Penerbitan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 pada 31 Desember 2014 yang mengatur pembatasan peninjauan kembali (PK) hanya sekali, menjadi pembicaraan publik. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 telah membatalkan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang sebelumnya PK hanya dapat dilakukan satu kali menjadi bisa dilakukan lebih dari satu kali. (SM, 6/1/14).
MA menyatakan penerbitan SEMA yang membatasi PK dimaksudkan guna menciptakan kepastian hukum bagi terpidana mengingat ia dapat segera dieksekusi oleh kejaksaan. Realitas di lapangan, pengajuan PK berkali-kali akan membuat birokrasi hukum berbelit-belit dan melahirkan ketidakpastian hukum.
Sesungguhnya SEMA itu mencederai nalar keadilan. Posisi MA sebagai lembaga peradilan tertinggi harus menempatkan keadilan di atas kepastian hukum. Bila harus memilih, keadilanlah yang lebih diutamakan dan mengesampingkan kepastian hukum. Hal itu mengingat hak untuk mendapatkan keadilan menurut Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 adalah hak tiap warga negara, tanpa terkecuali.
Kepastian hukum haruslah diletakkan dalam kerangka penegakan keadilan. Doktrin hukum pidana menyatakan jika antara faktor keadilan dan kepastian hukum tak dapat dilaksanakan secara bersamaan maka keadilanlah yang harus diutamakan dan dimenangkan. Pasalnya, hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan substansial, bukan alat mencari kemenangan secara formal.
Sesungguhnya, kepastian hukum yang ingin dijamin oleh MA melalui SEMA hanya agar jaksa penuntut umum dapat melaksanakan eksekusi perkara pidana secara cepat. Namun seharusnya MA perlu menempatkan cara berpikir bahwa kepastian hukum juga diperlukan bagi terpidana untuk mendapatkan putusan hukum seadil-adilnya.
Upaya hukum luar biasa berupa PK dibuka dalam KUHAP adalah agar manifestasi sistem peradilan pidana dapat berhati-hati. PK dimaksudkan agar jangan sampai terjadi kesalahan menghukum orang yang tidak bersalah menjadi bersalah (error in persona).
Sebagian masyarakat Indonesia tentu ingat kasus Sengkon dan Karta tahun 1974 di Bekasi yang dijatuhi pidana mati padahal mereka tidak melakukan pembunuhan, namun jaksa telah mengeksekusi mati terhadapnya. Belakangan ditemukan bukti baru (novum) bahwa ada pihak lain yang melakukan pembunuhan.
Itulah sebabnya dalam KUHAP ada jaminan terpidana juga berhak mendapatkan kepastian hukum bahwa dia benar-benar tidak melakukan tindak pidana. Dalam kasus pidana mati misalnya, diberi upaya hukum PK berkali-kali untuk membuktikan kebenaran formal berdasarkan bukti baru bahwa terpidana tidak melakukannya.
Untuk Semua
Kecuali perkaranya benar-benar diputus karena bukti nyata yang tak dapat dibantah lagi, misalnya membunuh di depan banyak orang atau tertangkap tangan, PK boleh tidak dilanjutkan karena akan sulit mencari novum atau bukti baru. Namun jika ada alibi (pengingkaran perbuatan hukum pidana), KUHAP harus memberi kesempatan pada terpidana untuk mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu PK.
Itulah sebabnya, MA tidak boleh menutup upaya tiap orang untuk memperjuangkan keadilan. MA tidak boleh membatasi secara sepihak untuk melayani pencarian keadilan selama terdapat novum yang bisa membuktikan sebaliknya bahwa terpidana tidak bersalah.
Bukankah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya Nomor 34/PUU-XI/2013 telah menyatakan ketentuan pembatasan PK dalam KUHAP Pasal 268 Ayat (3) adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 setelah diamendemen. Lewat putusan MK tersebut, berarti PK bisa diajukan lebih dari sekali.
Putusan MK bersifat ’’berlaku untuk semua’’ (erga omnes) yang berarti harus ditaati semua orang/pihak, termasuk MA, sejak diketuk palu hakim MK. Adapun putusan MA bersifat inter partes, dalam arti hanya mengikat secara internal hakim-hakim di lingkungan MA: di PN dan PT. SEMA lebih merupakan perintah atau petunjuk MA kepada jajaran di bawahnya sehingga bukan norma hukum yang wajib ditaati pihak di luar MA.
SEMA merupakan keputusan pejabat administrasi negara di lingkungan MA yang tidak melaksanakan kewenangan yudisial. SEMA juga tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karena itu, penerbitan SEMA hanya dapat dibenarkan menurut ketatanegaraan guna mengatur teknis mengisi kekosongan hukum. Dalam arti dalam KUHAP tidak/belum diatur normanya, itu pun sepanjang SEMA dibutuhkan untuk menciptakan keadilan.
Sebaliknya, jika telah tersedia norma hukum, seperti dalam putusan MK kendati belum dilakukan perubahan terhadap peraturan yang dibatalkan MK, maka dianggap telah tersedia norma baru yang harus dipatuhi, dan MA tak dibenarkan lagi mengaturnya. Di sinilah relevansinya pejabat administrasi di MA dan para hakim perlu memiliki pemahaman tentang substansi hukum ketatanegaraan.
(Sumber: Suara Merdeka, 10 Januari 2015).
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta