Oleh Agus Riewanto
Perdebatan panjang mengenai status terpidana hukuman percobaan dalam pencalonan pemilihan kepala daerah (pilkada) berakhir. DPR akhirnya menyepakati bahwa terpidana percobaan dapat mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada 2017 (sindonews.com, 13/9/2016) .
Konsekuensi hukum dari kesepakatan DPR ini ialah KPU RI harus mengubah PKPU Nomor 5/2016 tentang Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pilkada Serentak 2017.
Dengan kesepakatan ini, ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf f akan menjadi, ”Tidak berstatus sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi tidak termasuk seseorang yang sedang menjalani hukuman masa percobaan.”
Di mata publik, kesepakatan DPR yang membolehkan terpidana percobaan dapat mencalonkan diri ini merupakan sebuah anomali demokrasi dalam pilkada serentak 2017. Pilkada kali ini kualitasnya akan cenderung menurun drastis karena DPR telah menebar racun dalam demokrasi lokal.
Padahal, jamak diketahui, semua pihak berharap rating demokrasi lokal dalam pilkada kian tahun kian meningkat bukan saja dalam prosesnya, namun juga kualitas calon-calon kepala daerah yang dihasilkan dalam kompetisi bernama pilkada ini.
Logika Hukum Sesat
Dari aspek hukum sesungguhnya kesepakatan DPR ini merupakan anomali dan menyesatkan bangunan logika hukum modern dan demokratis. Pertama, DPR salah dalam memahami hal yang paling mendasar dan prinsipal terkait makna ”terpidana” yang disandang oleh orang yang menjalani pidana percobaan.
Jika merujuk pada UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada, di dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf g mengatakan frase ”mantan terpidanalah” yang justru bisa dinyatakan memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah.
Sepanjang melakukan pernyataan diri pada publik melalui media massa pernah menjadi narapidana dan telah menjalani jeda lima tahun.
Sebagaimana dimaksud dalam ketentuan uji materi (judicial review) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Pilkada 2015.
Demikian pula dalam putusan uji materi MK pada tahun 2009 dan 2007 terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada, MK telah mengecualikan yang dilarang menjadi pejabat publik adalah mantan terpidana culpa levis dan terpidana kasus ideologi politik,
bukan yang sedang menjalani pidana percobaan, karena secara logika hukum terpidana percobaan dalam bentuk kejahatan apa pun termasuk yang ringan dan tanpa sengaja (culpa levis) merupakan narapidana bukan mantan narapidana. Namun, tampaknya bangunan argumentasi yang digunakan DPR adalah argumentasi politik, bukan argumentasi hukum.
Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman yang menyatakan terpidana percobaan adalah orang yang menjalani hukuman percobaan mayoritas adalah pelaku tindak pidana ringan, dan terjadi atas dasar ketidaksengajaan dan/ atau kealpaan (culpa levis) sehingga mereka perlu dijamin hak politiknya untuk menjadi calon ke-pala daerah.
Jika menggunakan bangunan argumentasi hukum dengan penafsiran hukum restriktif, orang yang menjalani pidana percobaan atau yang sedang menjalani pidana kategori culpa levis sekalipun tetaplah seorang terpidana dan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No.10/2016 tentang Pilkada.
Kedua, dari aspek teori hukum publik modern, sebagaimana dinyatakan oleh Lon L Fuller (1971) dalam The Morality of Law bahwa peraturan perundang-undangan (termasuk UU Politik) tidakbolehdirancanguntukmenghadirkan pengecualian-pengecualian atau keistimewaan-keistimewaan tertentu.
Peraturan perundangan haruslah dibuat danberlakusecara universal. Bahkan ada gium hokum modern menyatakan: semua orang berkedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law) .
Karena itu, kesepakatan DPR yang memperolehkan terpidana percobaan dapat mencalonkan diri dalam pilkada melalui ”pemaksaan” DPR pada KPU RI untuk mengubah PKPU tentang Pencalonan yang akan memuat pengecualian dan perlakuan khusus pada terpidana percobaan adalah peraturan yang menyesatkan logika bangunan hukum modern.
Mencederai Demokrasi
Dari aspek politik, restu DPR agar terpidana percobaan boleh menjadi calon kepala daerah ini akan berpotensi menyumbang benih pencederaan demokrasi lokal karena tak mampu mengeksklusi dan menyingkirkan calon-calon yang berpotensi melakukan kejahatan dan melanggar hukum untuk dapat berkompetisi di dalam pilkada.
Seharusnya, peraturan perundang- undangan, tak terkecuali PKPU tentang Pencalonan, dirancang untuk dapat menyokong lahirnya pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas alias tanpa cacat dan memiliki masa lalu kelabu sebagai terpidana dalam kasus apa pun, termasuk dalam kasus- kasus pidana culpa levis.
Sekecil apa pun kejahatan yang telah dilakukan calon kepala daerah akan membuka peluang kesalahan yang lebih besar saat sang calon terpilih dan menjadi pemimpin di daerah.
Karena itu, merestui terpidana percobaan boleh mencalonkan diri di dalam pilkada sama maknanya dengan membuka peluang hadirnya pemimpin-pemimpin daerah yang berpotensi menyimpan duri dalam daging yang sewaktu-waktu akan menjadi peluang bagi seteru politiknya untuk menggugat dan mengancam kekuasaannya.
Dengan begitu, terpidana percobaan jika kelak terpilih akan berpotensi mengganggu stabilitas politik lokal. Lebih dari itu, dari aspek moral, pemimpin demikian adalah pemimpin yang gagal memberi suri teladan akan integritas moral pada publik, padahal sistem kemasyarakatan kita yang masih paternalistik masih memercayai pemimpin adalah patron moral yang layak ditiru publik daerah.
Praktik demokrasi di negara- negara maju selalu mengedepankan proses penyiapan kader pemimpin politik nasional berasal dari pemimpin politik lokal yang berintegritas. Artinya di negaranegara demokrasi maju pembibitan pemimpin dilakukan dengan mengedepankan komitmen untuk bersih sejak dari rahim pencalonan.
Jika pemimpin cacat moral sejak di fase ini dipastikan akan gagal dalam memimpin karena telah kehilangan legitimasi dan kepercayaan publik. Dalam praktik politik negara demokrasi modern selalu terdapat kesepakatan publik bahwa pemimpin tak boleh tersandera oleh apa pun di masa lalunya.
Buah Simalakama KPU
Sesungguhnya kesepakatan DPR yang merestui terpidana percobaan boleh mencalonkan diri dalam pilkada ini merupakan keputusan politik DPR sendiri, karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak semula menolaknya.
Akan tetapi, berdasarkan ketentuan Pasal 9 huruf a UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada dalam merancang Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) KPU RI diharuskan meminta persetujuan DPR dalam bentuk rapat dengar pendapat (RDP) dan persetujuan DPR bersifat mengikat KPU.
Karena itu, putusan ini merupakan buah simalakama bagi KPU, kendati memiliki sikap yang berbeda KPU tidak bisa menolak keinginan DPR: jika menolak menungkan dalam PKPU tentang Pencalonan maka KPU dianggap melanggar UU Pilkada, sebaliknya jika KPU menerima keinginan DPR ini maka KPU diklaim oleh publik sebagai lembaga yang tak independen sekaligus tak memiliki sensitivitas terhadap rasa keadilan publik.
Peluang Menolak secara Hukum
Di titik ini, masih terbuka ruang bagi publik untuk menolak kesepakatan DPR ini melalui dua pintu. Pertama, melalukan uji materi ke MK terhadap ketentuan Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10/ 2016 tentang Pilkada karena berpotensi melanggar Pasal 22 E UUD 1945.
Tujuannya agar MK membatalkan ketentuan Pasal ini sehingga DPR tak mudah mengintervensi KPU dalam membuat PKPU. Kedua, melakukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap PKPU tentang Pencalonan yang atas ”paksaan” DPR membolehkan terpidana percobaan dapat menjadi calon dalam pilkada yang bertentangan dengan prinsip dasar dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada.
(Sumber : Koran Sindo, 21 September 2016)
Tentang penulis:
Agus Riewanto Doktor Hukum Tata Negara, Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum dan Progra Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta