Agus Riewanto ; Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA, 08 November 2013
SETIAP 10 November bangsa kita memiliki romantika sejarah yang terus dikenang sepanjang masa karena pada 10 November 1945 di Surabaya, rakyat bangkit dengan dipimpin Bung Tomo yang menggelorakan semangat perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dari kolonial Belanda menuju negara yang kuat dan mandiri. Perayaan Hari Pahlawan Nasional ini selalu diperingati sepanjang tahun, di samping untuk mengenang semangat perjuangan para pahlawan bangsa, untuk meneguhkan nasionalisme (kecintaan tanah air).
Kedua semangat itu rasanya hari-hari ini telah kehilangan elan vitalnya sebab kini secara fisik tak ada lagi penjajahan atau koloni di negeri kita. Karena itu, untuk membangkitkan semangat yang terkandung di dalamnya, guna menginspirasi generasi pasca-1945 yang hidup di era reformasi ini perlu ditemukan makna barunya yang lebih adaptif dan fleksibel dengan isu-isu kekinian.
Meminjam ungkapan Ernst B Hass, dalam tulisannya berjudul Nationalism: An Instrument Social Construction (1993: 508), menyatakan nasionalisme merupakan doktrin solidaritas sosial yang dilandasi ciri-ciri dan simbol-simbol kebangsaan. Kate Manzo (1955:44) menyatakan nasionalisme dapat berkaitan dengan tingkah laku yang dimotivasi ideologi. Bila gagasan Erns B Hass dan Kate Manzo ini diadaptasi, kita harus dapat menumbuhkan solidaritas nasionalisme kita untuk dapat memotivasi generasi baru guna menancapkan ideologi baru perlawanan terhadap kolonial baru, yakni perilaku korupsi.
Republik ini tengah menyongsong kebangkrutan karena hampir seluruh harta kekayaan alam dan kekayaan yang dihimpun dari dana pajak rakyat dalam bentuk APBN dan APBD nyaris habis dicuri para koruptor ini. Aktor-aktor koruptor tidak lagi di pusat-pusat kekuasaan eksekutif (menteri, gubernur, bupati/wali kota, dan BUMN/BUMD), tetapi telah merambah di legislatif (DPR/ DPRD), bahkan di partai politik, begitu pula telah bersemayam di tubuh yudikatif (hakim, jaksa, dan polisi).
Mencari pahlawan antikorupsi
Setelah melihat fenomena korupsi yang mengerikan itu, Hari Pahlawan yang setiap tahun kita peringati kiranya dijadikan alat solidaritas dan ideologi untuk mencari pahlawan baru, yakni manusia Indonesia yang bersedia hidup bersih dari noda korupsi dan mau berjuang melawan syahwat korupsi.
Di titik ini kita perlu mewujudkan pahlawan baru di era reformasi dengan pertamatama menemukan maskot atau semacam common platform untuk membentuk kesadaran publik akan perlunya mencintai negerinya agar tidak bangkrut akibat perilaku korupsi para elite ekonomi dan politiknya. Bangsa ini sungguh menderita akibat korupsi ini. Persis seperti kata Ernest Renan P (1823-1892) dalam bukunya, ( Qu’est-ce qu’une Nation? (What is Nation?) (1996:41-55), bahwa timbulnya rasa cinta negara (nasionalisme) pertama-tama tumbuh dari perasaan menderita bersama (having suffered together) sehingga dirasa perlu menjemput kegemilangan (genuine glory).
Hari-hari ini kita sungguh merindukan lahirnya pahlawan-pahlawan baru antikorupsi. Mengapa? Karena sistem pemberantasan korupsi di negeri nyaris hanyalah ilusi dan absurd tanpa ditopang manusia-manusia yang sudi hidup jujur dan se derhana. Lihat dalam fenomena berikut ini.
Reformasi birokrasi
Pertama, terbentuknya setiap pemerintahan baru di era reformasi sejak 1998 hingga 2013 ini tak segera digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan konsolidasi kekuatan-kekuatan antikorupsi dan melakukan reformasi birokrasi yang akurat dan tepat untuk mengoreksi keburukan warisan rezim terdahulu, tetapi hanya untuk melindungi segelintir kelompok tertentu, menumpuk pundi-pundi uang dan kekuasaan. Nyaris mematisurikan gerakan antikorupsi dan reformasi.
Kekuasaan politik berbasis parpol ternyata hanya alat untuk memperkukuh kekuasaan dan saling berebut lahan lahan proyek basah di birokrasi dan kabinet. Akhirnya parpol kehilangan elan vitalnya sebagai instrumen gerakan reformasi dan antikorupsi.
Bahkan menurut Eko Prasodjo (2007), tak berjalannya reformasi birokrasi telah menghambat jalannya pemberantasan korupsi. Kalaupun ada, reformasi hanyalah setengah hati dan belum dapat lepas dari jeratan pengaruh kekuasaan dan parpol. Karena itu, menyaksikan birokrasi di negeri ini serasa melihat birokrasi kolonial. Pada hal, mengadaptasi kata Weber (1958), efisiensi birokrasi dan buruknya perilaku birokrasi hanya mungkin dapat dihin dari melalui refor masi struktur birokrasi yang pendek dan tidak gemuk.
Pemilu 2014 konsolidasi demokrasi
Kedua, segera mengakhiri slogan politik transisi demokrasi. Pemilu 2014 mendatang hendaknya dapat mengakhiri transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. Karena itu, aneka problem teknis Pemilu 2014, mulai soal kisruh daftar pemilih tetap (DPT), penggunaan teknologi informasi, hingga anggaran seharusnya bukan menjadi kendala bagi hadirnya pemilu demokratis sebagai prasyarat demokrasi yang terkonsolidasi.
Kelambatan transisi demokrasi selama tiga kali pemilu (1999, 2004, dan 2009) pascaOrde Baru telah mengakibatkan bekerjanya sistem politik di tingkat prosedural dan tak mengubah perilaku korupsi elite politik lokal dan nasional dari warisan Orde Baru karena ternyata korupsi di era reformasi ini bahkan jauh lebih vulgar, terstruktur, masif, dan sistematis di semua lini di negeri ini. Akhirnya substansi demokrasi menjelma menjadi zombi-zombi yang siap menerkam siapa saja, kini demokrasi menjadi jauh dari harapan. Membaca transisi demokrasi Indonesia ialah membaca pergantian simbol dan prosedur belaka, bukan pergantian substansi, yakni ntikorupsi, perilaku jujur dan bersih.
Demokrasi kita hari ini ialah demokrasi semu yang penuh tipu muslihat, mudah diucapkan setiap elite politik, tetapi sulit dilakukan bahkan dilupakan saat dibuai jabatan kekuasaan politik dan dimanja gelimangan fasilitas negara yang mudah dikorupsi dan dimanipulasi. Mengeja praktik demokrasi Indonesia seperti membaca teks-teks mati tanpa makna. Demokrasi tak lagi menjadi alat untuk menggapai kemakmuran rakyat, tapi menjadi tujuan bagi mereka yang hidup di masa transisi yang tak jelas. Demokrasi telah dibajak kaum berkerah putih, hanya bisa melukai bahkan membunuh kaum miskin dan lebih menguntungkan kelompok-kelompok elite politik, pemodal, dan rente ekonomi.
Modernisasi sistem kepartaian
Ketiga, mandulnya desain institusi parpol dalam merekrut kader-kader terbaiknya sehingga parpol bertekuk lutut pada kemauan dan tekanan pengurus parpol untuk berebut kue kekuasaan. Model itu telah mematikan hubungan parpol dengan konstituen politik mereka dan kian menumbuhkan budaya paternalistis parpol.
Mekanisme perekrutan kader, penentuan calon kepala-kepala daerah dalam pemilu kada langsung, bukan didasarkan pada visi dan platform parpol dan kader terbaiknya, melainkan sekadar atas pertimbangan kedekatan personal dan besarnya `mahar’ yang digelontorkan ke parpol. Akibatnya tatkala anggota parpol, ketua parpol, dan para kepala daerah terpilih terlibat korupsi, parpol tak mampu memberi sanksi memadai.
Partai politik ialah aktor utama sistem demokrasi perwakilan, kalau perilaku parpol tak baik, demokrasi pasti tak dapat berjalan dengan baik pula. Dalam bahasa yang agak berbeda Richards Katz (1980:1) mengatakan, “No democracy without politics, and no politics without parties. Modern democray is party democracy: anti-corruption (tidak mungkin ada demokrasi tanpa hadirnya parpol, dan bukanlah politik jika tanpa parpol. Demokrasi yang modern ditandai oleh sistem kepartaian yang modern: salah satunya antikorupsi).“
Jika kita menghendaki pemberantasan korupsi bukan sekadar ilusi setiap rezim, sudah saatnya kita perlu mendesain sistem hukum dan sosial-politik kita untuk dapat melahirkan generasi baru antikorupsi. Makna baru yang dapat dipetik dari peringatan Hari Pahlawan Nasional kita kali ini ialah mencari pahlawan antikorupsi. ●