Oleh Agus Riewanto
PEMERINTAH dan DPR dalam waktu dekat akan merevisi UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif dan UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden. Revisi tersebut sebagai bagian dari dinamika politik yang terus berkembang sejalan dengan penguatan demokrasi. (Suara Merdeka, 26 Agustus 2016). Salah satu isu krusial dalam revisi ini yang seharusnya menjadi prioritas adalah perlunya penyusunan kodifikasi kitab undang-undang (UU) pemilu sebagai upaya sistemik untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu menuju sistem pemilu serentak. Tahun 2016 adalah momentum tepat untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu secara sistemik melalui kodifikasi kitab UU Pemilu. Sebab tahun 2019 akan dimulai momentum penyelenggaraan pemilu nasional serentak.
Sesuai dengan Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan agar pemilu legislatif dengan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan pada hari dan tangggal yang sama.
Perlunya Kodifikasi
Persiapan penyelenggaraan pemilu serentak nasional yang demokratis, berkualitas dan berintegritas berdasarkan praktik di beberapa negara Amerika Latin dan Eropa membutuhkan tenggat waktu 2 (dua) tahun. Jika dihitung mundur maka tahun 2016 adalah tenggat waktu yang paling realitis untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu serentak nasional tahun 2019 yang tahapannya sudah harus dimulai pada tahun 2017. Persiapan penyelenggaraan pemilu serentak nasional berdasarkan praktik di negara-negara yang telah berhasil menyelenggarakan pemilu serentak nasional pertama-tama dimulai dengan menyiapkan kodifikasi UU Pemilu.
Dalam praktik pemilu di Indonsia memiliki tiga jenis pemilu yang berbeda, yaitu Pemilu Legislatif berdasarkan UU No 8/2012, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan UU No 42/2008 dan Pemilu Kepala Daerah berdasarkan UU No 8/2015. Tiga jenis pemilu itu memiliki asas yang sama, yakni langsung, umum, bebas dan rahasia.
Adapun pintu masuk perekrutan calon legislatif, calon presiden/wakil presiden dan calon kepala daerah/wakil kepala daerah berasal dari partai politik berdasarkan UU No 2/2011. Tiga jenis pemilu itu diselenggarakan oleh lembaga yang sama yakini: KPU, Bawaslu dan DKPP berdasarkan UU No 15/2011, namun uniknya diatur dalam UU yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan kodifikasi UU Pemilu, yakni penyatuan terhadap UU No 8/2012, UU No 42/2008, UU No 8/2015, UU No 22/2007 dan UU No 2/2011 menjadi satu kitab UU Pemilu.
Tujuan Kodifikasi
Menurut CST Kansil (1992) paling tidak mengingatkan, bahwa secara teknis tujuan diperlukannya kodifikasi suatu kitab hukum tertulis antara lain: Pertama, memperoleh kepastian hukum di mana hukum tersebut sungguh-sungguh telah tertulis dalam satu kitab UU. Kedua, penyederhanaan hukum, sehingga memudahkan masyarakat dalam memperoleh atau memiliki dan mempelajarinya. Ketiga, kesatuan hukum sehingga dapat mencegah kesimpangsiuran terh a d a p p e n g e r t i a n hukum yang bersangkutan, kemungkinan penyelewengan dalam pelaksanaanya.
Menurut Alan Wall (2008) dalam, Engineering Electoral Systems: Problems and Possibilities and Pitfalls menyarankan, bahwa sistem pemilu dapat didesain sedemikian rupa untuk memudahkan secara teknis penyelenggaraan pemilu dan menopang jalan demokrasi sesuai dengan tujuan utama dari sistem politik yang hendak dituju oleh negara melalui kesepakatan dalam konstitusinya.
Maka secara filosofis urgensi kodifikasi kitab UU pemilu ini merupakan salah satu cara efektif untuk merekayasa agar tercipta harmoni antara 4 (empat) sistem sekaligus, yakni sistem kepartaian, sistem pemilu, sistem perwakilan dan sistem pemerintahan presidensial yang stabil dan efektif. Harus diakui selama ini, proses reformasi ketatanegaraan dalam desain kelembagaan politik demokrasi tidak dilakukan secara sistematis, melainkan parsial dan tambal sulam.
Maka yang terjadi adalah sistem ketatanegaraan tanpa desain besar (grand design). Akibatnya keempat komponen itu seolah-olah berdiri sendiri dalam garis pemisah tegas yang tidak kompatibel antar satu dengan yang lain. Sistem yang satu tidak menyokong sistem yang lain, bahkan saling bernegasi.
Inkompatibilitas pengaturan sistem pemilu yang dihubungkan dengan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia pascaamandemen UUD 1945 itu amat kentara. Fakta dapat dilihat melalui pemilu tahun 2004, 2009 dan 2014 lalu yaitu :
Pertama, sistem kepartaian Indonesia menganut multipartai sederhana, namun diingkari oleh sistem pemilu yang menganut multipartai ekstrim, karena memilih sistem proporsional berbasis suara terbanyak yang menyebabkan fragmentasi dan polarisasi partai-partai di DPR dan DPRD. Akibatnya sistem perwakilan tidak jelas apakah menganut unikameral atau bikameral. Kedua, sistem pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung, calon diajukan oleh parpol atau koalisi antar parpol, yang menegaskan sistem presidensial, namun sistem ini tidak lazim karena dikombinasikan dengan sistem pemilu proporsional dan sistem kepartaian yang multipartai, akibatnya relasi presiden dan DPR kerap terganggu dan tidak harmonis.
Harmonisasi antarsistem itu, didekati dengan menggunakan desain hukum sebagai panglimanya, bukan didekati melalui medan politik yang berjangka pendek semata. Harmonisasi antarsistem itu, sekaligus secara ideal dimaksudkan mengelola desain kelembagaan politik yang demokratis di bawah payung sistem ketatanegaraan harus dilakukan secara holistik dan komprehensif dari hulu ke hilir.- Kodifikasi kitab UU Pemilu ini akan memotong kebiasaan dan rutinitas revisi tambal sulam setiap 5 (lima) tahunan menjelang pemilu, seperti yang terjadi selama ini.
(Sumber: Suara Merdeka, 3 September 2016).
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto, pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.