Oleh Agus Riewanto
Tahun 2015 segera berakhir, tapi masih meninggalkan banyak masalah bagi bagnsa ini. Untuk itu perlu solidaritas dan kepedulian sosial dan bersedia menyalakan api gerakan masyarakat sipil antikorupsi. Kemiskinan masih tinggi, 28 juta jiwa dan pengangguran 7,5 juta. Ini karena korupsi di mana-mana.
Ironisnya gerakan civil society (usaha mandiri dari masyarakat secara bersama-sama) mulai dari jaringan keluarga, organisasi-organisasi nirlaba sosial, keagamaan, profesi dan lain-lain berupa: rasa solidaritas antikorupsi dan kepedulian sosial rakyat kita tergerus. Rakyat setiap hari disuguhi ketidakpedulian dan tiada solidaritas. Elite politik dan pejabat hidup mewah, tidak mencerminkan kesederhanaan.
Rakyat selalu diimbau untuk hidup sederhana dan mengencangkan ikat pinggang, tapi mereka hidup mewah dan menggendutkan perut dari uang korupsi. Mereka seolah tak peduli penderitaan rakyat. Mereka peduli hanya menumpuk uang dan pundi-pundi kekuasaan. Rakyat kehilangan teladan dan panutan hidup sederhana dan bersolidaritas sosial. Padahal dalam harta orang kaya terdapat hak orang miskin.
Solidaritas antikorupsi diperlukan untuk mencegah banalitas korupsi yang telah endemik.Diperlukan banyak asosiasi masyarakat sipil untuk menggelorakan semangat antikorupsi. Mereka bisa mendorong dan menginisasi agar masyarakat dari lingkaran paling dasar keluarga dan RT/RW hingga ke level kelurahan berani melaporkan bila ada pejabat publik di lingkungannya memiliki kekayaan melebihi ambang batas kewajaran. Mereka hidup bermewah-mewahan.
Masayarakat harus berani menolak bantuan sosial dari para pejabat korup di wilayahnya. Bentuk-bentuk dan sikap sosial seperti ini diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran pada generasi muda agar sejak dini sensitif akan kejahatn korupsi. Ini mengajak rakyat proaktif, tidak hanya menanti polisi, jaksa atu KPK bertindak.
Solidaritas sosial antikorupsi perlu digerakkan sebagai manifestasi masyarakat yang kian peduli dan empati atas tindakan para pejabat korup. Mereka menelan dana-dana publik yang seharusnya untuk menyokong pembangunan infstruktur publik dan kesejahteraan rakyat. Dana habis untuk kepentingan para elite pejabat dan pemburu rente.
Akibatnya pembangunan tak merata dan hasil-hasilnya hanya berputar di sekitar lingkaran kekuasaan politik, partai penyokong, dan sanak famili. Korupsi jelas tindakan yang membayahakan keseimbangan kehidupan sosial. Ini lambat laun dapat memotong lahirnya generasi emas.
Dalam teori hak asasi manusia (HAM) sesungguhnya orang yang menderita akibat apa pun berhak memperoleh solidaritas sosial dari masyarakatnya sendiri. Ini disebut sebagai pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosok).
Uniknya selama ini tragedi akibat tidak terpenuhinya hak-hak tersebut dianggap biasa. Cara pandang seperti ini kerap diikuti warganya dengan cara memberi bantuan sebagai reaksi sesaat atas nama solidaritas. Oleh karena itu, kasus busung lapar dan kurang gizi, orang bunuh diri karena himpitan hidup atau ibu membakar diri karena kemiskinan dianggap sebagai tragedi biasa. Padahal jika dirunut dari sistem jaringan sosial, ini jelas akibat dari perilaku korupsi pejabat publik.
Dalam sejarahnya, ekosok memang dianggap lebih rendah dibanding hak-hak sipil dan politik. Sejarah itu terkait perang dingin antara blok barat dan timur. Hak-hak ekosok yang dipandang sebagai kepentingan blok sosialis.
Pandangan ini didukung beberapa filsuf barat yang menganggap pemenuhan hak-hak itu tergantung pada kemampuan negara, bukan dianggap sebagai sesuatu yang melekat pada diri setiap orang, seperti halnya hak-hak sipil dan politik.
Dengan nuansa seperti itu, ekosok bersifat non justiciable, tidak bisa dituntut di depan pengadilan. Jadi, tidak seperti hak-hak sipil dan politik yang bersifat negatif sehingga intervensi negara malah menjadi pelanggaran. Hak-hak itu dianggap melekat pada diri setiap orang.
Hak-hak ekosok bersifat positif, memerlukan intervensi negara. Gerakan internasional HAM sejak 20 tahun lalu memang diarahkan untuk mengampanyekan hak-hak sipil dan politik daripada ekosok.
Antikorupsi
Kini lahir gerakan baru HAM berupa kebangkitan manusia sejagat untuk meniscayakan penguatan jaringan solidaritas sosial sebagai bagian HAM. Inilah perjuangan masyarakat dunia untuk menuntut saling membantu, bergotong-royong, senasib dan saling tenggang rasa antarsesama umat manusia di seantero dunia.
Artinya, kini dan di masa depan penderitaan manusia di satu negara akibat korupsi berupa kemiskinan, diskriminasi kebijakan ekonomi, berhak mendapat solidaritas sosial dari seluruh dunia. Dengan begitu, ke depan persoalan hak memperoleh bantuan ekonomi, penghapusan utang luar negeri bagi negara miskin, uluran tangan melepaskan dari jeratan kemiskinan manusia sejagat akibat korupsi dari elite politik di suatu negara bukan lagi persoalan domestik. Ini menjadi persoalan setiap orang yang tanpa dapat dibatasi sekat negara, bangsa atau persoalan internasional.
Ke depan gerakan solidaritas sosial antikorupsi dan peduli pada sesama manusia di mana pun akan menjadi isu global. Di sini tidak ada batas atau sekat ideologi dan kedaulatan suatu negara. Maka upaya untuk menanggulangi dan mencegah penderitaan umat manusia sejagat dari kemiskinan akibat korupsi menjadi tanggung jawab bersama atas nama HAM universal.
Maka, momentum memperingati Hari Antikorupsi 9 Desember ini dan Hari HAM 10 Desember besok patut dijadikan momentum untuk menyerukan solidaritas antikorupsi dan kepedulian sosial sebagai bentuk praksis HAM melalui gerakan civil society. Dengan dmeikian setiap bangsa bersama-sama berusaha dengan berbagai upaya melawan banalitas korupsi, tanpa bergantung pada pemerintah dan negara.
(Sumber: Koran Jakarta, 09 Desember 2015)
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, dosen FH dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS