Oleh Agus Riewanto
“BELAKANGAN ini publik dikejutkan oleh sikap Pemerintah Pusat yang menderegulasi (membatalkan) 3.143 peraturan daerah (perda) yang menganggu investasi, retribusi, pelayanan birokrasi, dan masalah perizinan. Bukan tidak mungkin perda syariah juga akan dideregulasi. Bagaimana menyikapi kehadiran perda syariah ini di era politik otonomi daerah (otda) dari aspek hukum tata negara.
Desain politik legislasi (pembuatan undang-undang) dalam sistem ketatanegaraan kita telanjur diklaim menganut sistem sentralistis (legal centralism). Dengan demikian, produk hukumnya bersifat sentralistis pula. Artinya Pemerintah Pusat adalah produsen hukum tunggal yang sah dan resmi dari negara.
Produk hukum lain dianggap tak benar dan tak layak dioperasikan. Soetandyo Wigjosoebroto (1994) mencatat bagaimana perilaku Pemerintah Pusat pada paruh era 1950-an yang membonsai dan mengebiri hukum adat dan lembaga-lembaga adat yang hidup dalam masyarakat daerah.
Corak desain sistem legislasi ini masih menjadi ideologi dalam hukum kita yang nyaris tanpa koreksi yang semestinya. Corak ini telah dianggap matang dan mapan sekaligus menjadi keyakinan dalam kurikulum pendidikan hukum.
Padahal seiring dengan perkembangan politik dan dinamika masyarakat dengan aneka tuntutan bagi perwujudan keadilan, ketertiban sosial, dan ketenteraman publik, terutama berkaitan dengan politik Otda melalui UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Seharusnyakah merubah lokus kekuasaan dari pusat ke daerah. Karena itu, perbincangan tentang otda tak lagi hanya berkutat pada soal otonomi ekonomi, politik dan budaya, tapi juga otonomi di bidang hukum.
Hanna Petersen (1985) dalam buku Legal Polycentricity: Consequences of Pluralism of Law mengingatkan, sistem otda justru meniscayakan sistem hukum yang bersifat polisentrisitas (legal polycentricity), yakni sistem hukum yang memberi ruang pada daerah untuk memproduk hukum seluas-luasnya.
Pola ini akan dapat menumbuhkan kreativitas masyarakat daerah dalam menggali nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat guna menemukan panduan moral dan spirit nilai keadilan bagi masyarakat daerah.
Tujuan polisentrisitas hukum ini untuk pengembangan sistem hukum yang menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai refleksi, keinginan, dan perasaan masyarakat.
Asumsi ini didasarkan pada pemikiran, hukum adalah sesuatu yang hidup dalam masyarakat. Bila hukum bukan sesuatu yang hidup dalam urat nadi masyarakat, maka dipastikan hukum itu akan mati. Gagasan polisentrisitas ini tengah menemukan momentumnya di negeri ini saat konsep otda belum selesai dibumikan dalam sistem politik di Indonesia.
Karena itu, adanya fenomena kreatif masyarakat daerah melalui DPRD dan pemerintah daerah (pemda) merancang aneka perda syariah di beberapa daerah, sepanjang perda itu dijadikan rujukan keadilan di daerah ini, benar-benar berasal dari refleksi dan perasaan khusus dari masyarakat daerah setempat.
Tidak Perlu Dirisaukan
Bukan kehendak dari segelintir golongan dan kelompok elit daerah, tidak perlu dirisaukan, apalagi dicurigai hendak mendirikan negara Islam. Bahkan kehadiran perda syariah merupakan keniscayaan.
Karena merupakan implikasi positif dari politik otda yang pasti melahirkan sistem pluralisme hukum di Indonesia. Bukankah sepanjang sejarahnya Indonesia adalah negara yang pernah menganut sistem hukum yang plural, yakni hukum Islam, adat, dan Barat sebelum dilakukan unifikasi.
Menurut Arskal Salim (2003), unifikasi sistem hukum di negara kita sejauh ini dilakukan dalam rangka melakukan integrasi politik negara dengan keyakinan, pluralisme sistem hukum secara serampangan, justru akan mengarah pada konflik. Perbedaan kemudian dipersepsi sama dengan konflik. Karena itu, tidak diizinkan. Untuk mencegah konflik, harus diadakan unifikasi sistem hukum bagi semua warga negara.
Unifikasi sistem hukum kemudian dilihat sebagai satu-satunya metode untuk melayani masyarakat yang pluralistik di Indonesia. Mengingat hukum adat dan hukum Islam akan mengakibatkan pluralisme hukum. Dan karenanya, tidak sejalan dengan unifikasi sistem hukum.
Kemudian eksistensi hukum Islam dan adat dalam sistem hukum nasional harus dibonsai. Jika kini terjadi perdebatan dan pergolakan wacana dalam soal perda syariah lebih terletak pada wilayah kerelaan dan kedewasaan politik Pemerintah Pusat dan para elite politik di negeri ini menerima kenyataan itu.
Pada titik ini diperlukan terlebih dialog intensif dan kesepakatan politik hukum (legal policy) antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam menyikapi kenisyaan lahirnya perda syariah, bukan menunjukkan arogansi dan otoriter secara serampangan untuk membatalkan perda syariah. Paling tidak dalam dua hal.
Pertama, perlu ditegaskan kehadiran aneka produk perda syariah harus dalam bingkai menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dilhami oleh hukum dasar (state norm), yaitu cita-cita luhur UUD 1945 pascaamendemen untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadaban publik. Kedua, pelaksanaan perda syariah di berbagai daerah perlu menuntaskan riak-riak persoalan yang bertautan dengan masalah pluralitas masyarakat.
Dengan keyakinan dasar, otda identik dengan kemajemukan masyarakat yang meniscayakan pluralitas: budaya, etnis, agama dan sumber-sumber norma hukum. Ke depan diperlukan desain politik hukum (legal policy) kreatif untuk bersinergi secara damai terhadap realitas empiris atas politik otda tersebut.
(Sumber: Suara Merdeka, 19 Juli 2016).
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.