Oleh Agus Riewanto
Gagasan ini memperkuat fungsi MPR serta diperlukan untuk menata kembali (mereposisi) relasi MPR dan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial yang kita anut pascaamendemen UUD 1945.
SETELAH dua dekade bangsa Indonesia tanpa panduan dan haluan negara dalam perencanaan pembangunan nasional, kini muncul gagasan menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai dasar penentu kebijakan pembangunan bangsa. Gasasan ini muncul dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekano Putri saat Rakernas PDIP I tahun 2016 di Jakarta. (SM/11/1/2016).
Gagasan ini patut diapresiasi positif karena sistem pembangunan nasional Indonesia pascaamendemen UUD 1945 nyaris tanpa haluan dan hanya menyerahkan pada presiden. Sedangkan presiden hanya berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) yang disusun dalam bentuk UU No 17/2009 tentang Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (UU RPJPN). UU ini disusun dan diusulkan oleh presiden kepada DPR.
Dalam menjalankan RPJMN ini nyaris hanya direncanakan oleh presiden sendiri melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas). Akibatnya rencana pembangunan nasional merupakan program presiden dan partai pengusungnya saat kampanye yang dijanjikan dalam pemilihan presiden (pilpres) setiap lima tahun sekali.
Akibatnya sistem pembangunan nasional tidak dapat utuh diikuti oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota karena tak terjadi sinergitas antara gagasan presiden dengan para gubernur dan bupati/walikota di seluruh Indonesia karena perbedaan visi dan misi serta diusung dari parpol yang berbeda.
Realitas ketatanegaraan tanpa ada lembaga yang mampu mengontrol presiden dalam menjalankan program pembangunan nasional ini harus dianggap sebagai kelemahan dari sistem ketatanegaraan kita pascaamanden UUD 1945 dan diperlukan jalan untuk memperbaikinya agar sistem pembangunan nasional Indonesia dapat bersifat permanen dan merupakan visi besar bangsa Indonesia untuk jangka panjang bukan hanya bersifat lima tahunan. Diperlukan upaya sistemik untuk memperkuat fungsi MPR dengan melakukan amendemen kembali terhadap UUD 1945 guna pengembalian fungsi laporan pertanggungjawaban presiden ke MPR dan mereposisi MPR.
Gagasan ini memperkuat fungsi MPR serta diperlukan untuk menata kembali (mereposisi) relasi MPR dan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial yang kita anut pascamendemen UUD 1945.
Gagasan ini mengandung 2 (dua) konsekuensi hukum, yaitu: Pertama, perlu menghidupkan kembali GBHN sebagai panduan bersama yang akan dijadikan rujukan bagi lembagalembaga negara dalam melakukan prioritas pekerjaan. Padahal lembaga-lembaga negara (DPR, MA, BPK, MK, KY) dan aneka komisi negara bukan institusi yang memiliki visi dan misi yang sama dengan presiden terpilih. Aneka lembaga itu tidak dipilih dan bertanggung jawab kepada presiden. Lembaga-lembaga negara seharusnya bertanggung jawab pada rakyat melalui MPR dengan berpedoman pada GBHN.
Kedua, untuk mewadahi hadirnya GBHN maka diperlukan pula menghidupkan kembali Ketetapan MPR (Tap MPR), sebagai konsekuensi menghidupkan ST MPR. Di sinilah relevansi diperlukannya amendemen kembali UUD 1945 oleh MPR RI periode 2014- 2019 mendatang, yang tujuannya selain untuk memperkuat posisi DPD agar memiliki otoritas yang sama kuat dengan DPR dan lembaga negara lain, juga dimaksudkan untuk mewujudkan hubungan yang seimbang (checks and balances) antar-lembaga negara. Dengan membentuk Komisi Konstitusi (KK) yang melibatkan seluruh komponen masyarakat dengan partisipasi yang luas.
Amendemen Kembali UUD 1945
Perlunya menghidupkan GBHN melalui amendemen kembali UUD 1945 ini karena fakta ketatanegaraan akhirakhir ini memperlihatkan bahwa pascaamendemen UUD 1945, kian terasa adanya benturan dan disharmoni relasi kerja antar-lembaga tinggi negara dengan antar-organ komisi negara. Lihatlah misalnya, antara MA, KYdan MK dalam perekrutan hakim dan pengawasan hakim, antar KPU dan Kementerian Dalam Negeri dalam penyelenggaraan pemilukada, antara MA dan MK dalam gugatan hasil pemilu dan pemilukada, antar KPK dengan Polri dalam pengusutan kasus korupsi, dan yang paling mutakhir adalah begitu superiornya fungsi DPR mengalahkan presiden dalam banyak hal.
Padahal desain ketatanegaran pascaamendemen yang meletakkan fungsi sejajar antarlembaga tinggi negara (MPR, DPR,DPD, Presiden, MA, BPK dan KY) adalah dalam rangka saling mengontrol (checks and balances) bukan untuk saling mengungguli antara yang satu dengan yang lain.
Ini akibat langsung maupun tidak langsung dari hasil amendemen UUD 1945 yang mengubah hubungan antarlembaga negara dari yang vertikal-struktural menjadi horizontal-fungsional sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR yang semula menjadi lembaga tertinggi diturunkan derajatnya menjadi lembaga negara biasa yang sejajar dengan negara lain, yaitu DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK dan KY.
Fenomena itu mengajarkan betapa konstruksi hasil amendemen UUD 1945 sangat mempengaruhi bentuk dan desain besar hubungan antar lembaga negara. Implikasinya adalah tak dapat berjalannya secara efektif sistem pemerintahan presidensial. Karena waktu bekerjanya pemerintahan (eksekutif), komisi negara dan yudikatif jauh lebih sedikit, ketimbang waktu untuk mengatasi aneka konflik antar lembaga negara itu. Di sinilah relevansinya untuk melakukan amendemen kembali terhadap UUD 1945 secara terbatas dengan mereposisi MPR agar dapat menyusun GBHN dan meminta pertangungjawaban kinerja lembaga tinggi negara dalam setiap tahun anggaran.
(Sumber : Suara Merdeka, 20 Januari 2015).
Tentang penulis :
Dr Agus Riewanto SH MA, pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.