Hari-hari ini, perhatian publik pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) nyaris nihil karena kinerjanya tak dapat secara angsung dirasakan rakyat.
Selain itu, fungsinya dalam UUD 1945 pasca-amendemen sangat dilemahkan secara sistemik. Maka, kini diperlukan pemikiran untuk menguatkan kembali MPR agar berfungsi lagi dalam sistem ketatanegaraan.
Salah satu hasil amendemen UUD 1945 adalah melucuti berbagai fungsi vital MPR, di antaranya tidak lagi berhak membuat GBHN dan memilih presiden-wakil presiden. Selain itu, MPR tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara.
Semua anggota MPR berasal dari proses pemilihan langsung melalui pemilu terdiri dari DPR dan DPD, tidak ada lagi utusan golongan dan daerah.
Reposisi lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi negara ini karena gagasan amendemen UUD 1945 yang berpuncak pada perlunya purifikasi sistem pemerintahan presidensial dengan diperkenalkan model pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
Dengan sendirinya ini menggugurkan fungsi MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Pilihan pada sistem presidensial lebih karena trauma politik dan persepsi buruk elite politik terhadap sistem parlementer era tahun 1960-an. Tidak semua praktik parlementer buruk (Blair Andrew King, 2004: 1-184).
Setelah amendemen UUD 1945, kian terasa terjadi aneka benturan dan disharmoni relasi kerja antarlembaga tinggi negara dan antar-organ komisi negara, misalnya antara MA, KY, dan MK dalam perekrutan hakim dan pengawasan hakim.
Kemudian antara KPU dan Kementerian Dalam Negeri dalam penyelenggaraan pilkada. Lalu, MA dan KPU dalam gugatan hasil pemilu serta KPK dan Polri dalam pengusutan kasus korupsi.
Ini akibat langsung maupun tidak hasil amendemen UUD 1945 yang mengubah hubungan antarlembaga negara dari vertikal-struktural menjadi horizontal-fungsional. Ini membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR yang semula lembaga tertinggi diturunkan derajatnya menjadi lembaga negara biasa sejajar DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY.
Ini mengajarkan betapa konstruksi hasil amendemen UUD 1945 sangat memengaruhi bentuk dan desain besar hubungan antarlembaga negara. Implikasinya, sistem pemerintahan presidensial tak dapat berjalan secara efektif sebab waktu bekerja pemerintahan (eksekutif), komisi negara, dan yudikatif jauh lebih sedikit ketimbang waktu untuk mengatasi aneka konflik antarlembaga negara.
Revitalisasi
Saling kontrol dan hubungan yang imbang antarlembaga negara dapat diwujudkan dalam bentuk revitalisasi fungsi MPR sebagai lembaga tinggi yang dapat minta pertanggungjawaban kinerja setiap lembaga negara melalui sidang tahunan dengan agenda mendengarkan laporan kinerja lembaga negara.
MPR perlu mengagendakan sidang tahunan untuk mendengarkan pidato kenegaraan dan nota belanja keuangan negara (RAPBN) dari presiden. Juga untuk mendengarkan laporan kinerja lembaga negara. Dengan cara ini rakyat dapat mengetahui, menyimak, dan mengkritisi kinerja dan hambatan lembaga-lembaga tinggi negara.
Sselama ini, rencana, capaian, dan hambatan kinerja lembaga tinggi negara tak jelas pertanggungjawabannya. Wajarlah jika perilaku menyimpang setiap lembaga negara tak dapat dikontrol sehingga korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam mengelola lembaga negara cenderung meningkat.
Lain halnya jika satu tahun sekali lembaga-lembaga tinggi negara melaporkan pertanggungjawaban kinerjanya pada sidang tahunan MPR.
Maka, sedikit-banyak, perilaku menyimpang akan dapat diminimalisasi karena akan diketahui rakyat secara langsung melalui MPR. Di sinilah relevansi gagasan untuk merevitalisasi fungsi MPR sebagai institusi tempat pertanggungjawan kinerja lembaga.
Sebab pasca-amendemen UUD 1945 praktis fungsi MPR hanya bersifat insidental, bersidang istimewa lima tahun sekali melantik presiden dan wakil.
Ada juga sidang paripurna setahun sekali mendengarkan pidato kenegaraan presiden dan penyampaian Nota RAPBN, sedangkan fungsi lain, berupa mengubah dan menetapkan UUD 1945 dan memberhentikan presiden dan wakil melalui prosedur pemakzulan (impeachment) hampir pasti tak mungkin dilakukan karena harus melalui berbagai pintu politik yang panjang.
Merevitalisasi fungsi MPR perlu karena fungsi-fungsi MPR dalam Pasal 3 Ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 pasca-amendemen ketiga, serasa hambar. MPR memang ada, namun seperti tiada. Praktis fungsi MPR sekarang hanyalah semacam sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD. Ini berarti keberadaan MPR mubazir.
Dalam rapat-rapat sidang Panitia Adhoc Badan Pekerja MPR (BPAH MPR) saat amendemen UUD 1945 pada tahun 1999 jelas dinyatakan eksistensi MPR tetap diakui dalam desain ketatanegaraan. MPR tidak dimaksudkan sebagai lembaga mubazir, tapi meningkatkan perannya sebagai lembaga tinggi negara.
Tujuannya agar MPR dapat berfungsi mengawasi lembaga tinggi lainnya (presiden) secara lebih optimal.
Jika kemudian fungsi MPR hanya seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 pasca-amendemen, itu karena kompromi politik.
Revitalisasi fungsi MPR dalam rangka meningkatkan kinerja dan akuntabilitas publik dengan sidang tahunan mendengarkan laporan kinerja lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk presiden. Langkah ini dapat dibenarkan karena MPR tak dihapuskan dalam struktur ketatanegaraan yang menganut sistem pemerintahan presidensial murni.
(Sumber: Koran Jakarta.Com, 13 Januari 2014)
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, di Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta