Solo Pos 29102015
Solopos.com, SOLO — Tanggal 28 Oktober kita peringati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Semangat memperingati Hari Sumpah Pemuda perlu diadaptasikan dengan problem mutakhir bangsa kita. Cinta tanah air (nasionalisme) seharusnya lebih dari sekadar ideologi, melainkan sebuah performa naratif.
Nasionalisme harus menjadi proses pemaknaan yang aktif, berulang-ulang, dan reproduktif. Meredefinisi nasionalisme adalah keniscayaan oleh generasi berikutnya agar menjadi inspirasi perubahan. Problema mutakhir bangsa kita adalah korupsi. Mencegah korupsi harus dimotori kaum muda.
Gagasan pencegahan korupsi berangkat dari realitas tak terbantahkan bahwa korupsi adalah kolonialisme baru dan terorisme (corruption is the real terrorist and colony). Koruptorlah teroris dan penjajah sejati. Koruptorlah penyebab sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan.
Melawan koruptor harus dilakukan dengan lebih taktis, progresif, dan sistematis dimulai dari kaum muda. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia 2014 yang diumumkan Transparency International menunjukkan dari 177 negara Indonesia mendapatkan peringat ke-32.
Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja (20), Myanmar (21), Laos (26), Timor Leste (30), dan Vietnam (31). Indonesia kalah jauh dibandingkan seperti Singapura (86), Brunei Darussalam (60), Malaysia (50), Filipina (36), dan Thailand (35).
Indonesia butuh usaha keras. KPK dan aneka produk UU Antikorupsi telah menjadikan Indonesia relatif lebih baik dibandingkan era-era sebelumnya. Upaya melawan korupsi yang dilakukan institusi antikorupsi seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian lebih menekankan pada aspek penegakan hukum dengan mengutamakan proses hukum (adjudication) dan penghukuman pelaku korupsi.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda harus jadi momentum menumbuhkan strategi pemberantasan korupsi dengan merancang model pencegahan korupsi yang aktornya mencakup kalangan yang lebih luas, bukan hanya aparat hukum, namun juga kaum muda usia SMA dan yang sederajat hingga kalangan mahasiswa. [Baca: Pendidikan Antikorupsi]
Pendidikan Antikorupsi
Gerakan antikorupsi Di Tiongkok, Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Selandia Baru melibatkan kaum muda, mulai dari pendidikan dasar hingga ke perguruan tinggi, bahkan hingga ke berbagai macam organisasi sosial kaum muda lokal hingga nasional.
Gerakan ini butuh maskot atau semacam common platform untuk membentuk kesadaran publik ihwal perlunya mencintai negeri agar tidak bangkrut akibat korupsi. Ernest Renan (1823-1892) dalam bukunya What is Nation? (1996: 41-55) menyatakan timbulnya rasa cinta negara (nasionalisme) pertama-tama dari perasaan menderita bersama (having suffered together) sehingga dirasa perlu menjemput kegemilangan (genuine glory).
Pemuda perlu dilibatkan secara budaya dalam mewujudkan solidaritas antikorupsi. Sosialisasi gagasan ini penting dilakukan dan diindoktrinasikan ke dalam kurikulum antikorupsi di semua level masyarakat, terutama di lembaga pendidikan formal maupun informal, dari pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi sebagai reinkarnasi nilai Sumpah Pemuda.
Perlu diupayakan kesadaran kolektif baru bahwa korupsi lebih kejam daripada penjajahan. Sanksi sosial berupa stigma antinasionalisme layak diberikan kepada koruptor. Diperlukan peran media massa dan media sosial guna merancang peran aktif dan strategis untuk memprovokasi lahirnya kesadaran nasionalisme baru ini.
Peran media massa dan media sosial itu berupa (misalnya) membatasi ruang untuk mewartakan sisi baik tokoh publik yang terjerat kasus korupsi. Jika terpaksa diberitakan, fokusnya pada kasus korupsinya, bukan ketokohannya.
Langkah berikutnya adalah segera mendorong percepatan reformasi birokrasi, remunerasi, proses perekrutan pejabat publik yang bersih dari korupsi serta kerja sama dengan gerakan masyarakat antikorupsi untuk mengontrol kinerja pejabat publik di semua lini.
Kelambatan reformasi birokrasi mendorong lahirnya politik tak berkesudahan berupa ”transisi demokrasi”. Sistem politik hanya bekerja di aras prosedural dan tak mengubah perilaku korup elite politik lokal dan nasional, bahkan korupsi itu malah lebih transparan dan vulgar di semua lini.
Subtansi demokrasi menjadi jauh dari harapan. Membaca transisi demokrasi Indonesia adalah membaca pergantian simbol dan prosedur, bukan pergantian subtansi, yakni tumbuh suburnya perilaku jujur dan bersih.
Tak kalah penting adalah mendorong perbaikan dan reformasi kelembagaan partai polik dan sistem pemilihan umum (pemilu). Pemilihan umum (pemilu) 2009 hingga 2014 yang menganut model sistem proporsional berbasis suara terbanyak dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung pada 2005 hingga 2015 dengan model mayoritas menyebabkan biaya politik begitu mahal.
Inilah yang menyebabkan perilaku elite politik di DPR/DPRD serta kader partai politik yang menduduki jabatan publik berusaha ”mengembalikan” dana politik yang dikeluarkan saat kampanye.
Pencanangan program bela negara sebagiknya difokuskan menyiapkan kader muda, usia 16 tahun-40 tahun, dengan program pelatihan gerakan mencegah korupsi. Peringatan Hari Sumpah Pemuda kali ini patut dijadikan momentum mengajak kaum muda untuk bersumpah mencegah dan melawan korupsi.