Mencegah Perilaku Sadis Aparat Polri

Agus Riewanto Pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta | Opini
Selasa 01 Maret 2016, 04:15 WIB

INSTITUSI Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali memperoleh perhatian intens dari masyarakat karena perilaku brutal dan sadis Brigadir Petrus Bakus, anggota Satintelkam Polres Melawi, Kalimantan Barat, yang tega membunuh dan memutilasi dua anak kandungnya yang masih balita. Menurut pengakuannya, pembunuhan itu dilakukan untuk persembahan kepada Tuhan. Sontak kasus itu menggegerkan masyarakat (Media Indonesia, 27/2). Perilaku brutal dan sadis seperti itu bukanlah yang pertama di Tanah Air, dengan aneka motif dan cara. Yang pasti perilaku seperti itu patut disayangkan dan dikutuk karena tak manusiawi dan biadab. Mungkin nalar publik masih dapat menerima perilaku brutal dan sadis dengan aneka alasan jika dilakukan masyarakat biasa, tetapi jika pelakunya justru aparat Polri, itu menjadi sangat anomali. Sebab polisi merupakan jabatan publik teladan masyarakat yang terkait dengan tugas-tugas kemanusiaan, yakni mengayomi, melindungi, dan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Stephen Thomson (2015), dalam The Nobile Officium, The Extraordinary Equitable Jurisdiction of the Supreme Courts of Scotland, misalnya, menuturkan aparat Polri, selain jaksa, hakim, dan advokat, merupakan profesi yang sangat mulia dan terhormat (officium nobile) di mata masyarakat. Itu sebabnya dipastikan untuk dapat menjadi aparat Polri telah melalui serangkain proses seleksi berjenjang dan ketat, dengan menerapkan aneka model tes dan pelatihan yang cukup memadai. Akibatnya tak seharusnya polisi brutal dan sadis, apalagi terhadap keluarga dan anak kandungnya. Memperbaiki rekrutmen Perilaku brutal dan sadis Brigadir Petrus mencerminkan ada yang salah dalam proses rekrutmen, pembinaan karier, dan miskomunikasi yang terjalin di antara sesama rekan sejawat Polri. Proses rekrutmen, pembinaan karier, dan komunikasi menjadi kata kunci keberhasilan melahirkan aparat polisi yang profesional, empati, dan melindungi masyarakat. Pada banyak kasus, terkait dengan terjadinya tindakan brutal dan sadis anggota Polri itu diduga kuat ada yang salah dalam proses rekrutmen selama ini. Institusi Polri perlu berbenah diri dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) untuk segera mengamputasi tradisi brutal dan sadis aparatnya. Di titik ini, yang harus dibenahi ialah dalam rekrutmen awal untuk dapat menjadi anggota Polri, di semua jejang kepangkatan. Polri harus mengutamakan model pendekatan kekuatan mental dan psikis, bukan hanya kecerdasan dan keterampilan fisik. Sebab profesi polisi memang berbeda dengan profesi aparat hukum yang lain (jaksa, hakim, dan advokat). Polisi memiliki senjata yang setiap saat dapat dipergunakan untuk mencegah dan menindak kejahatan. Akan tetapi, polisi juga diharapkan memiliki keterampilan dalam melakukan komunikasi intens dalam upaya mencegah terjadinya kejahatan. Polisi juga menghadapai aneka tantangan yang luar biasa akhir-akhir ini karena jumlah dan aneka kejahatan yang begitu cepat berkembang. Banyak studi tentang desain kurikulum dan silabus pendidikan Polri di banyak negara maju. Studi Peter Ainsworth (1993) dalam Reza Indragiri Amriel (2007) menuturkan bahwa kurikulum pendidikan rekrutmen polisi di Inggris mengutamakan kurikulum berbasis kekuatan karakter dan psikis untuk menjadi polisi yang profesional, misalnya menguatkan selera humor, keterampilan komunikasi, kemampuan adaptasi, logika awam, asertivitas, sensitivitas, toleransi, integritas, kemampuan baca tulis, kejujuran, dan kecekatan memecahkan masalah. Bukan pada kemampuan fisik belaka. Itu disebabkan tugas polisi terkait dengan tugas-tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang menuntut kekuatan nalar dan ketajaman sisi kemanusiaan. Itulah sebabnya dalam diri polisi melekat karakter yang keras dan tegas, tetapi juga lembut jiwanya dan santun perilakunya. Mengubah pembinaan Berikutnya institusi Polri perlu membenahi aspek pembinaan karier. Harus diakui, salah satu profesi yang cukup berat dan penuh risiko serta tekanan yang tinggi ialah polisi. Sebab ekspektasi publik pada polisi sangat tinggi terkait dengan kemampuannya bukan saja melindungi masyarakat dan menjaga ketertiban sosial, melainkan juga kemampuannya dalam menyelesaikan aneka model kejahatan di tengah masyarakat yang serbacepat berubah. Di tengah suasana demikian yang memungkinkan aparat Polri mendapat tekanan yang tinggi dari masyarakat, ditambah dengan kesejahteraan yang tak cukup memadai, membuat daya psikis polisi sangat mudah stres dan tak jarang berperilaku temperamental. Dalam kondisi demikian, diperlukan model dan sistem pembinaan karier yang berbasis pada kekuatan karakter dan kecerdasan emosi yang terus dijaga dengan cara melakukan pembinaan mental-psikis, disertai dengan kecakapan dalam menggelola emosi. Maka Polri perlu melakukan uji psikologi pada semua anggota polisi minimal setiap tahun dan pada saat kenaikan jejang jabatan dan pangkat kariernya, dengan merancang modul dan silabus serta pelatihan spesifik di bidang kekuatan karakter dan mental. Selain itu, soal minimalisnya tingkat kesejahteraan polisi kerap juga menjadi pemicu tindakan brutal dan sadis polisi. Karena itu, menyejahterakan personel kepolisian menjadi penting dan utama jika kita ingin aparat kepolisian santun, welas asih, dan lurus. Di sinilah relevansinya mengubah sistem penggajian Polri tidak sama persis seperti PNS biasa. Karena itu, saatnya dipikirkan tentang perlunya penambahan insentif dan tunjangan khusus bagi polisi. Agar pembinaan karier anggota Polri dapat berjalan simultan dan fokus, perlu mendorong dilakukan desentralisasi di tubuh Polri karena ternyata kebijakan yang terkonsentrasi di pusat membuat aneka gerak dan langkah kebijakan di daerah sangat lamban. Padahal, tantangan kejahatan dan aneka konflik sangat berbeda di setiap daerah, terutama di Jawa dan luar Jawa. Dengan melakukan desentralisasi, semua arah kerja polisi di setiap daerah akan lebih fokus dan tepat sasaran. Dapat dipikirkan pula dalam hal ini sistem pengajian dan kepangkatan sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Komunikasi dan soliditas Cara lain yang dapat dilakukan untuk dapat melakukan amputasi terhadap tradisi brutalisme dan sadisme aparat Polri ialah perlunya memperkuat basis komunikasi antara atasan dan bawahan, serta di antara rekan sejawat. Dalam banyak kasus, perilaku brutal dan sadis terkait juga dengan kondisi kejiwaan seorang aparat Polri berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Itulah sebabnya tradisi kekerasan, menurut Johan Galtung (1985) dalam Cultural Violence, bersifat laten dan ada dalam diri setiap orang. Maka potensi perilaku brutal dan sadis dapat dilakukan siapa pun. Munculnya perilaku brutal dan sadis dapat dicegah dengan cara mengontrol diri sendiri juga dapat dilakukan lingkungan dalam budaya setempat. Karena itu, tempat bekerja, bersosialisasi, dan beraktualisasi dapat melakukan kontrol terhadap kejiwaan anggota masyarakatnya. Dalam konteks ini, aparat Polri yang mengidap penyakit kejiwaan abnormal (schizophrenia) sesungguhnya dapat diawasi rekan sejawat dan atasan, dengan cara saling mengontrol dan mengingatkan untuk membantu menyelesaikan aneka problem kejiwaan. Di titik ini sesungguhnya sikap peduli, toleran, dan menghargai antarsesama aparat Polri di semua tingkatan dapat meredam perilaku brutal dan sadis. Itulah sebabnya model kepemimpinan Polri menjadi penting untuk diarahkan pada kekuatan peduli dan soliditas antaranggota Polri menjadi satu keluarga besar sebagai manifestasi dari prinsip Polri: Tri Brata dan Catur Prasetya. Polri yang dapat berperan kuat dalam pengayoman, perlindungan, dan pelayanan masyarakat harus terlebih dahulu memperkuat soliditas antarsesama anggota untuk saling peduli dan mengasihi agar terhindar dari perilaku kejiwaan yang brutal dan sadis.

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/31384-mencegah-perilaku-sadis-aparat-polri

About admin

Check Also

Polemik Mural Jokowi 404:Not Found di Tangerang, Pakar Hukum: Bukan Melanggar Simbol Negara

TRIBUN-VIDEO.COM – Mural Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertuliskan 404:Not Found di Tangerang tengah menjadi …

Waiting for the Constitutional Court’s Decision and the Hybrid Election System

By : AGUS RIEWANTO l 16 Mei 2023 The Constitutional Court is convening to decide …

Menanti Putusan MK dan Sistem Pemilu Hibrida

Oleh : AGUS RIEWANTO l 16 Mei 2023 07:37 WIB· Menyimak persidangan di MK yang …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *