Oleh Agus Riewanto
Tak lama lagi Pilkada DKI Jakarta akan digelar. Tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur yang telah mendaftar ke KPU DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat (diusung PDIP, Golkar, Hanura dan Nasdem), Agus Harimurti Yudhoyono- Sylviana Murni (diusung Partai Gerindar dan PKS), dan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (diusung Partai Demokrat, PPP, PKB dan PAN) siap bertarung.
Pilkada DKI merupakan pesta demokrasi lokal, namun bercita rasa nasional karena posisi Provinsi DKI berada di jantung kekuasaan Republik Indonesia.
Itulah sebabnya lanskap pemberitaan Pilkada DKI seolah menjadi pesta demokrasi nasional. Bahkan gegap-gempita dan riuhnya pemberitaan Pilkada DKI tak kalah dengan situasi pemilihan presiden (pilpres). Tak pelak lagi Pilkada DKI bercita rasa pilpres.
Kecurigaan Presiden Tak Netral
Posisi strategis DKI dalam percaturan nasional bukan saja hanya akan membawa dampak pada citra politik nasional. Akan tetapi, secara politik karier menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI berpotensi menjadi anak tangga untuk menapaki karier sebagai presiden RI sebagaimana terjadi pada Joko Widodo (Jokowi).
Jejak Jokowi inilah yang memantik minat elite politik untuk ikut ”bermain” habis-habisan dalam Pilkada DKI.
Karena itu, sesungguhnya di benak tiga pasangan calon dalam Pilkada DKI ini dan elite politik pendukungnya punya harapan akan berkarier semulus Jokowi.
Di mata publik, Presiden Jokowi punya andil yang cukup besar dalam Pilkada DKI, bukan hanya dalam soal komitmennya untuk ikut menjaga agar Pilkada DKI dapat berlangsung damai dan berkualitas, namun yang lebih penting adalah soal komitmen merawat netralitasnya.
Soal netralitas ini menjadi perhatian publik akhir-akhir ini karena Presiden Jokowi punya kedekatan secara ideologis dan keintiman psikologis secara pribadi dengan dua orang calon gubernur DKI, yakni Ahok dan Anies.
Dengan Ahok, Presiden Jokowi kini punya kesamaan ideologis karena sama-sama kader yang disokong PDIP untuk menjadi elite politik. Dengan Anies Baswedan, Presiden Jokowi punya keintiman pribadi yang cukup kuat.
Anies pernah menjabat sebagai menterinya (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) dan pernah terlibat sebagai tokoh sentral dalam pemenangan Jokowi menapaki karier sebagai presiden.
Kedua calon ini pernah berjasa kepada Presiden Jokowi. Maka potensi Presiden untuk membalas jasa kedua tokoh ini dalam Pilkada DKI sangat besar.
Walaupun Juru Bicara Istana, Johan Budi SP, menyatakan Presiden Jokowi akan netral dalam pilkada DKI (KORAN SINDO, 2/10/2016), tetap saja publik menaruh curiga yang amat dalam terkait sejauh mana Presiden Jokowi mampu menempatkan dirinya sebagai pribadi dan presiden RI yang tak berpihak pada kedua calon gubernur ini.
Menyuarakan Presiden Netral
Sesungguhnya urgensi Presiden netral dan tak berpihak pada salah satu calon gubernur DKI ini perlu disuarakan sedini mungkin.
Mengingat sejarah pilkada langsung di Indonesia sejak 2005-2015 yang lalu terekspos bercak noda ”permainan kotor” para calon kepala daerah yang memainkan mesin birokrasi, penyalahgunaan anggaran daerah, pemanfaatan fasilitas pemerintah, dan kedekatan emosi dengan tokohtokoh nasional menjadi pintupintu meraih kemenangan dalam pilkada.
Pola-pola ini di bawah alam sadar telah menjelma menjadi keyakinan publik yang sulit dibantah. Bahwa sangat besar potensi para calon gubernur DKI, terutama sang petahana (incumbent), akan memainkan pola yang relatif sama dan ditambah kedekatannya dengan presiden RI.
Padahal, jamak diketahui presiden adalah sumber ”mantra kekuasaan” yang paling sakti untuk dapat memengaruhi publik, bahkan memainkan aneka bentuk kegiatan dan pencitraan politik untuk menyokong calon gubernur.
Jumat (30/9) lalu misalnya, Presiden Jokowi membuat panggung publisitas politik bersama Ahok saat meninjau proyek LTR dan MRT.
Bagi publik, kegiatan Presiden Jokowi dan Ahok itu tentu bukan merupakan perjumpaan alamiah. Kuat dugaan bahwa selalu ada pesan politik dari setiap konteks perjumpaan antaraktor politik dalam kerangka untuk menaikkan peringkat citra dan popularitas.
Dipastikan aneka kegiatan semacam ini akan kerap dilakukan Presiden Jokowi yang disembunyikan lewat aneka bentuk kegiatan formal kenegaraan, jika tak diingatkan untuk bersikap netral dalam pilkada.
Keuntungan Presiden Netral
Paling tidak terdapat tiga keuntungan sekaligus jika Presiden Jokowi bersikap netral dalam pilkada DKI ini. Pertama, Presiden Jokowi akan dikenang publik sebagai negarawan (statesman) sejatikarenamampu menempatkan dirinya sebagai seorang bapak bangsa yang melindungi dan bersikap yang sama pada semua orang.
Atas nama negara, Presiden harus mampu menjamin bahwa Pilkada DKI dapat berlangsung secara adil dan demokratis.
Bukankah ketika dia menjabat sebagai presiden berarti dia telah menanggalkan semua atribut ideologi parpol, kedekatan emosi, dan aneka ikatan primordial.
Relevan untuk diingat pesan dari Manuel L Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina (1935- 1944) yang pernah mengatakan: ”My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins. ” Kalimat yang sama pernah pula diucapkan oleh Presiden AS John F Kennedy (1961-1963).
Kata bijak ini mengajarkan pada setiap pemimpin politik untuk menyudahi keinginan pribadi untuk loyal pada ideologi parpol dan ikatan primordial lain ketika ia telah terpilih untuk memanggul tugas negara.
Sikap inilah yang seharusnya ditunjukkan Presiden Jokowi dalam Pilkada DKI. Kedua, netralitas Presiden Jokowi dalam Pilkada DKI akan menjadi teladan publik, di mana kini publik telah kehilangan tokoh publik sebagai sandaran moral politik.
Hampir semua elite politik hari-hari ini telah menggadaikan harga dirinya untuk memihak dan hanya menolong pada kelompoknya serta juga garis ideologi parpolnya.
Negeri ini sedang dan tengah dikelola elite politik yang mengarah pada penguatan pengotak-kotakan golongan dan ikatan primordialnya.
Lihatlah, realitasnya kini hampir semua lembaga negara tengah dikaveling para elit politik satu gerbong ideologi dan berusaha untuk membuat dinasti-dinasti kecil untuk menggenggam aneka proyek dan keuntungan ekonomi politik untuk menyokong jalannya roda partai politik.
Karena harus diakui pembiayaan parpol sangat mahal, sementara sumber pendanaan parpol sangat terbatas, sedangkan parpol dirancang oleh UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik sebagai organisasi nirlaba.
Maka jalan satu-satunya adalah memanfaatkan aneka sumber keuangan dari pundi-pundi aneka lembaga negara yang digawangi oleh kader-kader parpol.
Ketiga, secara politis sebenarnya tak cukup menguntungkan bagi Presiden Jokowi untuk menyokong atau bersikap tak netral pada salah satu calon gubenur DKI ini, karena siapa pun pemenangnya dipastikan akan menjadi pesaing Jokowi dalam Pilpres 2019 mendatang.
Karena Pilkada DKI sejak awal hanya dipandang sebagai ajang percobaan para elite politik untuk menjajaki tangga menuju Pilpres 2019 mendatang.
Pertimbangan rasionalitas politik kompetitor ini seharusnya menyadarkan Presiden Jokowi bahwa posisi kursi presiden tak akan dibiarkan tetap digenggam Jokowi hingga dua periode.
Tradisi jabatan presiden dua periode ini sebagaimana dialami oleh SBY (2004-2009 dan 2009- 2014) tampaknya tak akan terulang di era ini.
Karena pola, cara, taktik dan aneka ragam model pemenangan Jokowi telah direkam dengan baik oleh lawan-lawan Jokowi yang kini tengah menjadi calon dalam Pilgub DKI atau elite politik di belakang tiga pasangan calon.
Menjaga Indonesia dari Pilkada DKI
Itulah sebabnya pilihan untuk netral dalam Pilkada DKI seharusnya menjadi cara paling bijak dan elegan bagi Presiden Jokowi, karena sesungguhnya sikap Presiden ini menjadi garansi masyarakat dunia, bahwa Indonesia telah mampu menjadi negara demokrasi yang besar.
Sebab, demokrasi nasional sesungguhnya dimulai dari praktek demokrasi lokal, seperti dinyatakan oleh Tip ONeill (1982) bahwa ”all politics is local,” maknanya jika praktik politik lokal telah senafas dengan prinsip-prinsip demokrasi maka dipastikan politik nasional akan bernafas secara naluri demokratis pula.
Jangan biarkan Pilkada DKI diracuni oleh ketidaknetaralan Presiden Jokowi. Jakarta adalah Indonesia, maka saatnya Presiden Jokowi menjaga demokrasi Indonesia dari Pilkada DKI ini.
( Sumber: Koran Sindo, 04 Oktober 2016)
Tentang penulis:
Agus Riewanto Doktor Hukum Tata Negara, Pengajar pada Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta