Pada peringatan Hari Antikorupsi 9 Desember ini publik disegarkan oleh ingatan tentang Fatwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tahun 2012 yang merekomendasikan sanksi pidana mati untuk koruptor dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 10/MUNAS VII/MUI/14/2005 yang mengakui eksistensi sanksi pidana mati dan memberlakukannya dalam jarimah (tindak pidana) hudud, qishah, dan ta’zir.
Negara boleh melaksanakan hukuman mati kepada pelaku kejahatan atas pidana tertentu. Dalam hukum Islam (syari’ah), sanksi hukuman (‘uqubah) berfungsi sebagai zawajir dan mawani’, yakni efek jera bagi pelaku dan efek takut bagi publik yang akan melakukan kejahatan serupa. Fatwa PBNU dan Fatwa MUI ini mengisyaratkan, persoalan korupsi hari ini dan hari depan tidak bisa dianggap biasa di negeri ini karena ia telah menjadi penyakit kronis yang membahayakan moralitas bangsa.
Mencegah korupsi, bahkan memberantasnya, tak cukup hanya menggunakan mekanisme konvensional seperti penjara dan denda yang tak berefek jera, melainkan perlu merancang cara-cara luar biasa. Salah satu cara yang mesti ditempuh melalui jalur konstitusi adalah menjatuhkan sanksi pidana tegas berupa pidana mati pada kasus korupsi perlu dipertimbangkan.
Sanksi pidana mati untuk koruptor ini penting segera dilakukan mengingat dalam proses pemberantasan korupsi sejak 1945-2014 ini kita belum pernah menjatuhkan sanksi pidana mati pada koruptor. Padahal, semua usaha pemberantasan telah dikerahkan, miliaran rupiah dana APBN dikucurkan, bahkan oleh semua rezim yang berkuasa di negeri ini.
Namun, tak satu pun yang efektif meredam perilaku korupsi. Bahkan pada 2014 ini Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corupption Perception Index (CPI) Indonesia meningkat menjadi 34 dan berada di peringkat 107 dari 175 negara. Tiba saatnya di era rezim hukum pemerintahan baru Joko Widodo, bangsa ini bernyali untuk menjatuhkan sanksi pidana mati untuk para koruptor.
Sanksi pidana mati tidak bertentangan dengan semangat hak asasi manusia (HAM) yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari Pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, bahkan Pasal 28J menegaskan bahwa hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.
Untuk Indonesia, beberapa pasal dalam KUHP juga masih menerapkan ancaman hukuman mati. Lihat Pasal 104, Pasal 111 Ayat (2), Pasal 124, Pasal 140 Ayat (3), dan Pasal 340. Belum lagi beberapa pasal dalam undang-undang terkait lainnya, seperti Pasal 36, 37, 41, 42, dan 42 Ayat (3) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15 dan 16 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme.
Penerapan hukuman mati untuk koruptor ini juga tidak bertentangan dengan pandangan mayoritas masyarakat Indonesia yang menganut agama Islam di mana di dalamnya terdapat ajaran perlunya penerapan hukuman mati dalam kasus kejahatan pidana (jinayah) tertentu. Bahkan, Indonesia sebagai negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) telah menandatangi Resolusi No 49/1990 Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam (Declaration on Human Right in Islam) yang ditetapkan di Kairo, Mesir 5 Agustus 1990. Yang antara lain masih mengakui eksistensi hukuman mati dalam kasus-kasus hukum khusus.
Namun dalam penerapan hukuman mati untuk koruptor ini agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM baru maka diperlukan sensitivitas, ketelitian, dan kecermatan para penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana mati agar di kemudian hari ketika terpidana telah dieksekusi tidak terdapat kekeliruan dalam memutuskan suatu perkara.
Selain itu, penerapan pidana mati untuk kasus korupsi perlu mematuhi Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, 25 Mei 1984 (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty) yang menguraikan tujuh kriteria penerapan hukuman mati. Pertama, bagi “kejahatan paling serius”, kategorinya sesuai tingkat konsekuensi yang sangat keji.
Kedua, bila kejahatan diatur hukum positif (nonretroaktif). Hukuman lebih ringan berlaku bila aturan berubah. Ketiga, dengan larangan eksekusi anak berusia 18 tahun, perempuan hamil, ibu melahirkan, sakit mental/jiwa. Keempat, bila kesalahan pelaku sudah tak menyediakan sedikit pun celah yang meragukan. Kelima, sesuai keputusan hukum final dari persidangan yang fair. Keenam, setelah terpidana mengajukan banding, pengampunan atau perubahan hukuman. Ketujuh, dengan metode yang sekecil mungkin menimbulkan rasa sakit.
https://republika.co.id/berita/koran/news-update/14/12/10/ngcls729-pidana-mati-koruptor