Beberapa waktu lalu Komnas HAM dan pemerintah (Jaksa Agung, Menkumhan, Kapolri, Panglima TNI dan Kepala BIN) telah bersepakat untuk membentuk tim gabungan menawarkan dua opsi dalam penuntasan kejahatan pelanggaran HAM masa lalu, yakni membuka kembali pengadilan HAM ad hoc dan melakukan rekonsiliasi. (Koran Jakarta, 23 dan 27 April 2015).
Berdasarkan pertimbangan psikologis dan sosiologis model penuntasan pelanggaran HAM masa lalu akan lebih efektif dan tepat guna jika menggunakan opsi model penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement model) atau rekonsiliasi (reconciliation) daripada model membuka pengadilan HAM (criminal justice system).
Jika dilacak dari aspek psikologi sesungguhnya esensi yang hendak diwujudkan dalam penuntasan pelanggran HAM masa lalu, upaya menyembuhkan luka-luka batin dari korban pelanggaran HAM yang jumlahnya ribuan orang. Kini mereka tengah berada dalam derita psikologis yang akut karena menanti keadilan yang tak kunjung tiba.
Itulah mengapa penuntasan pelanggaran HAM masa lalu lebih berfungsi untuk terapi psikologi para korban kejahatan HAM dan upaya pemulihannya agar dapat hidup normal manusia biasa yang tidak dibebani luka-luka batin. Maka di sinilah relevansinya model rekonsiliasi nasional sangat relevan dilakukan dalam menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Carany mengutamakan truth telling (pengungkapan kebenaran) bagi pelaku kejahatan dan healing (penyembuhan) untuk korban atas pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lampau.
Model rekonsiliasi secara sosiologis akan menghindari prosedur pengadilan HAM Ad Hoc yang memakan waktu panjang dan berbelit-belit. Apalagi jika para aktor kejahatan HAM masa lalu masih eksis hingga kini. Bahkan memiliki jaringan kekuasaan dan politik bukankah akan dengan mudah menghilangkan alat-alat bukti dan alibi. Ini akan kian sulit terwujud keadilan.
Apalagi jika dikaitkan dengan realitas politik mutakhir, di mana pembentukan pengadilan HAM Ad hoc bukan persoalan sederhana. Sebab harus melibatkan persetujuan politik di DPR. Sejarah sosial mengajarkan, gagasan pembentukan pengadilan HAM ad hoc yang diajukan pemerintah pernah ditolak DPR periode 1999-2003.
Jika pemerintah Jokowi berinisiasi kembali membentuk pengadilan HAM Ad hoc bukan tidak mungkin juga akan mengalami nasib yang sama alias ditolak kembali DPR periode 2014-2019 ini. Karena perbedaan konsep dasar argumentasi politik dan hukum yang syarat kepentingan jangka pendek membuat ide pembentukan pengadilan HAM ad hoc ini buntu di DPR.
Lebih dari itu, kultur politik elite negeri ini sejak Era Reformasi 1998 selalu saja dihinggapi potensi menggalang dukungan publik melalui aneka promosi dan kegiatan. Negeri ini seolah-olah tak pernah terjadi pelanggaran HAM. Kalaupun ada dikaburkan dengan argumentasi politis, berupa rekayasa dan intervensi kekuasaan asing.
Ini kian membuat blunder gagasan pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Bahkan, realitas konstelasi politik di DPR yang hari-hari ini belum kondusif antara KMP dan KIH akan menjadi bantu sandungan gagasan tersebut.
Lain halnya model rekonsilisai ini, yang menurut Ruti G Teitel (2000) dalam Transitional Justice, mencatat model ini efektif sebagai cara mewujudkan keadilan yang paling rasional dari cara lain. Itulah sebabnya model ini lebih sering digunakan di banyak negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan aktor negara.
Rekonsiliasi karena bukan sebuah lembaga peradilan maka para korban dan pelaku kejahatan HAM serta saksi-saksi dapat secara tulus dan sungguh-sungguh untuk saling memaparkan kejadiannya, lalu didorong saling memaafkan dan diakhiri dengan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi negara.
Menurut Robert D Thomson (2000) dalam Truth Vs Justice The Morality of Truth Commission, mencatat bahwa model rekonsiliasi merupakan salah satu semangat dari proses penegakan HAM alternatif yang dapat memperpendek dan mengurangi penderitaan korban. Model tersebut malah dapat dianggap sebagai hukum progresif dalam penegakan HAM.
Sesungguhnya prinsip dasar penuntasan pelanggaran HAM masa lalu akibat represi negara adalah keberanian menguak aneka tragedi kejahatan HAM dan tak membiarkannya dalam gelapnya kabut misteri sepanjang masa. Dengan mengutamakan pada asas-asas keadilan, kemanfaatan, kepastian dan kesimbangan hak antara pelaku kejahatan HAM dan korbannya (win-win solution).
Siapkan RUU
Salah satu referensi model penuntasan pelanggaran HAM masa lalu adalah dengan mengadopsi praktik di Afrika dan Eropa Timur, yaitu mewujudkan model rekonsiliasi nasional dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Dalam sejarah hukum Indonesia pernah memiliki UU No.27/2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun UU ini dibatalkan oleh MK pada tahun 2006, karena diduga melanggar prinsip dan asas penegakan HAM di Indonesia. Sejak itu, pijakan dalam menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu tak tersedia (vacuum of rechts).
Namun sesungguhnya masih terbuka peluang bagi pemerintah Jokowi untuk mengajukan RUU baru tentang model rekonsiliasi penuntasan pelanggaran HAM untuk lima tahun mendatang, dengan memperbaiki putusan MK itu dan mengakomodir perkembangan terbaru dalam penuntasan. RUU dapat dijadikan prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015-2016 mendatang.
Dalam praktik pembentukan model rekonsiliasi di sejumlah negara setidaknya terdapat banyak syarat tentang aspek kebenaran peristiwa kejahatan HAM masa lalu. Misalnya, rekonsiliasi haruslah berfokus pada kejahatan HAM masa lalu dan dibentuk untuk memperoleh gambaran seutuhnya mengenai kejahatan HAM untuk periode tertentu, tidak hanya fokus pada kejadian spesifik. Kemudian rekonsiliasi harus memilih seorang atau badan yang memiliki otoritas tinggi untuk menjamin akses informasi dan menjamin keamanan saksi, korban, serta pelaku untuk saling mengungkap kebenaran.
Sedangkan syarat rekonsiliasi yang harus dipenuhi seperti investivigasi. Di sini perlu pemerintah menyusun alat bukti dari berbagai sumber baik orang, badan maupun pemberitaan. Kemudian mengeluarkan pernyataan resmi tentang pihak-pihak yang diduga melanggar HAM. Mediasi atau usaha dari suatu lembaga bentukan pemerintah untuk membawa korban dan pelaku melalui jalan damai secara adil dan nondiskriminatif. Penyelesaian untuk memenuhi hak-hak korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Kini saatnya melawan amnesia (lupa) pelanggaran HAM masa lalu dengan menagih janji Presiden Jokowi untuk memanggul harapan publik menuntaskan. Bukankah Jokowi dalam program Nawa Cita butir ke-4 menyatakan, “Kami akan menghormati hak asasi manusia, memprioritaskan penyelesaian kasus HAM masa lalu secara berkeadilan.” Maka model rekonsiliasi nasional dapat dipertimbangkan sebagai kebijakan hukum (legal policy) lima tahun ke depan.
Dengan opsi ini pemerintah baru Jokowi akan dapat menumbuhkan optimisme public. Pemerintah baru tidak boleh mengidap penyakit amnesia karena lebih sensitif dan berani menuntaskan pelanggaran HAM. Lebih dari itu, akan menumbuhkan sikap publik kian percaya pada pemerintahan baru dalam upaya mewujudkan mimpi bebas dari dosa-dosa masa lalu. Dengan begitu bangsa akan melangkah maju tanpa digelayuti sejarah kelam, pelanggaran HAM.
(Sumber: Koran Jakarta, 2 Mei 2015)
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH, MA. dosen pascasarjana ilmu hukum UNS