Mahkamah Konsitusi (MK) baru saja menorehkan putusan untuk penegasan dan kepastian hukum terkait dengan eksistensi praperadilan dalam perkara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus (korupsi) melalui pembatalan ketentuan Pasal 77 huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (Suara Merdeka, 29 April). Putusan MK ini telah mengubah tradisi sistem peradilan pidana Indonesia mutakhir, karena MK memperluas norma baru praperadilan, yang sebelumnya hanya tiga norma, yakni: penangkapan, penahanan, dan penghentian penuntutan. Kini MK menambah menjadi tiga norma baru lagi, yakni: penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan penyidik terhadap tersangka. Dengan demikian, objek praperadilan dalam KUHAPdi Indonesia pascaeksekusi amar putusan MK ini menjadi enam norma.
Putusan MK ini merupakan putusan yang kedua untuk mengoreksi KUHAP yang tak lagi memadai dalam penyelenggaraan peradilan pidana yang adil dan seimbang dan bertentangan dengan UUD 1945. Sebelumnya pada 14 Februari 2014 MK telah membatalkan Pasal 268 Ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang mengatur permintaan Peninjauan Kembali (PK).
Saat itu MK beralasan upaya hukum luar biasa atau PK adalah untuk menciptakan keadilan, PK dibutuhkan untuk mencegah kesesatan dalam peradilan (miscarriage of justice). Kini hadirnya putusan MK kedua yang membatalkan ketentuan dalam KUHAP untuk memperluas norma praperadilan ini. MK beragumentasi untuk melindungi hak asasi calon tersangka dari potensi penyalahgunaan kekewenangan dalam proses penyidikan.
Karena dalam amar putusan MK mempertegas agar penyidik sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, wajib hukumnya penyidik menghadirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti dan perlu memeriksa calon tersangka terlebih dahulu, sebagai bagian dari transparansi proses penetapan seorang menjadi tersangka. Namun putusan MK yang memperluas objek praperadilan ini justru menguntungkan para tersangka terutama dalam tindak pidana khusus korupsi, karena hadirnya putusan MK ini dipastikan akan menyulut badai gelombang pengajuan gugatan praperadilan dari tersangka kasus korupsi.
Karena dipastikan semua upaya penyidik berpotensi diganggu oleh calon tersangka korupsi dengan gugatan praperadilan. Sangat dikhawatirkan kelak pokok perkaranya meleset dan gagal masuk proses peradilan (pro justisia) dan berpotensi berhenti di sidang praperadilan. Seperti dalam kasus Komjen Budi Gunawan beberapa waktu lalu. Seharusnya putusan MK yang membuat norma baru objek praperadilan ini disertai pula dengan pembatasan. Jika tidak maka semua tersangka kendati sudah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti yang cukup dan sesuai prosedur hukum formil dalam KUHAP akan menggunakan mekanisme praperadilan sebagai instrumen pembatalannya. Apalagi ditambah dengan realitas yang sulit dibantah secara sosiologis, betapa institusi pengadilan dan para hakimnya belum steril dari perilaku suap dan transaksi kasus korupsi. Itulah sebabnya putusan MK ini justru memperkuat barisan barikade koruptor untuk terus melakukan alibi hukum dengan memanfaatkan instrumen praperadilan untuk melawan pokok perkara korupsi. Norma Pembatasan Itulah sebabnya idealnya putusan MK ini harus disertai pula dengan norma pembatasan, kapan praperadilan terkait dengan penetapan tersangka dapat dilakukan, misalnya ketika tak terdapat dua alat bukti.
Kapan penggeledahan oleh penyidik dapat diajukan gugatan ke praperadilan, misalnya ketika tak sesuai dengan prosedur hukum formil dalam KUHAP. Kapan alat bukti yang didapat penyidik untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka dapat diajukan ke praperdailan agar hakim praperadilan menilainya, misalnya ketika mendapatkan alat bukti penyidik melakukan rekayasa dalam penyidikan atau pemaksaan pada calon tersangka dan lainlain. Jika tanpa limitasi maka putusan MK ini telah menghadirkan angin surga bagi para koruptor untuk selalu dapat menyiasati pokok perkara korupsi agar berhenti di tingkat penyidikan dengan cara mengajukan gugatan praperadilan. Inilah risiko besar yang harus ditanggung dari putusan MK dalam upaya pemberatanasan korupsi di masa depan. Karena itu putusan MK dalam mengoreksi KUHAP ini adalah putusan yang tak bersahabat dengan kebijakan pemberatasan korupsi di Indonesia. Putusan MK ini juga akan mematik sekaligus merombak asas peradian yang cepat, sedehana dan berbiaya murah. Dipastikan banyaknya perkara praperadilan akan membuat penyelesaian sidang di Pengadilan Negeri (PN) di seluruh Indonesia menjadi supersibuk dan overload, karena hakim PN tak dapat menolak gugatan perkara praperdilan dari siapa pun yang mengajukan.
Apalagi terdapat asas dalam sistem hukum pidana Indonesia yang mengharuskan perkara praperadilan harus didahulukan, karena dibatasi oleh limitasi waktu penyelesaian putusan hanya tujuh hari saja. Bahkan KUHAP menegaskan bila lewat tenggat waktunya maka gugatan yang dajukan oleh tersangka dianggap benar. Di titik inilah diperlukan kerja sama dan koordinasi antaraparat hukum terutama polri, kejaksaan dan kehakiman untuk dapat segera menyikapi putusan MK ini agar tak menguntungkan para tersangka koruptor yang akan segera berbondong- bondong mengajukan gugatan praperadilan. Polri, Kejaksaan dan Kehakiman perlu membuat terobosan hukum acara untuk membuat batasan tentang kapan gugatan praperadilan ini dapat dilakukan.
(Sumber : Suara Merdeka, 5 Mei 2015)
Tentang penulis:
Agus Riewanto, dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta