Oleh Agus Riewanto
HARIini 10 Desember 2015 atau 67 tahun silam, di planet kita terjadi deklarasi universal hak-hak asasi manusia (HAM) atau Universal Declaration of Human Rights 10 Desember 1948 di Paris. Sejak itu PBB menetapkan sebagai Hari HAM Internasional. Pascadeklarasi HAM itu, tampaknya sejarah pelanggaran (violance) HAM dalam peradaban manusia terus berlangsung tiada henti hingga kini, dalam berbagai model panorama kekejian dan ketidakadilan.
Di negeri ini kita masih saja diperlihatkan fenomena yang memprihatinkan, yakni belum berkembangnya kesadaran berbudaya hukum dan berhak asasi manusia yang konsisten dan utuh. Dalam konteks hukum yang mengatur tentang HAM, terdapat dua realitas yang tak terbantahkan.
Pertama, produk-produk regulasi HAM terutama UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM tidak cukup memuaskan.
Kedua, pelaksanaannya juga amat memprihatinkan. Akibatnya, regulasi HAM ini belum cukup mampu mengatasi, menuntaskan dan menegakkan problem dan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Padahal mestinya regulasi HAM ini difungsikan untuk menjamin keadilan pada korban dan ketertiban masyarakat. Mestinya regulasi HAM ini dapat didayagunakan sebagai pagar dan garis panduan arah penuntasan pelanggaran HAM di tanah air.
Namun realitasnya, UU HAM nyaris tak mampu mewujudkan impian itu. Karena terdapat sejumlah sekat dalam UU HAM yang menganggu proses pengusutan dan penuntasan pelanggaran HAM. Sehingga diperlukan pikiran dan proyeksi ke depan bagi revisi UU HAM dan menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016 mendatang di Pemerintahan Jokowi-JK dan DPR periode 2014-2019.
Pertama, terkait dengan tiadanya tindak lanjut dari instansi terkait terhadap pelanggaran HAM yang direkomendasikan oleh Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ini berakibat pada mayoritas hasil penyelidikan Komnas HAM atas suatu dugaan pelanggaran HAM tak memperoleh respon memadai dari instansi terkait. Sehingga berkesan Komnas HAM hanyalah institusi yang bisa membuat rekomendasi: apakah suatu objek tertentu dikategorikan pelanggaran HAM atau bukan.
Tanpa disertai suatu kepastian: apakah rekomendasi Komnas itu segera direspons positif atau tidak oleh institusi yang dimaksud. Kedua, tidak adanya sanksi hukum yang memadai terhadap institusi yang tak mengindahkan rekomendai Komnas HAM dalam mengusut dan menindaklanjuti proses pelanggaran HAM, baik secara politik maupun hukum. Akibatnya tak ada suatu proses timbal balik (feed back) yang memadai terhadap suatu rekomendasi.
Yang ada hanyalah kesan bahwa formalitas dalam menindaklanjuti rekomensai Komnas HAM. Karenanya UU HAM perlu menyediakan batasanbatasan yang jelas agar instansi yang tidak mengindahkan rekomendasi Komnas HAM diberi sanksi memadai.
Ketiga, Komnas HAM tidak memiliki wewenang untuk menggugat hukum pada institusi yang tak mengindahkan rekomendasi dan hasil penyidikannya. Karenanya perlu dipikirkan agar dalam UU HAM dapat menempatkan suatu perangkat hukum tambahan agar rekomendasi Komnas HAM memiliki posisi yang kuat.
Revisi UU Keempat, Komnas HAM perlu diberi wewenang yang kuat dan memadai berdasar suatu UU yang pasti untuk memanggil paksa suatu institusi yang diduga melanggar HAM. Dalam hal ini Komnas HAM dapat menegur, bahkan memberi sanksi yang memadai tanpa harus menunggu ‘’kerelaan’’ institusi terkait untuk menjatuhkan sanksi hukum. Dititik ini, diperlukan UU HAM yang memberi kewenangan kuat Komnas HAM sebagai garda terdepan penegakan prinsip, asas dan filosofis penegakan HAM.
Kelima, perlunya UU HAM menempatkan Komnas HAM independen, tidak dipengaruhi atau terpengaruh oleh suatu objek kekuasaan tertentu. Sehingga kewenangannya dapat dilaksanakan secara cermat, cepat dan akurat tanpa harus bergantung pada institusi yang lain.
Dalam konteks ini, kita diingatkan oleh suatu peristiwa politik beberapa waktu lalu ketika DPR periode tahun 1999-2004 mengatakan, bahwa kasus ”dugaan” pelanggaran HAM berat Trisakti, Semanggi I, II dan Mei 1998 bukan merupakan pelanggaran HAM berat, tetapi merupakan tindak pidana biasa.
Pertanyaannya bagaimana mungkin DPR dapat mengatakan suatu peristiwa dianggap pelanggaran pidana biasa? Sementara temuan Komnas HAM maupun Jaksa Agung telah menemukan adanya pelanggaran HAM berat atas peristiwa berdarah Trisakti, Semanggi I dan II.
Padahal menurut ketentuan dalam Pasal 43 Ayat (2) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kompetensi DPR hanyalah mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Adhoc kepada Presiden dan tidak berkompetem mendesain suatu keputusan tentang terjadi atau tidaknya pelanggaran HAM terhadap suatu objek tertentu.
Disamping itu, bukankah sebenarnya DPR hanyalah pantas untuk memberi rekomendasi kepada Presiden agar diterbitkan Keputusan Presiden (Kepres) atas dugaan suatu peristiwa pelanggaran HAM yang berat berdasarkan temuan Komnas HAM dan Jaksa Agung. Pendeknya, yang berwenang menetapkan adatidaknya pelanggaran HAM berat adalah Pengadilan HAM Adhoc melalui proses pemeriksaan pokok perkara di persidangan, bukan DPR.
Agar peristiwa serupa tak terulang di kemudian hari terutama oleh DPR periode 2014-2019 mendatang, maka di tengah peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional tahun ini, merevisi UU Pokok HAM menjadi keniscayaan yang tak dapat ditawar lagi untuk meningkatan kesadaran HAM di Indonesia.
(Sumber: Suara Merdeka, 10 Desember 2015)
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.