Agus Riewanto
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA, 29 Januari 2014
BARU saja Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan beberapa pasal dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945, baik dilihat dari aspek penafsiran semantik, gramatikal, maupun original intent. Oleh karena itu, MK memutuskan perlunya pemilu serentak, tetapi baru akan dilaksanakan pada Pemilu 2019 dan seterusnya (Media Indonesia, 25 Januari 2014).
Putusan MK ini melahirkan polemik di antara elite politik peserta pemilu dan pemerhati hukum tata negara karena terkesan putusan itu sangat politis. Bagi yang kontra berpendapat, jika MK menganggap UU No 42/2008 itu bertentangan dengan UUD 1945, seharusnya MK memerintahkan agar pemilu serentak berlaku pada 2014 ini dan tidak menundanya hingga lima tahun mendatang (2019). Sebaliknya, yang pro berpandangan bahwa putusan MK ini mencerminkan kenegarawan an MK karena berani menunda pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019 mengingat tahapan Pemilu 2014 telah berlangsung. Bila dipaksakan, pemilu serentak akan dapat membuat kegaduhan politik dan kekacauan pelaksanaan Pemilu 2014.
Implikasi putusan MK
Tulisan ini tidak ingin larut dalam kubu pro dan kontra atas putusan MK ini, tetapi akan memperlihatkan sejumlah implikasi politik hukum yang akan segera menghadang sesaat setelah putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini diberlakukan.
Pertama, putusan MK ini akan berimplikasi pada lahirnya gerakan nasional menolak hasil Pemilu 2014 dari elite politik parpol peserta Pemilu 2014 yang gagal dalam kompetisi pemilu ini, karena merasa bahwa UU No 42/2008 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, tetapi realitasnya masih dijadikan dasar untuk pelaksanaan Pilpres 2014 mendatang. Lebih dari itu, Pemilu 2014 tidak dilaksanakan serentak. Padahal, amar putusan MK menyatakan bahwa pemilu yang dihendaki oleh UUD 1945 pascaamendemen ialah pemilu serentak bukan pemilu terpisah.
Kalau Pemilu 2014 pelaksanaannya dipisah antara pileg dan pilpres, secara otomatis kehilangan sandaran yuridisnya. Karena itu, bukan tidak mungkin kelak banyak pihak akan menganggap hasil produk Pemilu 2014 ialah inkonstitusional. Gerakan ini akan membahayakan stabilitas politik dan bahkan akan dapat memicu pada ketidakpercayaan rakyat pada lembaga-lembaga demokrasi.
Kedua, putusan MK ini akan berimplikasi pada perlunya segera DPR dan pemerintah untuk mempersiapkan aneka produk rancangan undang-undang (RUU) tentang pemilu serentak untuk Pemilu 2019 mendatang karena pemilu serentak menghendaki adanya regulasi tentang pileg dan pilpres yang terkodifikasi. Sementara hari ini kedua UU itu terpisah, UU Pilpres menggunakan UU No 42/2008, sedangkan pileg menggunakan UU No 12/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pengodifikasian kedua UU ini tidak cukup hanya menyinkronkan antarpasal, tetapi juga mengharmonisasikan substansi nilai dari proses penyelenggaraan dan sistem penyelenggaraannya.
Lebih dari sinkronisasi, harmonisasi dan juga korespondensi antara kedua UU ini dan UU organik lainnya yang mengatur bidang politik, yakni UU Partai Politik, UU Penyelenggara Pemilu, UU MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU tentang Pemerintahan Daerah. Jadi, putusan MK itu akan berakibat pada melebarnya ke dalam aneka revisi terhadap UU yang lain.
Ketiga, implikasi putusan MK ini juga akan memicu pada perlunya penyelenggaraan pemilu kada secara serentak di seluruh Indonesia. Sebab sistem pemilihan eksekutif nasional dan legislatif nasional harus sinkron dengan model pemilihan eksekutif dan legislatif lokal. Keinginan sinkronisasi model pemilihan serentak ini merupakan amanat dari sistem pemerintahan presidensial yang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 Pascaamendemen.
Jika pemilu serentak hanya diberlakukan untuk pileg dan pilpres, sedangkan pileg lokal dan pemilu kada tidak dilakukan serentak, maka akan dapat menimbulkan kerancuan sistem pemerintahan yang dianut dan akibatnya akan membahayakan jalannya roda pemerintahan yang efektif. Di titik ini diperlukan segera merevisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk segera dipecah menjadi tiga UU, yakni UU tentang Pemilu Kada, UU tentang Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan UU tentang Keuangan Daerah.
Keempat, implikasi dari putusan MK ini juga akan mendorong pada perbaikan kinerja hakim Mahkamah Konstitusi (MK) karena pemilu dilaksanakan serentak, baik nasional maupun lokal. Akibatnya, sengketa hasil pemilu yang diajukan kepada MK pasti meningkat 100%. Di titik ini dapat dipastikan 9 hakim konstitusi akan kewalahan dalam menangani sengketa hasil pemilu. Padahal, sebagaimana diatur dalam UU Pemilu dan hukum acara di MK, bahwa sengketa hasil pemilu penyelesaiannya dibatasi waktunya.
Karena itu, merupakan kewajiban untuk meninjau ulang UU No 23/2004 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah menjadi UU No 8 /2011 tentang perubahan ketiga UU Mahkamah Konstitusi. Peninjuan ini ditujukan pada kemungkinan menambah jumlah m hakim konstitusi atau mendirikan h pengadilan khusus pemilu yang berada di bawah payung Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK) dan dapat membuat perwakilannya di sejumlah provinsi sebagaimana pengadilan tindak pidana korupsi.
Kelima, implikasi dari putusan ini ialah perlunya meninjau kembali masa kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di semua tingkatan. Karena pemilu serentak akibat putusan MK itu akan diberlakukan, maka kelak pemilu di Indonesia hanya akan berlangsung dua kali dalam 5 tahun, yaitu pemilu serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden dan Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilu serentak untuk memilih kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota). Konsekuensinya ialah pekerjaan KPU dan Bawaslu menjadi ringan dan masa kerja lima tahun menjadi terlalu lama.
Di titik ini diperlukan gagasan untuk memperpendek masa kerja KPU dan Bawaslu menjadi 2-3 tahun saja, atau menjadikan institusi KPU dan Bawaslu menjadi badan ad hoc yang bekerja saat adanya event pemilu saja. Ini dimaksudkan semata-mata untuk menghemat biaya penyelenggaraan pemilu. Karena borosnya anggaran pemilu 60% di antaranya dipergunakan hanya untuk membayar honor penyelenggara pemilu dari pusat hingga di daerah dan di tempat pemungutan suara (TPS).
Di atas segalanya putusan MK tentang pemilu serentak ini bersifat final dan mengikat. Karena itu, putusan ini suka dan tidak suka harus dilaksanakan oleh semua pihak. Koreksi dan akibat dari putusan MK ini menjadi pembelajaran kita untuk kian memperbaiki dan menyiapkan regulasi yang lebih baik untuk Pemilu 2019 mendatang. ●