sekretariat Negara (Setneg) dan kantor Sekretaris Kabinet (Setkab). Peristiwa serupa pernah terjadi saat jaksa agung yang dijabat Hendarman Supandji digugat legalitasnya dan dianulir oleh MK.
Kini saat yang tepat untuk membenahi birokrasi di Setneg dan Setkab, dengan menempatkan ahli hukum administrasi dan hukum tata negara agar peristiwa serupa tak terus terulang. Pasalnya hal itu bisa membahayakan legitimasi hukum atas produk-produk jabatan pada era SBY.
(Sumber: Suara Merdeka, 09 Juni 2012).
Tentang penulis:
Agus Riewanto SH MA, kandidat doktor Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta