Oleh Agus Riewanto
Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 telah berakhir dan kini tinggal menunggu putusan final sengketa perselisihan hasil pemilihan (PHP) di Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak 142 gugatan (Koran Jakarta, 25 Januari 2016).
Sistem pilkada serentak tahun 2015 lalu belum cukup sempurna menciptakan sistem yang lebih baik untuk pelaksanaan pilkada serentak gelombang kedua tahun 2017 yang tahapannya dimulai April 2016 mendatang. Hal itu dapat dilihat dari data mutakhir MK sepanjang tahun 2015 yang menerima 140 kasus uji materi UU (judicial review) akan UU No 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada). Gugatan 13 kali berarti terbanyak sepanjang sejarah pilkada.
DPR bersama pemerintah telah bersepakat menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang merupakan rujukan untuk menyusun Rencana Undang-Undang (RUU) tahun 2016. Prolegnas kali ini akan memprioritaskan 40 RUU, di mana 22 di antaranya merupakan luncuran tahun 2015. Hanya 18 RUU yang baru. Selain itu, disepakati pula 32 RUU prioritas cadangan yang dapat diusulkan dalam perubahan Prolegnas 2016.
Sudah seharusnya pemerintah dan DPR berinisiatif membenahi sistem pilkada melalui revisi terhadap UU No 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada dan menempatkannnya dalam prioritas Prolegnas tahun 2016. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) problematikan pilkada serentak 2015 yang harus diperbaiki.
Pertama, pilkada serentak 2015 terkendala realitas tersendatnya pembiayaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Akibatnya memecah konsentrasi KPU dan Bawaslu. Mereka bukan menyiapkan tahapan pilkada dengan baik, tapi sibuk melobi DPRD dan Kepala Dearah untuk bergegas membiayai pilkada serentak.
Tak ketinggalan Menteri Dalam Negeri harus turun tangan menekan pemerintah daerah (Pemda) untuk dapat membiayai Pilkada. Ke depan perlu dipersiapkan revisi UU Pilkada agar pendanaan penyelenggaraan Pilkada dibiayai APBN sebagaimana penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Kedua, perlunya menciptakan norma baru penghapusan syarat pencalonan berdasarkan perolehan suara/kursi di DPRD (threshold) 20%. UU Pilkada perlu membuka kesempatan kepada semua partai politik yang memiliki kursi di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah. Model ini akan mampu mengairahkan elite parpol untuk berani mencalonkan kader-kader parpol mencalonkan diri. Sebaliknya dengan pembatasan syarat dukungan parpol dengan ambang batas (threshold) tertentu akan dapat mengunci parpol tak menggadaikan suaranya kepada calon petahana yang kuat. Akibatnya akan berpotensi melahirkan calon tunggal.
Ketiga, UU Pilkada perlu menyiapkan pranata untuk meringankan syarat dukungan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk calon dari jalur perseorangan (independent). Sebab beratnya syarat dukungan KTP dalam UU Pilkada ini telah memicu calon perseorangan tidak berani mendaftar sebagai calon kepala daerah ke KPU.
Revisi UU Pilkada perlu mengembalikan persyaratan dukungan KTP, seperti dalam UU No 32/2004 Tentang Pilkada yang hanya mensyaratkan 3,5% dukungan KTP dari jumlah penduduk, bukan 6,5-10% seperti dalam UU No 8/2015 Tentang Pilkada saat ini. Dengan meringakan syarat dukungan calon perorangan diharapkan kehadiran calon berasal dari unsur perseorangan kian banyak di daerah dan akan dapat menjadi pengimbang dalam proses politik dan memberi alternatif calon yang dapat dipilih dalam pilkada.
Keempat, perlunya UU Pilkada memberi sanksi hukuman kepada partai politik yang tidak mengajukan pasangan calon berupa administratif dan politik, bukan pidana. Misalnya parpol yang abai menggunakan haknya untuk mencalonkan kadernya dalam pilkada tidak dapat mengajukan calon dalam pilkada berikutnya. Cara ini akan memaksa partai politik dipastikan berpikir ulang tak mengajukan calon walaupun harus melawan petahana yang sangat kuat.
Kelima, UU Pilkada perlu diubah untuk mengembalikan model penyelesaian sengketa pilkada ke MA. Sesuai dengan keputusan MK No 97/PUU-XI/2013 tidak berwenang lagi mengadili sengketa pilkada. Dengan model ini akan dapat menjaga MK hanya sebagai penjaga konstitusi. Ini menghindarkan kolusi seperti dilakukan mantan Ketua MK Akil Muchtar dalam banyak sengketa pilkada.
Keenam, perlu memperluas kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bukan hanya menangani pelanggaran etika penyelenggara pemilu, tetapi juga yang dilakukan pemangku kepentingan seperti parpol, peserta pemilu, media, pemilih dan pejabat negara.
Tak Memadai
Selama ini penanganan pelanggaran hanya diserahkan kepada tiap-tiap institusi asal pelanggar, sehingga tidak ada sanksi memadai. Untuk pelanggaran dari parpol bahkan tak ada dewan etik yang menindaknya. Ke depan diperlukan integrasi lembaga pengawas etika pemilu dalam satu lembaga. Untuk itu perlu dibentuk peradilan khusus mengenai sengketa pemilu yang ditangani Bawaslu. Sedangkan untuk peradilan etika oleh DKPP dengan kewenangan diperluas.
Ketujuh, UU Pilkada perlu direvisi untuk kian mampu mengadili tindak pidana politik uang dalam proses pencalonan berupa mahar maupun jual-beli suara. UU Pilkada baru perlu dirancang untuk memastikan berbagai model pembuktian, proses penyidikan, dan penuntutan hingga proses ajudikasinya dengan membentuk pengadilan khusus pemilu.
Tak tertanganinya politik uang dalam pilkada selama ini karena tak tersedianya pranata hukum praktis dan cepat yang dapat menjerat para “politikus busuk” dalam pilkada. Revisi UU Pilkada ini akan jauh lebih efektif jika dilaksanakan tahun 2016 bersamaan kodifikasi tiga UU Pemilu: UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif, UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden serta UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Ini untuk menyongsong putusan MK No 14/PUU-XI/2013 tentang Penyelenggaraan Pemilu Nasional Serentak tahun 2019.
Dalam praktik ada tiga jenis pemilu (pileg, pilpres dan pilkada) dengan asas penyelengaraan sama: langsung, umum, bebas dan rahasia. Bahkan penyelenggara sama pula: KPU, Bawaslu dan DKPP. Namun uniknya diatur dalam UU berbeda-beda. Di titik ini kodifikasi atau penyusunan beberapa UU Pemilu tersebut dalam satu naskah UU tak dapat ditawar lagi untuk menghindari peraturan pemilu yang tumpang tindih dan revisi tambal sulam.
(Sumber: 4 Februari 2016).
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, Pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS