Hakim MK dan Pemilu

Patrialis Akbar resmi menjadi hakim konsitusi setelah mengucapkan sumpah di depan Presiden SBY di Istana Negara (SM, 14/8/13). Menarik mencermati proses pergantian hakim Mahkamah Konsitusi (MK). Bukan saja karena pentingnya institusi ini sebagai pengawal konstitusi melainkan juga pengangkatan Patrialis berdekatan dengan Pemilu 2014.

Karena itu, proses suksesi hakim konsitutusi tahun ini dipastikan beraroma dengan agenda kepentingan pemilu, terutama dalam menangani sengketa hasil pemilu. Tidak terlalu mengherankan bila politikus dipersiapkan mengisi lowongan hakim konstitusi dengan tujuan mengamankan kepentingan kelompok atau golongannya dalam pemilu.

Realitas itu terbaca dari keberadaan beberapa politikus di mahkamah tersebut, seperti Akil Muchtar (Ketua MK/ Golkar) dan Hamdan Zoelva (hakim anggota MK/ PBB) dan saat ini Patrialis. ‘’Tradisi’’ politikus menjadi hakim konsitusi membayakan posisi MK yang harus netral, nonpartisan, dan mandiri dari intervensi partai. Kesalahan utama selama ini ada pada politik hukum yang disusun dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang memberi ruang model pengusulan hakim konstitusi dari tiga MA, DPR, dan Presiden.

Bila tiga institusi berdisiplin menggunakan hak prerogatif masing-masing sebetulnya tidak masalah. Realitasnya tiga institusi ini selalu disusupi oleh politikus dan yang diusulkan lebih banyak aktivis partai ketimbang akademisi atau profesional. Proses seleksi hakim konstitusi menjadi rebutan parpol untuk menempatkan kadernya guna menyelamatkan hasil sengketa pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden.

Sengketa Pemilu

Kecuali MA, tak dapat dimungkiri DPR dan presiden adalah ‘’institusi politik’’ yang dalam mengambil keputusan terkait jabatannya tak dapat melepaskan dari penjara politik kepentingan jangka pendek. Apalagi hakim konstitusi memiliki posisi strategis, terutama terkait dengan pembubaran partai dan pemutusan sengketa hasil pemilu. Hasil putusan MK pun bersifat final sehingga dua otoritas ini diincar sejumlah partai yang bersiap maju tahun 2014, baik dalam pileg maupun pilpres.

Bila pada masa mendatang seleksi hakim konsitusi lebih mengedepankan kepentingan jangka pendek dengan lebih mengakomodasi kepentingan politikus parlemen dan presiden, hal itu akan mengaburkan fungsi utama hakim konstitusi sebagai pengawal konstitusi.

Padahal MK diharapkan mampu menempatkan hukum sebagai panglima, berdiri mengatasi politik atau menegakkan prinsip negara hukum, bukan negara kekuasaan di tangan segelintir orang.

Karena itu, sedini mungkin publik perlu mencermati secara serius agar proses seleksi hakim konstitusi benar-benar steril dari aroma kepentingan politik pemilu, dan berpihak pada kepentingan jangka panjang. Saatnya kini proses seleksi hakim konstitusi sedapat mungkin melibatkan partisipasi semua unsur dalam masyarakat, melalui penjaringan nama-nama calon.

Para kandidat tak boleh hanya didominasi oleh politikus parlemen, usulan, atau hakim karier di MA tetapi juga perlu kehadiran akademisi, pegiat LSM, dan institusi kepentingan yang lain, sebagaimana amanat Pasal 19 dan 20 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang MK. Keberadaan pasal itu dalam kaitan membentengi Mahkamah Konstitusi supaya steril dari politisasi kepentingan partai politik.

Tak kalah penting, penjaringan calon hakim konsitusi tidak hanya berlatar pendidikan hukum ketatanegaraan, tetapi juga politik, administrasi, dan HAM, serta pemahaman pengarusutamaan gender. Pengerucutan nama calon hakim konstitusi hanya berlatar belakang ketatanegaraan dan didominasi laki-laki, tidaklah ‘’cukup’’ untuk memutus aneka sengketa hukum di Mahkamah Konstitusi.

Pada masa mendatang sengketa hukum di Mahkamah Konstitusi dipastikan bergeser mengikuti perkembangan di masyarakat, dan tidak tertutup kemungkinan bergerak menuju kompleksitas sengketa semisal menyangkut HAM, diskriminasi gender, administrasi negara, pajak, teknologi, lingkungan hidup dan lain-lain. Di titik itu, negara kita butuh hakim konstitusi yang menguasai aspek-aspek tersebut, selain berbekal pengetahuan luas tentang aspek-aspek kenegaraan.

(Sumber: Suara Merdeka, 14 Agustus 2013)

Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sragen

About admin

Check Also

Polemik Mural Jokowi 404:Not Found di Tangerang, Pakar Hukum: Bukan Melanggar Simbol Negara

TRIBUN-VIDEO.COM – Mural Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertuliskan 404:Not Found di Tangerang tengah menjadi …

Waiting for the Constitutional Court’s Decision and the Hybrid Election System

By : AGUS RIEWANTO l 16 Mei 2023 The Constitutional Court is convening to decide …

Menanti Putusan MK dan Sistem Pemilu Hibrida

Oleh : AGUS RIEWANTO l 16 Mei 2023 07:37 WIB· Menyimak persidangan di MK yang …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *