Oleh Agus Riewanto
Dunia dikejutkan kebocoran data klien firma hukum Mossack Fonseca yang berbasis di Panama oleh International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ). Dokumen memuat tentang dugaan penyimpanan uang dan aset sejumlah elite politisi, pengusaha, pesohor, artis dan atlet ternama dunia (Koran Jakarta, 7 April 2016).
Motif utama menyimpan uang dan aset dalam berbagai bentuk di Panama untuk menyiasati peraturan domestik tentang perpajakan. Dokumen Panama Papers (PP) diduga terkait pencucian uang dan mengemplang pajak. Kebocoran ini menjadi persoalan dunia.
Respons dunia atas kasus ini luar biasa. Reaksi mereka cepat. Contoh rakyat Islandia menuntut Perdana Menteri Sigmundur David Gunnlaugsson mundurkarena namanya tercantum dalam data Panama Papers. Rusia segera mengecek validitasnya karena nama presiden Vladimir Putin tercantum di dalamnya.
Amerika Serikat melalui Departemen Kehakiman bergegas menyelidikinya. Presiden Prancis Francois Hollande bersiap menghukum warga yang melarikan aset ke Panama. Ada 7.800 kasus pajak yang ditangani Prancis tahun 2015 di mana 515 perusahaan yang ada di PP. Australia melalui kantor pajak menggelar penyelidikan terhadap 800 warganya yang disebut dalam PP. Austria juga membuka data wajib pajak negaranya disesuaikan dengan dokumen PP.
Pemerintah Indonesia merespons lewat Menteri Keuangan Bambang yang hanya mempelajari dokumen PP terutama yang terkait dengan sekitar 6.000 warga Indonesia. Mereka diduga kuat menyimpan aset dan dana di Panama dalam berbagai bentuk investasi. Belum diperoleh kepastian apakah langkah itu untuk menghindari pajak.
Respon harusnya lebih sistematis dengan pendekatan hukum lebih tegas untuk optimalisasi penerimaan pajak negara. Ini sekaligus membuka celah dan jalan pengembalian aset-aset atau uang mereka. Apalagi pendapatan pajak setiap tahun tak pernah mencapai target. Contoh target pajak tahun 2014 sebesar 1.072 triliun rupiah, tapi hanya terealisasi 982,9 triliun. Kemudian target tahun lalu 1.294 triliun hanya terkumpul 1.011 triliun. Sedang target tahun ini 1.369 triliun, namun selama kwartal I baru terkoleksi 194 miliar rupiah.
Di titik ini pemerintah harus kreatif menemukan peta jalan (road map) mengoptimalkan penerimaan pajak. Maka, kasus PP menjadi momentum stimulus pemerintah menggenjot. Skema optimalisasi pajak yang realistis mendorong para penyimpan di Panama dan tempat lain karena jumlahnya bisa mencapai 11.400 triliun rupiah.
Maka respons harus cepat dengan segera menyandingkan data Ditjen Pajak dan dokumen tersebut untuk memudahkan prioritas tindakan hukum dan administrasi pajak. Dari sini dapat diketahui, WNI yang dapat dikategorikan memiliki pengaruh politik atau politically exposed person (PEP).
Ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 12/20/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 tentang Penerapan Program Antipencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme antara lain mengatur PEP. Mereka ini adalah “orang yang mendapat kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik. Di antaranya penyelenggara negara. Ini diatur dalam perundang mengenai Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik (parpol). Mereka memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan opearsional parpol.
Bahas
Pemerintah perlu segera melacak dan memvalidasi nama-nama tokoh berpengaruh di antara 6.000 WNI tersebut. Mereka harus diberi sanksi pembayaran pajak sepanjang waktu penyimpanan aset dan uang di luar negeri.
Hal yang sama juga diberlakukan bagi pemegang rekening di luar negeri. Maka segeralah merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang kini di DPR.
Pengampunan pajak merupakan pembebasan dapat berupa pokok pajak dan sanksinya seperti bunga, denda, dan kenaikan. Pembebasan sanksi dapat semua atau sebagian, hanya pidana atau administrasinya. Hal ini untuk meningkatkan penerimaan pajak tahun 2016. Kemudian untuk mengurangi, melunasi tunggakan dan meyetor kekurangan pembayaran SPT. Harapannya mencegah penghindaran dan pegemplangan pajak sehingga dapat memperkuat kepatuhan wajib pajak.
Sayang RUU Pengampunan Pajak ini tak mulus karena DPR menunda pembahasan. Alasannya waktu sidang terlalu sempit, hanya satu bulan. Semua fraksi belum sepakat bahkan belum ada rapat konsultasi dengan Presiden Jokowi. RUU baru akan dibahas pada sidang berikut.
Padahal target RUU ini seharusnya disyahkan 19 Maret lalu karena telah diterima DPR 23 Februari 2016. Seharusnya tak ada alasan DPR menunda pembahasan karena urgen. Dia akan menjadi payung hukum merespons skandal PP. Kini terjadi kekosongan hukum dalam merespons PP dan memprioritaskan mereka yang dikategorikan sebagai orang-orang PEP.
Maka Presiden Jokowi diharapkan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) agar segera dapat menindaklanjuti PP terkait dengan PEP. Daya ikat Perppu setingkat UU dan pada sidang berikutnya presiden tinggal memintakan persetujuan DPR untuk disyahkan menjadi UU.
(Sumber: Koran Jakarta, 14 April 2016)
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS.