Agust Riewanto
Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA, 06 Maret 2014
SETELAH pemerintah membebaskan bersyarat terpidana penyelundup narkotika asal Australia Schapelle Leigh Corby (Corby) dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II A Kerobokan, Bali. Kini Corby berulah bak selebritas dalam tayangan acara di stasiun televisi Australia. Dalam tayangan bertajuk Sunday Night: Schapelle Corby’s Release from Prison Sneak Peak di TV Chanel Seven pada 2 Maret 2014 itu Corby melalui kakak perempuannya, Mercedes Corby, menyatakan Corby tidak bersalah dan menjadi korban dalam kasus ini. Ia bahkan berusaha mencari simpati dengan menjelek-jelekkan proses penegakan hukum di Indonesia (Media Indonesia, 4 Maret 2014).
Corby sebelumnya merupakan terpidana kasus penyelundupan narkoba jenis mariyuana seberat 4,2 kg yang ditangkap di Bandara Ngurah Rai Bali pada 8 Agustus 2004. Corby dijatuhi hukuman pen jara 20 tahun oleh Pengadilan Negeri (PN) Denpasar pada 2005, saat banding di Pengadilan Tinggi (PT) Bali dijatuhi pidana penjara 15 tahun pada 2005, lalu dalam kasasi di Mahkamah Agung (MA) ia dijatuhi hukuman penjara 20 tahun dan pada peninjauan kembali (PK) di MA tetap dijatuhi hukuman 20 tahun penjara pada 2006. Uniknya pada 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi pada Corby dengan pengurangan hukuman lima tahun. Lebih aneh lagi, pada Senin, 20 Februari 2014 ia dibebaskan bersyarat.
Kejanggalan kasus Corby
Sejak awal kasus Corby ini memang janggal dan tidak lazim dari kebiasaan penegakan hukum kasus narkoba. Akibatnya memancing kecurigaan publik akan adanya agenda khusus dalam kasus ini. Kejanggalan itu dapat dilihat dalam empat hal.
Pertama, kasus ini diputus sangat cepat sejak ia ditangkap pada 2004, lalu banding 2005, kasasi 2005, dan PK pada 2006. Padahal jamak diketahui, kasus narkoba biasanya membutuhkan waktu puluhan tahun diputus di PN hingga MA.
Kedua, begitu mudahnya Presiden Yudhoyono memberikan grasi kepada kasus narkoba. Tradisi selama ini menunjukkan permohonan grasi untuk kasus narkoba selalu ditolak Presiden dengan berbagai macam alasan hukum dan aspek sosiologis lainnya. Namun, tidak demikian dengan kasus Corby. Ketiga, belum pernah ada dalam sejarah penegakan hukum kasus narkoba dibebaskan bersyarat di Indonesia.
Keempat, beberapa hari sebelum pembebasan bersyarat Corby, secara tiba-tiba Presiden Yudhoyono mengeluarkan PP No 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada 16 April 2013. Patut diduga bahwa PP ini sengaja disiapkan untuk mengakomodasi pembebasan bersyarat pada Corby. Pasal 112, 115 ayat (1) huruf (a) dan Penjelasan Pasal 115 ayat (1) Huruf (a) di PP itu jelas mengarah ke pembebasan Corby.
Pasal-pasal itu antara lain memerintahkan agar warga negara asing (WNA) yang tinggal di Indonesia wajib memiliki izin tinggal diplomatik yang waktunya terbatas, termasuk mereka yang berada baik dalam proses peradilan maupun di penjara. Jadi, PP itu secara eksplisit mengarah kepada Corby untuk dibebaskan karena ia tidak memiliki izin diplomatik terbatas. Sementara itu, ia masih harus menjalani hukuman sampai dengan 2017.
Syarat aneh
Dengan melihat sejumlah kejanggalan dalam kasus Corby itu, patut diduga bahwa pembebasan bersyarat Corby hanya berdasarkan pertimbangan politis, bukan pertimbangan hukum. Misalnya, syarat yang harus dipatuhi Corby sebagaimana dalam surat Menkum dan HAM melalui Kepala LP Kelas I Denpasar Bali sangat aneh: (1) selama bebas tidak diperkenankan ke luar negeri, kecuali izin dari Kemenkum dan HAM; (2) wajib melapor ke LP setiap bulan; (3) berada dalam bimbingan balai LP; (4) Balai LP memantau perkembangan Corby. Pembebasan bersyarat akan batal apabila: (1) mengulangi perbuatan tindak pidana lagi; (2) menimbulkan keresahan dalam masyarakat; (3) melanggar ketentuan pembebasan bersyarat.
Syarat-syarat pembebasan Corby itu menunjukkan seolah-olah perbuatan Corby merupakan tindak pidana umum (lex generale), bukan tindak pidana khusus (lex specialis). Padahal, penyalahgunaan narkoba merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Karena itu, tindakan hukumnya haruslah luar biasa pula.
Motif pembebasan Corby
Motif pemerintah membebaskan bersyarat Corby ini sesungguhnya dapat dibaca melalui sinyal negatif dan dinamika politik hubungan bilateral Indonesia-Australia belakangan ini yang cukup menegang. Beberapa waktu yang lalu misalnya, pembicaraan Presiden Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan sejumlah pejabat negara disadap Australia, melalui Australian Signals Directorate (ASD).
Diduga, pembicaraan elite politik Indonesia ini amat penting dan jika dibocorkan ke publik internasional, akan dapat mencoreng wajah elite politik Indonesia menjelang Pemilu 2014. Karena itu, pembebasan bersyarat Corby merupakan barter politik agar pemerintah Australia dapat mencegah ASD untuk tidak membocorkan sadapan pembicaraan elite politik Indonesia demi stabilitas politik menjelang Pemilu 2014.
Cabut pembebasan Corby
Dengan melihat proses yang begitu ironis ini, pemberian pembebasan bersyarat kepada Corby seharusnya tidak dimanfaatkan keluarga besar Corby untuk mengeruk keuntungan ekonomi-politik melalui tayangan televisi Australia. Alih-alih Corby berterima kasih kepada pemerintah yang telah memberlakukan dirinya sebagai narapidana istimewa akibat ketegangan hubungan RI-Australia yang tak sehat. Justru melalui tayangan TV itu Corby hendak mencibir dan melecehkan pemerintah RI yang dikhawatirkan akan kian memantik buruknya hubungan bilateral kedua negara.
Tak ada cara lain bagi pemerintah, saatnya kini bersikap tegas untuk meninjau ulang pemberian `hadiah politik’ pembebasan bersyarat kepada Corby, bahkan bila perlu segera mencabutnya. Memang sejak semula kasus ini sangat melukai hati dan mencabik rasa keadilan publik. Bahkan pembebasan bersyarat Corby memperlihatkan fakta bahwa pemerintah tak cukup sensitif terhadap perang melawan kejahatan narkotika yang sangat membahayakan masa depan Indonesia.
Implikasinya perang melawan kejahatan narkotika hanya garang dan idealis di tingkat konsep hukum dan UU Narkotika, tetapi tak bernyali pada realitas penegakan hukumnya karena masih diskriminatif dan tebang pilih. Jika pemerintah tak segera bersikap untuk mencabut `hadiah politik’ pembebasan bersyarat pada Corby, pasti akan membawa malapetaka bagi penegakan hukum kejahatan narkotika di negeri ini dan sebaliknya, akan memberi angin surga bagi para mafia dan penyelundup narkoba internasional untuk terus bergentayangan di Indonesia. ●