Oleh Agus Riewanto
BELAKANGAN ini pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) soal ketidakpastian waktu pelantikan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) terpilih hasil pilkada serentak 9 Desember 2015 di 261 daerah menjadi perhatian publik. Paling tidak Mendagri telah memberikan 3 (tiga) pilihan waktu pelantikan.
Pertama, pelantikan dilaksanakan Januari 2016 dengan asumsi untuk mengefektifkan kinerja pemerintah daerah, karena banyak daerah yang kepala daerahnya dijalankan oleh pelaksana tugas (Plt).
Sedangkan Plt tidak memiliki otoritas memimpin daerah secara memadai, dimana Plt tidak dapat melaksanakan politik anggaran daerah dan tidak diperbolehkan mengambil kebijakan strategis untuk kepentingan daerah. Itulah sebabnya sebulan setelah pilkada serentak, Mendagri berkeinginan agar kepala dearah dilantik pada Januari 2016, namun realitasnya tidak dapat dilaksanakan.
Kedua, pelantikan kepala daerah dilaksanakan pada 11 atau 12 Februari 2016 untuk 201 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2015 dan untuk pelantikan wakilnya pada 15 atau 16 Februari 2016. Namun belum ada kepastian apakah akan jadi lantik pada bulan ini. Ketiga, pelantikan kepala daerah terpilih akan dilantik pada Maret 2016 bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada April-Juni 2016.
Sambil menunggu putusan MK terkait dengan Perselisihan Hasil Pilkada (PHP) yang rencanakan MK akan membacakan putusannya terhadap 7 daerah yang mengajukan PHP, karena sebelumnya MK telah menolak terhadap 140 daerah karena tak mampu memenuhi syarat formal gugatan PHP ke MK, yaitu selisih suara antara yang menang dan yang kalah harus mencapai minimal angka 0,5 % – 2 % sesuai ketentuan Pasal 185 Ayat (1) dan (2) UU No 8/2015 tentang Pilkada dan PMK No1 dan 2 Tahun 2015.
Loyalitas
Hal lain pihak Istana Negara menginginkan agar kepala daerah akan dilantik langsung Presiden di Istana Negara. Sesungguhnya loyalitas kepala daerah kepada presiden tidak sama sekali ditentukan oleh tempat pelantikan dan siapa yang melantiknya melainkan ditentukan oleh pranata hukum yang mengaturnya.
Sepanjang para kepala daerah dapat menghayati makna sumpah kepala dearah sebelum pelantikan, sesuai maksud UU No.8/2015 dan di Lampiran Permendagri No. 35/213 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang berbunyi: ‘’Akan memenuhi kewajiban saya sebagai : gubernur/wakil gubernur, bupati/- wakil bupati, wali kota/ wakil wali kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, Nusa dan Bangsa.’’
Seharusnya yang dilakukan pemerintah bukan melantik kepala daerah di Istana Negara, melainkan menyiapkan aneka modul untuk pelatihan dan orientasi kerja bagi kepala kepala daerah sebelum melaksanakan tugas.
Pemerintah perlu merancang aneka model pelatihan prajabatan bagi para kepala daerah, agar dapat bekerja secara sinergis dengan pemerintah pusat dan presiden. Harus diakui banyak kepala daerah yang tidak memiliki pengalaman empiris mengelola birokrasi pemerintah, karena rata-rata berlatar belakang dari politisi dan pengusaha.
Lebih dari itu, berdasarkan ketentuan dalam UU No 8/2015 tentang Pilkada menyatakan, bahwa bupati/wakil bupati dan wali kota/ wakil wali kota dilantik oleh gubernur atas nama Mendagri di ibu kota kabupaten/kota/provinsi dan gubernur/ wakil gubernur dilantik oleh Mendagri atas nama Presiden. Ini sebangun dengan pranata administrasi dalam proses pengusulan administrasi pelantikan kepala daerah.
Dari pranata administrasi pelantikan kepala daerah itu kepala daerah tidak dilantik oleh presiden. Lebih dari itu sesungguhnya pelantikan kepala daerah dilakukan dalam tiga opsi atau tiga tahap adalah merupakan tindakan hukum admistrasi dan hukum ketatanegaraan yang tak tepat.
Karena akan berakibat pada masa jabatan yang berbeda-beda dan otomatis akan meghilangkan esensi dari makna ‘’Serentak’’ sebagai simbol utama pilkada serentak. Berdasarkan politik hukum atau arah kebijakan hukum (legal policy) diadakan pilkada serentak adalah untuk dapat menjaga keajekan masa jabatan kepala daerah, sehingga diperlukan waktu pelantikan yang sama agar nanti dapat mengakhiri masa jabatan yang sama.
Dengan pelantikan serentak, maka dipastikan tidak akan menganggu tenggat waktu pilkada serentak lima tahun berikutnya menuju pilkada serentak nasional tahun 2021 mendatang. Sebagaimana diketahui pada masa transisi ini pilkada pilkada serentak dilaksanakan dalam tiga tahap, yakni pertama, pilkada serentak 2015 untuk 269 daerah. Kedua, pilkada serentak Februari 2017 untuk 101 daerah.
Ketiga, pilkada serentak Juni 2018 untuk 171 daerah. Seharusnya para pengambil kebijakan (Mengadri) pelantikan kepala daerah hasil pilkada serentak 2015 mengedepankan kemampuan untuk memandang pada jangkauan kepentingan jangka panjang, yaitu ‘’keserentakan’’makna pilkada serentak harus disertai keserentakan pelantikannya.
(Sumber: Suara Merdeka, 13 Februari 2016).
Tentang penulis:
DrAgus Riewanto, dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.