Solo Pos 03122015
Solopos.com, SOLO — Hari-hari ini publik kembali dikejutkan oleh perilaku Ketua DPR Setya Novanto yang diduga melakukan manuver politik untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan cara mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla.
Setya diduga kuat mencatut nama keduanya untuk mendapatkan 20% saham PT Freeport Indonesia dengan tujuan memuluskan perpanjangan kontrak karya pertambangan yang akan berakhir pada 2021 dan ada kehendak diperpanjang lagi hingga 2041.
Manuver Ketua DPR ini mengemuka dan menjadi perhatian publik berkat inisiatif Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan dugaan pencatutan nama presiden dan wakil presiden itu ke Mahkamah Kehormatan DPR (MKD).
Laporan tersebut disertai alat bukti yang cukup kuat dari aspek hukum pidana, yakni transkrip pembicaraan Ketua DPR itu dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin dan pengusaha minyak Mohammad Reza Chalid.
Semula laporan Sudirman Said ke MKD dianggap mengada-ada dan ditanggapi dingin oleh banyak kalangan, namun beberapa hari ini laporan itu berstatus hampir dipastikan benar dan meyakinkan publik.
Pastilah seorang menteri tidak akan gegabah bermanuver jika tidak berdasar alat bukti yang kuat dan dikonsultasikan dengan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla pasti telah memiliki cukup alat bukti atas pencatutan nama itu.
Publik sulit untuk tidak memercayai terjadinya pencatutan nama presiden dan wakil presiden ini. Setya Novanto juga terlibat dalam kasus, dugaan pelanggaran kode etik dalam pertemuan dengan Donald Trump (2015). Kasus ini berakhir tanpa sanksi berat.
Pada 2013-2014, Setya Novanto diduga terlibat dalam kasus ketidakberesan pengadaan kartu tanda penduduk elektronik. Pada 2009, ia diduga terlibat dalam kasus penerimaan fee dalam pembelian pesawat amfibi dari Jepang.
Setya Novanto diduga terlibat dalam penyelundupan beras sebanyak 60.000 ton dari Vietnam pada 2005. Ia juga diduga terlibat dalam kasus ”uang panas” dalam pembangunan venue untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) di Provinsi Riau pada 2008.
Kasus lain yang diduga melibatkan Setya Novanto adalah cessie Bank Bali (1999-2000). Kasus dugaan pencatutan nama presiden dan wakil presiden oleh Ketua DPR ini bisa jadi merupakan puncak gunung es. Mungkin terdapat ratusan kasus pencatutan nama pejabat publik lainnya untuk kepentingan ekonomi-politik oleh politikus nasional dan lokal yang tak terungkap.
Perilaku konsipratif Ketua DPR ini merupakan cermin pejabat negara yang tak konsisten memegang amanah dan moralitas jabatan publik. Ronald Dworkin (1986) dalam buku klasiknya Law’s Empire and Freedom’s Law: The Moral Reading of The American Constitution mengingatkan ensensi moral/etik pejabat publik/hukum adalah kemampuan meletakkan nilai-nilai moral sebagai puncak rujukan tindakan dalam bentuk ucapan, perilaku, maupun keberpihakan.
Publik berharap MKD menuntaskan pengusutan konspirasi ini sesuai dengan UU No.17/2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Berdasar UU ini ucapan atau tindakan yang dilakukan anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang diduga melanggar kode etik harus terlebih dahulu diselesaikan secara internal melalui MKD yang anggotanya bersifat tetap yang terdiri perwakilan fraksi-fraksi.
Pasal 40 Peraturan DPR No. 2/2015 tentang Tata Cara Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD) menyatakan MKD dapat membentuk panel penegakan kode etik yang beranggota tiga orang dari MKD dan empat orang tokoh masyarakat.
Panel penegakan kode etik dapat memanggil para pihak untuk mengumpulkan bukti dan klarifikasi dugaan pelanggaran kode etik. Hasilnya dapat disampaikan dalam rapat MKD dan selanjutnya dapat diajukan dalam sidang paripurna DPR.
Secara substansial MKD perlu mendalami ketentuan Pasal 292 dan beberapa pasal dalam Peraturan DPR No. 1/2015 tentang Kode Etik DPR. Pasal 2 ayat (1) sampai (5) Bab II bagian kesatu tentang ketentuan umum mengatur perlunya anggota DPR mematuhi hukum dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (1), (2), dan (4) Bab II bagian kedua tentang integritas menyatakan anggota DPR harus dapat menjaga wibawa dan martabat negara dan bangsa. Pasal 6 ayat (4) Bab II bagian kelima tentang keterbukaan dan konflik kepentingan menyatakan anggpta DPR dilarang melakukan perkerjaan untuk kepentingan pribadi dan atau golongan.
Publik berharap MKD bernyali menuntaskan pengusutan konspirasi ini secara tegas dan tuntas. Salah satu cara pilihannya adalah membuka kasus ini seterang-terangnya dengan menggelar sidang kode etik. Sidang harus dilaksanakan terbuka sehingga publik dapat melihat, mendengar, dan memantau secara langsung. Sidang kode etik ini jangan ditutup-tupi.
Penyelenggaraan sidang kode etik secara terbuka ini sesungguhnya merupakan amanat Pasal 15 Peraturan DPR No. 2/2015 tentang tata beracara MKD menyatakan sidang MKD dapat dinyatakan terbuka oleh dirinya sendiri.
Akuntabilitas Kinerja
Urgensi sidang kode etik MKD dalam kasus konsiprasi perpanjangan kontrak karta PT Freeport ini untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja MKD. Model ini akan membuka peluang yang luas bagi publik untuk menyaksikan sikap politik fraksi-fraksi dan anggota MKD terhadap kasus ini.
Ini sekaligus merupakan uji nyali keberpihakan MKD untuk menegakkan martabat lembaga wakil rakyat. Tanpa sidang MKD yang terbuka akan menurunkan martabat MKD karena akan membuka peluang spekulasi politik bahwa sidang dalam kasus ini hanya sandiwara politik.
Sidang kode etik MKD sebelumnya dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon terkait kehadiran mereka dalam acara Donald Trump di Amerika Serikat pada Oktober lalu ternyata dilakukan secara tertutup, bahkan konon tidak ada sidang MKD.
Informasi yang beredar menyatakan anggota MKD malah menemui Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon untuk meminta klarifikasi dan kesimpulannya MKD yang memberikan teguran ringan. Cara kerja MKD yang seperti ini tak efektif. Buktinya dugaan pelanggaran kode etik terjadi lagi, seperti dalam kasus konspirasi terkait kontrak karya PT Freeport ini.
MKD dapat mengikuti jejak Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggelar sidang mahkamah etik secara terbuka terhadap mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam kasus suap ratusan miliar rupiah yang terkait berbagai kasus sengketa pemilihan kepala daerah beberapa waktu lalu.
Dalam sidang etik itu MK mengundang sejumlah tokoh masyarakat independen menjadi anggota tim panel etik. MK memutuskan menyampaikan secara terbuka proses pemeriksaan saksi-saksi dan Akil Mochtar. Cara ini cukup mampu mengangkat pamor dan wibawa MK menjadi institusi cukup disegani.
Sesungguhnya kasus konspirasi terkait perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia ini merupakan bagian dari kualifikasi korupsi berupa gratifikasi untuk pejabat negara yang menjanjikan memberikan proteksi terhadap pebisnis secara khusus dengan imbalan jasa fee uang dan saham.
Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU No. 31/1999 juncto UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi adalah pemberian dalam arti luas. Pemberian itu mencakup pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Berdasarkan ketentuan ini sesungguhnya sangat terbuka bagi MKD untuk dapat menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dapat melakukan tindakan hukum dalam kasus ini.
KPK harus menangani kasus ini karena dalam bukti rekaman pembicaraan konspiratif ini diduga ada pejabat negara yang memberikan janji-janji untuk memberikan keuntungan bagi orang lain atau korporasi dan berakibat merugikan negara.
KPK berwenang menyelidiki, baik diminta maupun tidak. Jika diserahkan kepada Polri, KPK tetap bisa melakukan supervisi sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No. 30/2002 tentang KPK.
Pertalian antara penegakan kode etika DPR melalui sidang terbuka oleh MKD dengan menggandeng KPK dalam pembuktian gratifikasi dan korupsi dalam kasus konspirasi kasus PT Freeport Indonesia ini akan dapat menjadi sarana pemulihan integritas lembaga DPR yang akhir-akhir bercitra buruk karena perilaku para anggotanya.