OlehAgus Riewanto
Baru saja publik dikejutkan penangkapan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan Ahmad Wazir Nofialdi Mawardi beserta sejumlah pejabat yang tengah pesta narkotika dan obat terlarang (narkoba) di rumahnya. (Koran Jakarta, 15 Maret 2016). Sontak peristiwa ini menjadi perhatian nasional karena telah mencoreng wajah politisi.
Peristiwa ini kian memperburuk citra pejabat di mata publik. Padahal bupati sama dengan pejabat negara lain di pemerintahan daerah (wali kota dan gubernur). Mereka merupakan teladan masyarakat di tengah model stupa paternalistik karena kuatnya budaya pemimpin sebagai motivator dan penggerak. Itulah sebabnya bupati di mata publik tak boleh cacat, harus sempurna.
Karena itu bupati dan pejabat publik lainnya adalah “manusia setengah dewa.” Mereka dipastikan memiliki nalar-logika kuat dan juga moralitas tinggi. Namun realita masih saja terdapat pejabat publik kerdil, kotor dan jahat. Mereka mengonsumsi narkoba yang dilarang hukum, sesuai maksud dalam ketentuan UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Sesungguhnya UU No 35 Tahun 2009 untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan atau pegembangan ilmu pengetahuan. Dia juga untuk mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa. Ini malah disalahgunakan untuk kesenangan sesaat, apalagi sebagai model gaya hidup (life style). Itulah sebabnya UU mengamanatkan agar setiap orang menghindari penggunaan, pengedar bahkan produsen narkotika. UU bertujuan memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor.
Sangat disayangkan seorang pejabat publik yang telah melalui seleksi ketat internal partai politik maupun pemilu masih mengonsumsi narkotika. Penangkapan Bupati Ogan Ilir Sumatera Selatan ini tidak dapat dianggap sederhana. Ini sungguh lonceng keras bahwa penyalahgunaan narkona telah benar-benar tak mengenal tapal batas profesi, usia, dan jenis kelamin.
Nyaris tak ada lagi profesi kedap penyalahgunaan narkoba. Sindikat leluasa menembus seluruh jalur dan jejaring dalam aneka profesi dari anak-anak, ibu rumah tangga, kepala daerah, mahasiswa, guru, dosen, profesor, polisi, jaksa, hakim bahkan anggota DPR. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga tahun 2015 ada 3,2 juta warga menyalahgunakan narkotika dan 15 ribu mati sia-sia setiap tahun atau 40-50 orang setiap hari.
Tak aneh bila narkoba sebagai kejahatana luar biasa karena dilakukan dengan sistematis, menggunakan teknologi canggih, memanfaatkan jejaring sosial rapi, cermat, serta transnasional. Indonesia benar-benar darurat narkoba.
Sesungguhnya sejarah penyalahgunaan narkona dalam bentuk opium telah mulai sejak tahun 1617 melalui pedagang Tiongkok di sejumlah pasar besar Jawa. Karena itulah, genderang perang melawan penyalahgunaan narkoba di Indonsia sesungguhnya telah dimulai sejak penjajah Belanda dengan diterbitkannya Verdoovende Middelen Ordonantie melalui Staatsblad No.275 Jo No.536 Tahun 1972 tentang Peredaran, Penggunaan dan Perdangangan Obat Bius. Sebelumnya Belanda juga mengatur tentang Pembukusan Candu yang disebut Opium atau Verpakking Bepaligen Staatsblad No. 514 Tahun 1972. Itulah sebabnya diperlukan politik hukum sistematis dan terstruktur melawan sindikat narkoba. Antara lain perlu desain perubahan kelembagaan BNN agar memperluas jejaringnya. Dirikan lembaga serupa di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Benar upaya pemerintah menaikkan BNN setingkat menteri.
Pastikan
Mendagri harus memastikan para kepala daerah bebas penyalahgunaan narkona. Rutin adakan tes urine bagi mereka. Ini sekaligus sebagai alat kontrol perilaku pejabat negara di daerah. Komisi Pemilihah Umujm (KPU) dan Badan Pengawas pemilu (Bawaslu) perlu merancang seleksi kesehatan dan pemeriksaaan secara komprehensif kerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia untuk menguji calon kepala daerah sehingga diketahui menyalahgunakan narkoba atau tidak.
Jadi, kasus Ogan Ilir tak terulang. Momentum revisi UU Pilkada Serentak yang diagendakan DPR dan pemerintah harus memasukkan klausul model rekrutmen kepala daerah harus bebas narkoba.
Lembaga-lembaga pendidikan dasar, menegah, hingga pergurungan tinggi melakukan gerakan mencegah sindikat narkoba melalui sosialisasi dan pendidikan. Pemahaman yang komprehensif sejak dini tentang bahaya penyalahgunaan narkoba baik dari aspek ekonomi, sosial, hukum, maupun budaya.
Untuk itu semua kementerian yang terkait dengan masalah pndidikan dan pembentukan karakter, seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Riset dan Dikti harus terlibat secara proaktif dalam proses pencegahan sindikat narkoba ini dengan menyusun aneka bentuk kegiatan produktif, kreatif dan inovatif untuk memotong mata rantai sindikat narkoba ini.
Harus diakui bahwa peran kementerian dalam soal ini sangat minim terutama dalam menyusun peta jalan (road map) pencegahannya melalui kurikulum dan program-program dasar lainnya.
Kasus Ogan Ilir harus menjadi peringatan keras publik terutama pejabat. Mereka harus menandatangani “Pakta Integritas” berjanji tidak mengonsumsi obat terlarang. Jadi “Pakta Integritas” bukan hanya soal korupsi, namun juga penegakan moral antimadat (tidak mabuk, berkecan dengan wanita tuna susila, anti judi dan antinarkoba).
Uji kelayakan dan kepatutanan jabatan-jabatan publik harus seragam dalam soal kesehatan mental dan moral untuk memastikan pejabat bebas dan antinarkoba. Mereka bisa dilacak dari rekam jejak akademik, sumber pendapatan dan moralitas antimadat tersebut.
Ini penting dilakukan sebelum seseorang dapat memangku jabatan publik struktural, politik, maupu fungsional. Jika aneka bentuk pencegahan ini dapat diinternalisasikan secara sistematis dan berkesinambungan, diharapkan sindikat narkoba dapat diminimkan pada seluruh profesi.
(Sumber: Koran Jakarta, 18 Maret 2016).
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS