Agust Riewanto ; Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA, 19 April 2014
PESTA demokrasi ritual lima tahunan Pemilu Legislatif 2014 telah usai dilaksanakan 9 April lalu. Pemilu kali ini relatif berlangsung damai, aman, dan lancar. Namun, perhatian elite parpol dan para caleg kini lebih terfokus pada prediksi parpol pemenang pemilu hasil quick count dari aneka lembaga survei. Bahkan kini mereka tengah sibuk bersafari untuk berkoalisi. Nyaris melupakan aspek pelanggaran dan kecurangan yang terjadi dalam proses pemilu yang merata di seluruh Indonesia.
Kealpaan perhatian terhadap aneka kecurangan pemilu ini akan berimplikasi pada tradisi pembiaran yang berujung pada pengulangan kecurangan pada setiap pemilu yang berlangsung di Indonesia tanpa tindakan penegakan hukum yang sistematis, memadai, dan berefek menjerakan para pelaku.
Mencermati bentuk kecurangan
Sejumlah lembaga independen nonpemerintah yang konsen terhadap proses Pemilu 2014, seperti KIPP, JPPR, Perludem, GSRPP, Kemitraan, ICW, dan lain-lain telah merilis data yang mengejutkan tentang aneka bentuk kecurangan proses pemilu kali ini. Misalnya secara teknis di tempat pemungutan suara (TPS) pada hari H: (1) ditemukan ribuan surat suara yang telah dicoblos oleh PPS sebelum pemungutan suara di Bogor; (2) ditemukan 3.941 DCT yang meninggal dunia, mengundurkan diri, dan tidak memenuhi syarat, tetapi tidak diumumkan oleh KPPS; (3) terdapat 1.394 surat suara tidak ditandatangani oleh KPPS; (4) terdapat 4.391 saksi tidak hadir di TPS; (5) sejumlah 6.945 TPS menerima keberatan dari saksi.
Kecurangan secara teknis pemilu yang membuat risau sejumlah kalangan dan berpotensi mengganggu perolehan suara caleg dan parpol peserta pemilu ialah adanya pemungutan suara ulang (PSU) di hampir 770 TPS di 90 kabupaten/ kota dan tersebar di 23 provinsi di Indonesia.
Adapun kecurangan yang sistematis dan masif karena dilakukan hampir semua caleg dalam Pemilu 2014 yaitu praktik politik uang. JPPR menengarai terdapat peningkatan praktik politik uang dari 10% pada Pemilu 2009 lalu menjadi 33% pada Pemilu 2014. Dari sampel yang diteliti JPPR, yakni sejumlah 1.005 TPS di 25 provinsi, modusnya berupa pembagian uang sebesar Rp20.000Rp200.000, pembagian sembako, pemberian pulsa, polis asuransi, pakaian, dan alat ibadah (Media Indonesia, 15 April 2014).
Penuntasan hukum
Data kecurangan Pemilu 2014 ini tidak boleh dianggap sederhana karena jika pemilu hanya dilihat dari aspek keamanan, kelancaran, dan tanpa kekerasan, serta melupakan tanpa kekerasan, serta melupakan aspek proses penyelenggaraannya yang dipenuhi dengan kecurangan, Pemilu 2014 tidak dianggap mampu melahirkan pemilu yang demokratis secara substansial. Pemilu ini hanya melahirkan pemilu demokratis secara prosedural. Pada titik nadirnya akan dapat mempertaruhkan legitimasi hasil Pemilu 2014.
Tradisi penyelenggaraan pemilu di mana pun selalu bertalian antara proses demokrasi prosedural dan substansial. Prosedur tidak lebih penting daripada substansi. Bahkan substansi adalah nilai dasar yang harus ditegakkan dalam merancang aneka model kompetisi dalam demokrasi, termasuk pemilu. Sebabnya, di dalamnya tersemai makna: keadilan, persamaan, kebebasan, taat pada hukum administrasi dan pidana kepemiluan, serta model birokrasi pemilu (KPU) yang profesional, inde penden, dan tidak mudah berpihak pada siapa pun.
Menurut Jorgan Elklit (1999:17), itu semua merupakan prasyarat pemilu yang berhasil dan dianggap memiliki legitimasi politik dan hukum. Pemilu 2014 justru tercederai oleh aneka pelanggaran dan kecurangan yang kian meningkat, masif, sistematis, dan struktural dari pemilu sebelumnya pada 2009.
Menjadi wajib hukumnya untuk menuntaskan aneka kecurangan Pemilu 2014 ini. Bawaslu dan KPU perlu bersinergi menuntaskannya dengan merekap dan menyusun aneka kecurangan ini untuk diproses sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Bila terkait dengan pelanggaran pidana, terutama politik uang, intimidasi, mobilisasi pemilih, dan manipulasi suara dalam rekapitulasi berjenjang, perlu diproses ke kepolisian agar penegakan hukum pidana pemilu dapat bergigi.
Jika terkait dengan teknis penyelenggaraan pemilu, mulai dari ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu, surat suara tertukar hingga berakibat adanya pemilu ulang, rekapitulasi yang tak transparan, dan lain-lain, KPU RI perlu merancang aneka sanksi hukum dan etika kepada para penyelenggara pemilu itu. Dalam hal ini peran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sesuai UU NO 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu dapat menjatuhkan sanksi pelanggaran kode etik berupa peneguran, peringatan tertulis, hingga pemecatan dengan tidak hormat kepada penyelenggara pemilu (KPU/KPU daerah).
Berharap pada MK
Masyarakat, pers, pemantau pemilu, perguruan tinggi, caleg, dan Parpol dapat mengawasi aneka kecurangan Pemilu 2014 ini sebagai bahan untuk melakukan gugatan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kendati gugatan pemilu ke MK hanya dibatasi pada sengketa hasil pemilu antara caleg dan parpol dengan KPU RI, MK perlu membuka diri untuk lebih mampu menangkap sinyal perlunya membuat terobosan hukum progresif dengan keberaniannya untuk dapat membatalkan kemenangan seorang caleg dan parpol dalam pemilu ini jika terbukti melakukan kecurangan berupa politik uang, intimidasi, dan mobilisasi pemilih dengan berbagai macam cara yang tak sah secara moral dan hukum.
Harus diakui, selama ini kecurangan pemilu berupa politik uang sangat sulit untuk diproses secara hukum, bukan hanya karena prosedurnya rumit, melainkan juga sulitnya menyiapkan alat bukti yang memadai. Karena itu, hampir mustahil menghukum parpol dan caleg yang melakukan praktik politik uang pada Pemilu 2014. Itulah sebabnya harapan satu-satunya kini tertuju pada MK agar mampu membuat putusan hukum yang adil, dinamis, dan progresif untuk memutus berupa pembatalan kemenangan parpol dan caleg tertentu jika terbukti melakukan kecurangan.
Praktik pembatalan kemenangan caleg dan parpol dalam pemilu oleh pengadilan jika terbukti melakukan kecurangan, terutama politik uang, telah menjadi tradisi di Thailand dan juga Jerman dalam setiap pemilu. Putusan hukum pengadilan di kedua negara dapat diterima dengan baik oleh sistem politik di sana dan ternyata mampu membawa dampak penjeraan kepada caleg dan parpol untuk tidak melakukan politik kotor dalam memenangi kompetisi pemilu. Karena itu, publik berharap MK dapat mengambil inspirasi dan prakarsa dari Thailand dan Jerman dalam memotong tradisi pemilu kotor di Indonesia. ●