Agus Riewanto | Opini
Selasa 30 Juni 2015, 00:00 WIB
PUBLIK dikejutkan dengan adanya indikasi menguatnya politik dinasti dalam pilkada serentak yang akan digelar pada 9 Desember 2015 mendatang karena terbitnya Surat Edaran (SE) KPU Nomor 302/VI/KPU/2015 yang telah mendefinisikan petahana (incumbent), yaitu kepala daerah tidak lagi berstatus sebagai petahana saat dia mengajukan pengunduran diri dari jabatannya. (Media Indonesia, 25 Juni 2015). SE KPU pemicu dinasti SE KPU itu telah menyulut api semangat sejumlah kepala daerah petahana untuk mengundurkan diri dari jabatan sebelum tahapan pencalonan kepala daerah pada 26-28 Juli 2015 mendatang. Hal itu mereka lakukan agar tidak dikualifikasikan sebagai petahana sehingga mereka dapat membukakan jalan bagi kerabat dekatnya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Seperti yang dilakukan Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad, Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya, Wakil Wali Kota Sibolga Marudut Situmorang, dan Bupati Kutai Timur, Isran Noor. Jejak mereka dapat dipastikan akan diikuti 22 kepala daerah lain di Indonesia yang memiliki masa jabatan sampai sesudah tahapan pencalonan pilkada. Padahal, semula, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) dinyatakan bahwa calon kepala/wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana (incumbent). Maksud konflik kepentingan itu ialah calon kepala daerah tidak berhubungan darah dan ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu. Kecuali, mereka telah melewati jeda satu kali masa jabatan dengan kepala daerah yang sedang menjabat (petahana/incumbent). Cita-cita yang terkandung dalam ketentuan UU Pilkada itu sangat jelas, yakni mencegah munculnya politik dinasti dalam rekrutmen jabatan politik kepala daerah dalam pilkada. Namun, UU Pilkada itu diterjemahkan secara keliru oleh KPU melalui SE KPU. Implikasinya telah membuka kran politik dinasti dalam pilkada serentak mendatang. Demokrasi tradisional Keinginan mundur dari jabatan oleh sejumlah kepala daerah dengan berdasarkan pada SE KPU itu bertujuan memuluskan jalan kerabat dekat mereka untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Hal itu jelas mencerminkan betapa di bawah alam sadar elite politik lokal kita masih terdapat model demokrasi tradisional. Seperti diduga oleh Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society, salah satu ciri demokrasi tradisional ialah kepercayaan yang masih kuat pada kemampuan yang dimiliki oleh calon-calon yang berasal dari keluarga elite politik. Para elite politik lokal masih memercayai bahwa para kerabat petahana akan memiliki kemampuan dan popularitas yang sama dengan petahana. Model itu pun mirip dengan praktik politik patrimonial (patrimonalism). Itu jelas membahayakan jalannya demokrasi. Pasalnya, demokrasi menantang keras pemimpin politik yang lahir dari kerabat elite politik tanpa kerja keras dan kompetisi yang serius dan adil. Karena itu, dinasti ialah lawan abadi dari demokrasi. Pasalnya, politik dinasti di daerah akan berpotensi pada penyerahan mandat kepemimpinan politik yang hanya akan berputar di sekitar ring keluarga yang memiliki garis karier politik dan kekuasaan. Sudah pasti cara itu akan mematikan pola regenerasi pemimpin politik yang modern yang berorientasi merit system, yaitu profesionalisme, kapasitas intelektual, integritas moral, daya inovasi serta kreatif membangun bangsa. Politik dinasti dalam pilkada itu memang berjalan lambat, tapi pasti akan menggeser isu-isu demokrasi ke arah anarkistis atau setidaknya demokrasi hanya menjadi wajahnya, sementara isinya ialah kaum aristokrasi (keturunan elit politik lokal). Aristokrasi jelas akan mendorong pada perbincangan politik yang kian elitis karena tak ada lagi kompetisi yang yang seimbang dan fair antara calon ‘orang biasa’ (nonkerabat elit politik lokal) dan ‘orang luar biasa’ (kerabat elite politik lokal). Bahaya politik dinasti Praktik politik dinasti yang masih berpotensi terjadi dalam pilkada serentak itu jelas membahayakan proses demokratisasi lokal karena melanggar fatsun politik (etika, kepatutan, dan norma umum). Pasalnya, model itu akan berpotensi menyumbat regenerasi pemimpin politik yang mengutamakan pada kompetisi yang fair di atas rekam jejak keilmuan, ketokohan, kenegarawanan, uji kompetensi aktivis politik yang panjang, dan integritas moral politik yang memadai. Perputaran kekuasaan politik yang hanya pada kerabat penguasa lokal juga mencerminkan pada kemunduran model regenerasi politisi di tubuh sistem kepartaian di daerah. Pasalnya, partai selama ini lebih banyak mengalami perpecahan yang disebabkan oleh kepentingan pragmatis, bukan ideologis. Akhirnya, yang terjadi ialah kegagalan partai dalam melahirkan kader-kader pemimpin lokal yang mumpuni. Akibatnya, politik dinasti di daerah muncul sebagai cara instan melahirkan tokoh alternatif politik lokal. Mencegah politik dinasti Untuk mencegah politik dinasti dalam pilkada mendatang, KPU harus berani merevisi SE KPU Nomor 302/VI/KPU/2015 dengan melakukan tafsir ulang definisi petahana, yakni mereka yang terakhir menjabat sebagai kepala daerah. Artinya, yang disebut petahana ialah kepala daerah yang menjabat terakhir di daerah itu sekali pun mereka mengajukan pengunduran diri dari jabatan kepala daerah di tengah jalan. Dengan begitu, mundur dan tidaknya seorang kepala daerah dari jabatan tidak memengaruhi statusnya sebagai petahana. Karena itu, dalam model tafsir petahana itu, seorang kepala daerah telah dikunci agar tidak membuka peluang bagi keluarganya untuk maju dalam pencalonan kepala daerah. Lebih dari itu, upaya mencegah politik dinasti dalam pilkada serentak mendatang ialah memperkuat basis rasionalitas pemilih agar tidak mudah terlena dan bersimpati berlebihan pada kerabat dekat petahana melalui sosialisasi dan kesadaran berpolitik etik. Agus Riewanto Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Surakarta
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/5010-mencegah-politik-dinasti-pilkada-serentak