Publik baru saja dikejutkan tragedi keadilan dalam kasus hukum nenek Asyani (63) di Kab Situbondo, Jawa Timur. Nenek buta hukum itu telah ditahan atas tuduhan mencuri tujuh batang kayu milik PT Perhutani yang dibantahnya. Kayu diambil dari tanah milik sendiri.
Meski sudah memperlihatkan bukti kepemilikan tanah dan diperkuat keterangan kepala desa, Asyani tetap dilanjutkan ke pengadilan. Demikian pula kasus yang menimpa kakek Harso Taruno (67), petani di Kab Gunungkidul Yogyakarta. Dia ditahan gara-gara dituduh menebang pohon di hutan Swakamargasatwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan, Gunungkidul.
Lokasi lahan kakek Harso berdampingan dengan kawasan konservasi. Berbagai fakta dibeberkan di persidangan untuk menangkis tudingan miring itu. Mata kakek Harso berkaca-kaca setelah majelis hakim yang diketuai Yamti Agustina membebaskannya (Koran Jakarta, 19 Maret 2015).
Kasus hukum dua orang lanjut itu hanyalah serpihan kecil dari ratusan, bahkan ribuan kasus serupa, namun tak terekspos media (sosial). Inilah tragedi dan ironi penegakan hukum negeri bersendikan sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maknanya, seluruh rakyat diperlakukan adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, kebudayaan dan kebutuhan spiritual rohani sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur.
Namun realitasnya tidak demikian. Hukum sangat diskriminatif karena hanya tajam menghunjam ke bawah dan tumpul saat diayunkan ke atas. Inilah fakta hari-hari ini. Bagi para pelaku kejahatan berkantong tebal dan berjejaring kekuasaan politik kuat, nyaris hukum tak mampu menyentuhnya. Sebaliknya, saat berhadapan dengan kaum lemah, papa, miskin secara kultural maupun sosial karena tak punya jaringan kekuasaan dan politik, hukum menjadi garang melebihi serigala.
Lihat fakta terpidana rekening gendut 1,5 triliun rupiah dalam kasus pembalakan liar (illegal logging) dan penimbunan BBM yang dilakukan Aiptu Labora Sitorus di Papua. Dia dengan mdudah keluar LP Sorong dan berbulan-bulan tidak diketahui.
Begitu pula dalam kasus korupsi yang menimpa sejumlah pejabat di Kemendagri dalam kasus korupsi milirian rupiah dalam proyek percontohan KTP elekronik berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Mereka telah disidik sejak tahun 2010, namun tak satu pun ditahan. Kasus korupsi penyelewengan dana haji ratusan miliar rupiah yang menimpa bekas Menteri Agama Suryadarma Ali dkk kendati telah ditetapkan tersangka sejak tahun 2013, hingga kini tak satu pun ditahan.
Mencoreng
Ketimpangan inilah yang makin mencoreng wajah hukum yang kian menjauh dari rasa keadilan. Hukum yang direpresentasikan dalam penegakan undang-undang telah menjauhkan dari esensinya, keadilan. Sejak dulu jagat hukum meyakini kebenaran pernyataan Gustav Radbruch (1949), asas hukum ialah keadilan, selain kemanfaatan dan kepastian.
Namun dalam praktiknya, hukum dan keadilan seperti bertolak belakang. Hukum seperti berjumawa meninggalan rasa keadilan. Memang hukum dirancang tidak mungkin dapat menjalankan tiga asas itu secara bersamaan. Akan tetapi, bagi Gustav Radbruch bila tidak mampu melaksanakan asas kepastian dan kemanfaatan, seharus keadilan adalah yang lebih diutamakan. Gustav Radbruch menyatakan ”rechct ist wille zur gerechtigkeit” (hukum adalah kehendak demi keadilan).
Kini aparatur hukum telah kehilangan kreativitas dalam mewujudkan cita keadilan universal. Memang aparatur hukum kini tak berpihak pada kekuasaan politik rezim tertentu, namun mereka telah memihak pada uang. Maka yang terjadi, keadilan telah beralih pada pemilik uang yang mampu membeli keadilan.
Sedangkan kaum miskin, maka keadilan tak pernah berpihak. Persis seperti disindir Marc Galanter (1995) dalam bukunya Why The haves Come out Ahead: Speculations on The Limit of Legal Change. dengan tegas dinyatakan, hukum lebih berpihak pada orang kaya karena memang dijalankan oleh aparat, bukan oleh komitmen menegakkan asas keadilannya.
Hukum tak lagi dapat dipercaya untuk menyelesaikan aneka konflik perdata, pidana, maupun administrasi. Pikiran aparat hukum menyatakan, menjalankan hukum bukan untuk menegakkan keadilan, tapi lebih ditekankan pada prosedur yang kaku dan rigid sepanjang terdapat pasal dalam KUHP. Dengan kaca mata kuda, hukum dijalankan tanpa mempertimbangkan aspek sosiologis terdakwa, seperti kasus nenek Asyani dan Harso taruno yang papa dan renta.
Itulah sebabnya dunia hukum sangat asing dan jauh dari jangkauan nalar rakyat kecil untuk memahaminya baik dari aspek: bahasa, logika, bahkan putusan hukum. Semua hadir dalam ruang yang sulit di mengerti dan dan dipahami. Jadilah hukum menjadi sesuatu yang elitis. Inilah yang mendorong rakyat kian meminggirkan hukum negara sebagai cara utama menyelesaiakan konflik.
Hampir semua kasus hukum yang coba diselesaikan lewat litigasi pengadilan selalu mengecewakan dan melahirkan keputusasaan. Sesuatu yang seharusnya diputus bebas, malah dihukum. Sebaliknya, sesuatu yang seharusnya dihukum, justru dibebaskan.
Hukum kini tidak lagi hitam putih, tapi menjadi abu-abu. Lebih licin permainan hukum ketimbang politik. Tak jelas lagi antara putusan hukum dan putusan politis. Anehnya, belakangan aneka kasus megakorupsi yang melibatkan elite politik selalu berdalih diselesaikan dan dipercayakan pada mekanisme hukum. Padahal sebenarnya tak pernah benar-benar ada mekanisme hukum itu. Yang ada adalah mekanisme politis. Politik selalu mengalahkan hukum. Jadilah politik sebagai panglima. Hukum harus tertawan dan tunduk pada politik.
Budaya kekerasan masyarakat dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum, seperti membakar pencuri dan begal dalam keadaan hidup, sungguh memprihatinkan. Tapi barangkali itu ungkapan kekecewaan pada aparat hukum. Atau juga sebagai cermin kekerasan yang disumbangkan sistem hukum itu sendiri.
Hukum kini berwatak “minimalis.” Artinya, aparatur (polisi, jaksa, dan hakim) merasa telah menjalankan hukum bila peraturan-peraturan sudah diterapkan sebagaimana tercantum dalam UU. Inilah cermin dari menjalankan hukum sebagai teknologi saja.
Seharusnya hukum dijalankan dalam watak idealis dan progresif, tidak sekadar menerapkan teks-teks peraturan begitu saja. Dia harus juga memimikirkan nilai-nilai dan rasa keadilan.
Hukum bukan semata-mata teknologi, tapi sarana untuk mengekspresikan nilai dan moral. Untuk mewujudkan hukum yang berwibawa dan memperoleh kepercayaan publik, maka saatnya kini menempatkan sistem hukum untuk kian sensitif dalam mewujudkan rasa keadilan dan berpihak pada nilai moral.
(Sumber: Koran Jakarta, 24 Maret 2015).
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH, MA, dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana UNS