Setelah dinanti publik cukup lama akhirnya presiden Jokowi mengambil langkah mengatasi kisruh KPK-Polri dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang penunjukan tiga orang pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK—Taufiqurrahman Ruki, Indriyanto Senoaji, dan Johan Budi—untuk menggantikan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto karena tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana dan Busyro Muqodas karena pensiun. (Republika, 20 Februari 2015)
Lahirnya perppu Plt penunjukan pimpinan KPK baru ini menarik untuk dicermati dari aspek hukum tata negara karena dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK tidak menyebutkan adanya mekanisme pergantian pimpinan KPK dengan cara ditunjuk oleh presiden, melainkan harus melalui proses seleksi publik dengan melibatkan tim seleksi, diusulkan oleh presiden dan melalui uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di DPR. Kehadiran Perppu penunjukan plt pimpinan KPK ini potensial melahirkan persoalan baru dalam hukum.
Kendati perppu merupakan instrumen ketatanegaraan yang disediakan melalui Pasal 22 Ayat (1) (UUD 1945) khusus bagi presiden, namun perppu tidak bersifat subjektif, karena harus memenuhi syarat yang diatur dalam Putusan MK No.1-2/PUU-XII/2014, yaitu karena keadaan darurat dan tak tersedia aturan hukum atau kekosongan hukum sehingga diperlukan aturan baru untuk menyelesaikan persoalan itu, sementara jika harus membuat undang-undang secara prosedural memerlukan waktu yang lama karena perlu melibatkan DPR. Syarat objektifnya Perppu akan berlaku, jika disetujui oleh DPR, jika tidak maka keberadaan perppu batal demi hukum.
Akan menjadi persoalan hukum yang rumit jika ternyata DPR tidak menyetujui keberadaan perppu penunjukan plt pimpinan KPK ini, karena berbagai macam alasan subjektif DPR. Sebab, persetujuan DPR dalam soal perppu tidak selalu disertai dengan pertimbangan objektif, melainkan berdasarkan subjektivitas politik di DPR. Doktrin politik-hukum menyatakan bahwa sesungguhnya peraturan perundang-undangan adalah produk politik di DPR. Karena UU adalah produk politik, maka sangat begantung pada komposisi kekuatan politik di DPR, apa dan siapa yang paling dominan secara politik di DPR, ia akan menentukan warna peraturan perundang-undangan.
Sejarah menunjukkan Perppu penunjukan plt pimpinan KPK pernah dikeluarkan oleh presiden SBY pada tahun 2009 saat terjadi kisruh KPK-Polri yang dikenal dengan peristiwa Cicak vs Buaya, namun perppu ini ditolak oleh DPR. Akibatnya, presiden SBY menarik perppu dan memilih opsi melakukan penghentian kasus hukum yang menimpa pimpinan KPK saat itu (Bibit samad Riyanto dan Chandra Hamzah) dan keduanya kembali menjadi pimpinan KPK.
Bukan tidak mungkin nasib serupa akan dialami oleh perppu yang dikeluarkan oleh presiden Jokowi ini. Karena itu, langkah paling tepat yang bisa dilakukan Presiden Jokowi dalam mengakhiri kisruh KPK-Polri bukan menerbitkan perppu penunjukan plt pimpinan KPK karena akan berisiko hukum ditolak DPR, melainkan menghentikan kasus kriminalisasi yang dilakukan Polri terhadap dua pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dan menarik keduanya menjadi pimpinan KPK kembali, sebagaimana terjadi di era SBY. Cara ini jauh lebih elegan, selain sebagai upaya win-win solution atas kemenangan gugatan praperadilan yang dilakukan Komjen BG di PN Jakarta Selatan beberapa waktu lalu, namun juga sebagai upaya strategis agar presiden tak terkesan hanya membela Polri namun menganaktirikan KPK.
Cara yang ditempuh presien Jokowi menerbitkan perppu penunjukan pimpinan KPK baru ini jelas mengesankan, bahwa Jokowi ikut membiarkan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Langkah ini merupakan preseden buruk yang akan terulang di masa yang akan datang. Lebih dari itu, perppu penunjukan tiga orang plt pimpinan KPK ini adalah cara instan Presiden Jokowi untuk meredakan ketegangan dan kisruh antara KPK-Polri, karena ketua plt KPK adalah Taufiqurrahman Ruki yang merupakan mantan petinggi Polri berbintang dua.
Mudah diduga kehadiran Taufiq di KPK adalah untuk menutup peluang bagi upaya menguak tabir gelap korupsi dan gratifikasi “rekening gendut”, sebagaimana diduga dilakukan oleh Komjen BG dan diduga juga melibatkan sejumlah petinggi Polri lainnya. Karena itu, besar kemungkinan kasus yang menimpa Komjen BG akan dihentikan atas dasar putusan praperadilan dan hadirnya ketua plt KPK yang berasal dari unsur Polri ini.
Karena itulah sesungguhnya, kehadiran perppu penunjukan pimpinan plt KPK ini rawan dijadikan alat bagi pihak-pihak tertentu untuk mendesak presiden untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 30/2002 tentang KPK untuk memperlemah KPK dengan cara memberi peluang kepada presiden untuk dapat sewaktu-waktu mengeluarkan perppu guna menunjuk pimpinan baru KPK dalam kondisi tertentu. Penunjukan oleh presiden terhadap pimpinan KPK ini rawan dimanfaat oleh kepentingan politik presiden. Jika ini terjadi dipastikan independensi KPK telah tergadaikan dan dilemahkan secara sistemik.
Kehadiran perppu penunjukan plt pimpinan KPK ini hanya dapat meredam konflik KPK-Polri sesaat, namun akan melahirkan konflik hukum ketatanegaraan berikutnya jika perppu ini di tolak oleh DPR. Penolakan Perppu ini oleh DPR juga akan membuka peluang DPR untuk merevisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK dengan melucuti peran dan fungsinya hanya sebagai penyelidik dan penyidik, bukan penuntut dalam kasus korupsi.
(Sumber: Republika, 23 Februari 2015).
Tentang penulis:
Agus Riewanto, Doktor Ilmu Hukum, Pengajar Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.