Parpol Biang Korupsi Sistemik

Oleh Agus Riewanto

Hari ini masyarakat memperingati Hari Antikorupsi. Hampir tiap negara memiliki problem korupsi. Perlu kepemimpinan yang kuat dalam memberantas korupsi. Di Indonesia praktik korupsi semakin merajalela dan masif. Korupsi telah merasuki nyaris di seluruh kehidupan.

Penangkapan dan pengungkapan mafia korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah elite politik seperti M Nazaruddin, Angelina Sondah, Andi Malarangeng, dan mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq, makin memperlihatkan bahwa partai politik (parpol) menjadi agen korupsi sistemik. Mereka biang biangnya korupsi.

Dalam sidang-sidang pengadilan terungkap sejumlah fakta mereka korupsi berkelompok dan melibatkan struktur partai, anggota DPR, pengusaha, serta birokrasi. Mereka membentuk sistem sehingga korupsi terlembagakan.

Banyak celah korupsi elite parpol terutama DPR, di antaranya berkaitan dengan kewenangan DPR dalam menyusun dan menetapkan APBN. Badan Anggaran DPR sebagai alat kelengkapan DPR berwenang luar biasa menentukan jatah kue APBN untuk kementerian dan lembaga negara, termasuk hibah atau pajak negara.

Bahkan, Banggar dapat menentukan perusahaan-perusahaan yang melaksanakan sejumlah proyek kementerian. Kondisi tersebut rentan akan praktik penyimpangan. Banggar terlalu powerfull dalam menentukan besaran anggaran, program-program baru. Kemudian penyusunan anggaran cenderung tertutup mulai dari perencanaan hingga tahap penetapan.

Celah lain, banyak pos alokasi dana di luar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam undang-undang itu sebenarnya hanya dikenal dana perimbangan. Namun, beberapa waktu lalu, Banggar memunculkan alokasi dana di luar ketentuan resmi, dana penyesuaian dan percepatan pembangunan. Ini berawal dari celah antara pendapatan dan belanja negara sehingga selisihnya sering dimanfaatkan mafia anggaran untuk dialokasikan dengan alasan untuk daerah, padahal tidak ada di undang-undang.

Parpol sering menjadi sumber korupsi sistemik karena mau mengembalikan modal saat kampanye menjelang pemilu dan persiapan menuju pemilu berikutnya. Sistem pemilu 2014 menggunakan mekanisme penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Kampanye dalam sistem pemilu ini tidak pernah melibatkan parpol maka berbiaya mahal dan boros. Para caleg lebih mengutamakan pencitraan lewat iklan di media massa, spanduk, poster, dan seterusnya.

Berdasarkan pengalaman Pemilu 2009, seorang calon legislatif (caleg) DPR dan DPRD dalam kampanye mengeluarkan biaya minimal 500 juta rupiah. Bahkan, beberapa caleg perlu mengeluarkan biaya hingga 2 miliar. Caleg DPRD provinsi diperkirakan mengeluarkan biaya kampanye 300 juta rupiah, sedang caleg DPRD kabupaten/kota sebesar 100 juta rupiah.

Maka total biaya pemilu tahun 2008 dapat mencapai 100 miliar rupiah. Fenomena ini dipastikan akan terjadi pula pada pemilu 2014 mendatang. Karena setiap individu politisi berlomba membuat target untuk mengumpulkan uang dengan cara apa pun demi persiapan pemilu 2014.

Selain itu, tak jelasnya model pembiayaan organisasi parpol agar tetap hidup. Sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai tak terbatas. Pada saat bersamaan, partai menjadi institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba (nirlaba), tetapi melibatkan investasi tak terhingga.

Sementara itu, subsidi negara melalui bantuan APBN tak mencukupi dan iuran anggota partai tak memadai. Maka tak ada cara lain kecuali harus memanfaatkan kader-kader di DPR menjadi agen untuk mengisi kekosongan kas keuangan partai. Begitu pula kader-kader yang menjadi menteri, staf ahli menteri, dan utusan khusus menteri. Mereka juga sebisa mungkin menggelontorkan uang ke kas partai dengan memanfaatkan jabatan.

Modus dan cara itulah yang dilakukan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, dan Angelina Sondakh dalam kasus Hambalang. Modus ini kemudian juga dilakukan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq.

Pelanggarn HAM

Simulasi yang dilakukan Veri Junaidi (2011), perkiraan besar belanja satu partai per tahun sekitar 51,2 miliar rupiah, sedangkan pendapatan parpol hanya berkisar 1,2 miliar. Pemasukan parpol itu dari subsidi negara 600 juta rupiah. Sisanya didapat dari iuran perseorangan anggota dan non-anggota partai.

Kalau hanya mengandalkan iuran anggota partai sulit memenuhi target kebutuhan partai. Apalagi tak ada mekanisme dan jumlah yang jelas. Itulah sebabnya sumber dana partai yang paling favorit adalah memanfaatkan dana-dana nonformal yang cenderung gelap dan haram.

Fenomena maraknya korupsi yang dilakukan politisi ini jauh lebih berbahaya dari awam karena memanfaatkan kekuasaan atau jabatan untuk memperkaya diri dan tentu saja dilakukan dengan jejaring yang sempurna dan penuh intrik. Maka, korupsi para politikus merupakan kejahatan yang dapat diketegorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena dapat melahirkan ketidakadilan politik dan hilangnya pendidikan politik. Dampak lain, tak ada kedaulatan dan rakyat kehilangan tempat mengadu.

Korupsi politisi memperjelas anggapan bahwa demokrasi yang dirintis selama ini telah gagal. Demokrasi disandera para koruptor dari parpol. Sebab demokrasi terwujud dalam bentuk pemilu dan aktor utama pemilu adalah parpol.

Jika aktor utamanya saja korup, dipastikan pemilu dan demokrasinya juga terkontaminasi. Bila negeri ini ingin segera keluar dari kubangan penyakit korupsi sistemik, pertama-tama harus membebaskan dan menyelamatkan parpol dari perilaku korupsi.

Ini menjadi tanggung jawab para petinggi parpol agar mengendalikan kader-kadernya. Pemimpin parpol juga bertanggung jawab bila ada anggota partai menjadi koruptor. Para petinggi partai harus mampu mendidik lingkungannya alias anggotanya menjauhi korupsi sebelum mendidik masyarakat luas. Sayang, banyak partai terlibat korupsi. Semoga pada Hari Antikorupsi ini semua pihak disadarkan untuk menjauhi praktik seperti itu dan bersama-sama memberantasnya.

(Sumber: Koran Jakarta.Com, 9 Desember 2013)

Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

About admin

Check Also

Polemik Mural Jokowi 404:Not Found di Tangerang, Pakar Hukum: Bukan Melanggar Simbol Negara

TRIBUN-VIDEO.COM – Mural Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertuliskan 404:Not Found di Tangerang tengah menjadi …

Waiting for the Constitutional Court’s Decision and the Hybrid Election System

By : AGUS RIEWANTO l 16 Mei 2023 The Constitutional Court is convening to decide …

Menanti Putusan MK dan Sistem Pemilu Hibrida

Oleh : AGUS RIEWANTO l 16 Mei 2023 07:37 WIB· Menyimak persidangan di MK yang …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *