Putusan praperadilan hakim Sarpin Rizaldi di PN Jaksel yang memenangkan Komjen Budi Gunawan (BG) atas KPK, dan menyatakan penetapan status hukum tersangka dalam kasus rekening gendut tak lagi memiliki kekuatan hukum, menyimpang dari kebiasaan sistem hukum acara peradilan pidana.
Pasalnya, hakim tunggal itu memperluas tafsiran Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dengan menyatakan bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan. Perluasan tafsir pasal itu melampaui kewenangannya.
Padahal pasal itu sudah jelas memberikan limitasi kewenangan praperadilan hanya menguji sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan/atau penuntutan, dan tidak dapat diperluas lagi penafsirannya. Doktrin hukum acara pun menegaskan hukum acara dibuat sangat limitatif dan rigid supaya tak bisa ditafsirkan.
KUHAP memang dirancang sebagai hukum formal sedemikian rupa supaya tidak mudah disimpangkan oleh penyidik dalam proses beracara. Karena itu, amar putusan hakim praperadilan yang menyatakan, perluasan tafsir Pasal 77 dilakukan sebagai upaya menemukan hukum baru (rechtvinding) guna mengisi kekosongan hukum (rechtvacuum) adalah menyesatkan.
Pasalnya, khusus hukum acara (KUHAP) tak boleh ditafsirkan mengingat sejak awal sudah dirancang jelas. Hakim praperadilan hanya boleh menguji sah tidaknya penetapan tersangka oleh penyidik, bukan menafsirkan pasal-pasal KUHAP untuk dikontekskan dengan peristiwa hukum. Berbeda dari hukum perdata dan hukum pidana material, hakim boleh menafsirkan ketentuan pasal-pasalnya guna memujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.
Putusan hakim praperadilan itu juga mengundang kontroversi karena mempersempit makna ’’pejabat negara dan penyelenggara negara di bidang hukum’’. Dalam amar putusannya, Sarpin menyatakan bahwa BG saat menjabat Kabiro Pembinaan Karier Polri tahun 2003-2006 bukan pejabat negara dan penegak hukum sebagai dimaksud Pasal 6 dan Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Karena itu, menurut dia, BG bukan subjek hukum yang bisa disidik KPK dalam kasus korupsi dan gratifikasi. Lebih dari itu, waktu itu belum lahir UU yang mengatur tentang pencucian uang sehingga ia berpendapat yang dilakukan BG tidak termasuk unsur yang merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam UU KPK ataupun UU Pencucian uang.
Ini jelas pertimbangan hukum yang tidak wajar dalam batas rasionalitas hukum mengingat hakim memperluas maknanya sewaktu menafsirkan Pasal 77. Di sisi lain, hakim mempersempit penafsiran makna Pasal 6 dan Pasal 11 UU KPK.
Implikasi Putusan
Lebih dari itu, hakim praperadilan mempersempit penafsiran kata ”pejabat negara” dalam Pasal 6 dan Pasal 11 UU KPK, yang berarti merusak doktrin praperadilan. Hal itu mengingat esensi praperadilan adalah peradilan cepat guna mengontrol sah tidaknya penetapan seseorang jadi tersagka. Realitasnya, hakim praperadilan telah menabrak nalar ketentuan itu, malah mengaitkannya dengan UU KPK dan UU Tipikor.
Cara berpikir hakim praperadilan telah menyesatkan jalannya sistem beracara karena mengarahkan sidang ke arah substansi pokok perkara. Seharusnya yang boleh menafsirkan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai makna ’’pejabat negara’’ adalah hakim tipikor ketika proses beracara dilakukan di pengadilan tipikor.
Putusan prarperadilan yang memenangkan BG telah merusak sistem praperadilan yang diatur dalam KUHAP. Dipastikan putusan Sarpin berimplikasi pada keinginan semua orang yang status hukumnya ditersangkakan oleh KPK untuk mengajukan gugatan praperadilan dengan hakim tunggal, dan diputus cepat hanya 7 hari. Ini bukan hanya akan menguras energi KPK, melainkan juga menguras energi hakim praperadilan Pengadilan Negeri.
Lebih dari itu, putusan praperadilan tersebut menampar keras capaian dan kesaktian KPK dalam pemberantasan korupsi selama ini. Pasalnya, kini terbukti kinerja KPK dapat dimentahkan oleh hakim tunggal praperadilan. Sesungguhnya masih tersedia ruang bagi KPK untuk melakukan upaya hukum luar biasa, berupa peninjauan kembali (PK) ke MA berpedoman Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 4 Tahun 2014.
Surat edaran itu antara lain menyatakan, putusan praperadilan dapat diajukan upaya hukum PK jika ditemukan indikasi kesalahan penerapan Pasal 77 KUHAP. Komisi Pemberantasan Korupsi juga dapat melaporkan ke Komisi Yudisial (KY) untuk menguji independensi hakim Sarpin dalam memutus praperadilan: apakah ada tekanan politik atau pesanan dari kelompok tertentu.
Upaya itu bisa dlakukan lewat uji kode etik dan perilaku hakim sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang KY dan diubah menjadi UU Nomor 18 Tahun 2011. Perlu melakukan upaya itu agar upaya pemberantasan korupsi tidak surut di tengah jalan sekaligus mengembalikan marwah KPK.
(Sumber: Suara Merdeka, 23 Februari 2015).
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.