Oleh Agus Riewanto
Beberapa waktu lalu konflik terbuka berupa perlawanan (resistance) Mahkamah Agung (MA) terhadap Komisi Yudisial (KY) dalam mengawasi dugaan pelanggaran kode etik hakim mengemuka luas. Paling tidak terdapat 55 rekomendasi usulan penjatuhan sanksi KY tidak ditindaklanjuti MA karena dinilai memasuki ranah teknis yudisial. Rekomendasi KY ke MA soal pengawasan hakim dalam upaya penegakan kode etik, menjaga, dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, sia-sia.
Perlawanan ke KY belum berhenti. Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) yang merupakan korps organisasi induk para hakim yang bernaung di “rumah” MA juga melawan KY tekait rekrutmen calon hakim agama, umum, dan tata usaha negara. Mereka mengajukan gugatan uji materil (judicial review) UU No 18/2011 Tentang Perubahan UU No 22/2004 Tentang Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Ikahi UU ini tidak mengamanatkan KY ikut MA merekrut hakim. UU ini diadukan melanggar Pasal 28 B Ayat (1) UUD 1945.
Perlawanan pada KY paling mutakhir, pelaporan hakim Sarpin Rizaldi ke polisi terhadap dua komisioner KY (Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri) atas dugaan pencemaran nama baik pada pengawasan Sarpin Rizaldi dalam sidang praperadilan di media sosial.
Fenomena ini menunjukkan KY tak lagi berwibawa. Padahal KY merupakan institusi penting setara MA. KY adalah institusi baru dibentuk 2001 oleh Pasal 28 B Ayat (1) hasil amendemen ketiga UUD 1945.
Kewenangannya antara lain menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Ketidakwibawaan KY di hadapan MA membayakan masa depan gerak dan rajutan reformasi hukum. Dengan begitu hakim-hakim MA berpotensi kebal hukum.
Namun demikian, ketidakpatuhan MA terhadap rekomendasi KY patut dijadikan refleksi atas perjalanan reformasi kelembagaan hukum dan kemungkinan ketidaktepatan desain kelembagaan KY.
Kehadiran KY dalam khazanah kelembagaan hukum bukan merupakan ide otentik, tapi produk impor. Dalam studi antroplogi dan perbandingan hukum seperti dinyatakan Jan M Smits, (2006) dalam Comparative Lawland its Influence on National Legal Systems, produk institusi hukum dan legislasi baru di negara-negara berkembang merupakan fenomena transpalansi hukum. Ini pemidahan hukum dari berbagai hukum asing untuk menjadi solusi negara berkembang. Sedangkan menurut Esin Orucu, 200:21 ini merupakan pergerakan hukum lintas batas.
Transpansi hukum berpotensi melahirkan ketidakcocokan dan penolakan masyarakat atau dari objek yang akan direformasi. Karena hukum asing yang ditranspalansikan memiliki basis sosial budaya berbeda dengan sistem hukum negara penerima (Hari P, 2007:22).
Perilaku hakim-hakim MA yang akan direformasi menolak untuk diawasi KY mirip teori ini. MA merupakan institusi jauh lebih tua dalam sistem hukum Indonesia. Dia merasa tidak cocok diawasi KY yang masih belia. Lebih dari itu, transpalansi KY ke dalam sistem hukum dengan kewenangan tadi bisa jadi tidak tepat.
Cermin Kegagalan
Bahkan perlawanan MA dan para hakim cermin kegagalan reformasi peradilan yang telah lama dinantikan sebagai upaya megubah kultur hakim dalam memutuskan yang berkeadilan dan berkeadaban.
Beberapa negara yang berhasil mereformasi hukum melalui sejenis KY selalu disertai analis dan studi mendalam terlebih dulu agar kehadirannya tidak ditolak masyarakat atau objek yang direformasi. Fungsi KY selalu berbeda di setiap negara baik Asia, Afrika, Eropa, ataupun Amerika Serikat. Perbedaan ini disebabkan kondisi sosial budaya dan kebutuhan. Jika kelemahan penegakan hukum suatu negara di bidang tata kelola, perencanaan dan pengalokasian keuangan hakim, maka KY difungsikan untuk tugas ini seperti di Belanda dan Irlandia.
Jika kelemahan penegakan hukum terletak pada konsistensi putusan hakim antara satu pengadilan dan lainnya untuk keadilan, negara memfungsikan KY untuk menegakan tugas ini seperti Selandia Baru. KY di Afrika Selatan berfungsi memberhentikan hakim tak profesional, pengangkatan calon Ketua MA dan MK. Di Prancis, Italia, Spanyol dan Portugal, KY merekrut, mutasi, promosi, pengawasan, dan pendisiplinan hakim.
Sedangkan di Denmark, Italia, Irlandia, dan Swedia KY berfungsi mulai rekrutmen hingga tata kelola administrasi pengadilan, bahkan managemen keuangan pengadilan (Rifqi S Assegaf, 2004).
KY Indonesia tidak disertai studi dan analis mendalam atas fungsinya mengatasi kelemahan penegakan hukum (Risalah Rapat Panitia Ad Hoc I BP-MPR RI ke 11-15 tahun 2001). Apakah betul kelemahan penegakan hukum selama ini terletak pada etika dan keluhuran budi hakim yang merosot, sehingga KY harus menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Itulah sebabnya ketika MA menolak rekomendasi KY untuk menjatuhkan sanksi pada hakim, selalu disertai catatan, “KY terlampau jauh memasuki wilayah teknis yudisial.” Maka, diperlukan reformasi kewenangan KY lebih luas lagi. Perlu ditambah, rekrutmen semua hakim di seluruh tingkatan (PN, PT dan MA). Juga menyangkut manajemen teknis hukum, pemberi sanksi, promosi, hingga kesejahteraan hakim.
Maka ketika KY bersikap berbeda, tidak ditolak. Apalagi diancam pidana oleh objek yang direformasi, sebagaimana dialami dua komisioner KY yang dilaporkan Sarpin (Koran Jakarta, 12/7/2015). KY juga tidak akan digugat ke MK oleh Ikahi karena hendak bersama-sama MA merekrut hakim agar prosesnya lebih terbuka, akuntabel, dan profesional.
MA dan KY tidak elok bila terus konflik karena akan menghambat sistem penegakan hukum. Konflik mencerminkan kegagalan transpalansi hukum yang berpotensi menstagnasikan reformasi peradilan untuk mengubah institusi hukum menjadi corong keadilan.
Kini diperlukan peta jalan (road map) reformasi relasi MA dan KY secara tepat sesuai budaya hukum ketatanegaraan. MPR perlu mengaji mendalam dan sistematis untuk amendemen kembali UUD 1945 guna menata sistem penegakan hukum melalui redesain fungsi KY dan hubungannya dengan MA.
(Sumber : Koran Jakarta, 15 Oktober 2015).
Tentang penulis :
Dr Agus Riewanto, SH, MA, dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS