Agus Riewanto
Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS Surakarta | Opini
Selasa 02 Agustus 2016, 00:10 WIB
POLEMIK pro-kontra pemberian sanksi pidana hukuman mati (death penalty) akhir-akhir ini menyeruak ke ruang publik seiring dengan sikap pemerintah melalui Jaksa Agung yang telah melakukan eksekusi terhadap 4 dari 14 terpidana kasus narkoba. (Media Indonesia, 30 Juli 2016). Pandangan pro hukuman mati Mereka yang pro hukuman mati berpendapat hukuman mati tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar HAM berdasarkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan perkara uji materiil terhadap UU No 22/1997 tentang Narkotika, yang mencantumkan sanksi pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK ini dijadikan rujukan (yurisprudensi) dalam semua kasus hukum di Indonesia. Amar putusan MK RI No 2-3/PUU-V/2007 Tanggal 30 Oktober 2007 ini menegaskan Pasal 6 Ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) membolehkan diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. MK RI menyatakan Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi Indonesia dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru mengamanatkan kepada negara peserta untuk memaksimalkan penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan narkotika. Konvensi itu juga mengamanatkan negara peserta untuk mencegah serta memberantas kejahatan-kejahatan narkotika yang dinilai sebagai kejahatan sangat serius, terlebih lagi yang melibatkan jaringan internasional. MK RI juga menyatakan penghapusan pidana mati belum menjadi pandangan moral dan menunjukkan bertambahnya negara yang menghapus pidana mati dari hukum nasional. Hukum-hukum internasional, seperti ICCPR, Rome Statue of International Criminal Court, dan deklarasi HAM Eropa, menurut MK, masih memungkinkan diterapkannya hukuman mati. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia sebagai negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah menandatangani Resolusi No 49/1990 Deklarasi Kairo Tentang HAM dalam Islam (Declaration on Human Right in Islam) yang ditetapkan di Kairo, Mesir 5, Agustus 1990, yang antara lain masih mengakui relevansi hukuman mati dalam kasus-kasus hukum khusus. Protokol Kairo itu intinya menegaskan hak hidup ialah karunia Tuhan dan harus dilindungi, kecuali oleh keputusan syariah (pengadilan). MK RI berpendapat Indonesia tidak mengenal penerapan HAM secara mutlak, tetapi dibatasi hak asasi orang lain, dalam hal ini hak korban kejahatan dan keluarganya. Dengan demikian, bagi MK, eksistensi hukuman mati dimaksudkan untuk menumbuhkan simpati dan empati kepada korban kejahatan narkotika, bukan hanya kepada pelaku kejahatan. Realitasnya ribuan korban kejahatan narkotika telah merana dan mengalami penderitaan yang mahaakut. Itu semua akibat peredaran narkotika dengan menggunakan jejaring nasional dan internasional. Selama ini para pelaku kejahatan narkotika (pengedar dan pembuatnya) telah meraup keuntungan ekonomi berlimpah. Sebaliknya, para korban narkotika, terutama pelajar, pemuda dan mahasiswa yang jumlahnya ribuan itu telah kehilangan masa depan dan tengah menanti maut akibat kecanduan narkotika. Alangkah tidak adilnya seandainya hukum hanya berpihak kepada pelaku kejahatan dengan hanya memberikan sanksi hukuman kurungan dan pemenjaraan yang efek penjeraannya layak dipertanyakan. Apalagi, belakangan kita juga menyaksikan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) sendiri peredaran narkotika juga tidak berhenti, malah mewabah. Karena itu, penerapan hukuman mati kepada pelaku kejahatan narkotika ialah hukuman yang setimpal. Pandangan kontra hukuman mati Orang yang kontra hukuman mati berargumentasi bahwa menghapuskan hukuman mati di dunia ialah kecenderungan peradaban dunia sebagai kelanjutan dari pemikiran Cesare Beccaria dalam bukunya yang berjudul On Crimes and Punishment (1967). Dalam kaitan ini, menarik untuk melihat Resolusi PBB No 2857 (1971) dan Resolusi PBB 32/61 (1977) yang mengambil sikap tegas ke arah penghapusan hukuman mati sebagai tujuan universal. Belakangan ini jumlah negara yang termasuk dalam kategori penghapusan hukuman mati sudah mencapai angka 129 dengan perincian 88 negara yang menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan (abolitionist for all crimes), 11 negara menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa (abolitionist for ordinary crimes only), dan 30 negara yang melakukan moratorium hukuman mati (abolitionist in practice). Bandingkan dengan jumlah negara yang mempertahankan hukuman mati (retentionists) yang berjumlah 68. Statistik itu menunjukkan kecenderungan peradaban dunia sekarang ini ialah menghargai hak untuk hidup di atas hak-hak lain terutama yang berkaitan dengan hukuman mati. Sejumlah teori sanksi pidana pun kini telah beralih dari balas dendam ke arah rehabilitasi, reedukasi dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Beberapa ahli berpendapat, di antaranya CA Baylis dalam tulisannya Immorallity, Crime and Treatment, dalam Philosopical Perspective of Punishment (1968), menyatakan yang sesungguhnya dibutuhkan bagi pelanggar hukum ialah pengobatan (treatment) ketimbang hukuman yang berat. Teori bahwa hukuman mati akan dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan masyarakat (Teori Anselm von Feurbach) telah terbantahkan. Ternyata sanksi pidana mati tidak bermanfaat. Hasil penelitian di negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan hukuman mati ternyata tak dapat menurunkan angka kriminalitas dan cenderung meningkat. Di negara yang tidak menerapkan sanksi pidana mati, angka kriminalitas tampak biasa dan cenderung menurun. Jalan tengah atau moderasi Polemik pro kontra terhadap hukuman mati dalam konteks pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia harus dianggap positif karena sebagai bagian dari dinamika masyarakat demokratis yang berciri kebebasan mengemukakan aspirasi dan pendapat secara bebas sepanjang dilakukan secara bertanggung jawab dan berdasarkan argumentasi yang rasional dan tidak dilakukan dengan pemaksaan, apalagi kekerasan. Pemerintah perlu mengambil jalan tengah untuk mengakhiri polemik ini dan segera mendesain pembaruan pemberian sanksi pidana dengan mendialogkan atas dua pandangan berbeda itu. Cara paling elegan ialah melakukan revisi Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan mengatur moderasi hukuman mati dengan mengubahnya menjadi hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara. Syaratnya, terpidana menunjukkan kelakuan baik selama di penjara. Namun, perlu diperjelas secara definitif pengertian kelakuan baik bagi terpidana mati untuk menjamin kepastian hukum dan prinsip prudensial. Tentu saja diperlukan pengawasan ketat oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP), untuk mencatat dan menilai kelakuan baik terpidana. Diperlukan hakim dan jaksa pengawas yang sewaktu-waktu dapat pula mengawasi terpidana secara ketat. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi bias kepentingan dalam tolok ukur kelakuan baik terpidana. Sesungguhnya jika dibaca secara cermat, draf revisi KUHP yang diusulkan pemerintah telah mengarah ke jalan tengah untuk menyudahi polemik ini. Misalnya, dalam draf Pasal 102 ayat (1), dinyatakan pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun jika: a) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan d) ada alasan yang meringankan. Selanjutnya, ayat (2), jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM. Lalu, ayat (3), jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah jaksa agung. Tentu saja moderasi hukuman mati ini perlu terlebih dahulu terpidana menanti grasi dari presiden sebagai manifestasi dari prinsip konstitusional dalam mengubah hukuman mati. Prinsip dasar jalan tengah atau memoderasi hukuman mati tidak dimaksudkan untuk menoleransi kejahatan yang luar biasa, tetapi upaya negara untuk selalu mengedepankan asas praduga bahwa sikap batin penjahat dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu sehingga memungkinkan negara untuk mengubah hukuman dari mati ke hukuman lain.
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/59247-jalan-tengah-polemik-hukuman-mati