Oleh Agus Riewanto
AKHIRNYA calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Bareskrim Mabes Polri.
Kasus Ahok memiliki implikasi atau konsekuensi hukum, baik untuk publik Indonesia sebagai warga negara maupun Ahok selaku pribadi dan calon gubernur DKI.
Implikasi hukum bagi publik adalah bahwa kasus ini tidak lagi berada dalam ranah politik, tetapi telah bergeser ke ranah hukum pidana dan hukum tata negara. Maka seharusnya tak perlu lagi ada gerakan massa seperti demonstrasi untuk menuntut kasus ini diproses hukum.
Publik tinggal mengawasi dan menagih agar kasus ini ditingkatkan posisinya dalam proses ajudikasi, yaitu diterbitkanya Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) kepada tersangka untuk memenuhi alat bukti sehingga lengkap (P21) agar dapat dinaikkan ke kejaksaan dan pengadilan.
Implikasi hukum bagi publik berikutnya adalah, polisi dalam proses menetapkan tersangka melalui mekanisme gelar perkara terbuka terbatas dengan menghadirkan dan memeriksa 14 laporan, 29 saksi, sembilan ahli pidana, 15 ahli agama, 10 ahli bahasa, dan lima ahli lain.
Cara ini tak lazim dalam KUHAP, namun dilakukan oleh polisi karena kasus Ahok dianggap luar biasa. Itulah sebabnya pada suatu ketika dapat saja publik atas nama hukum dalam kasus-kasus tertentu, meminta polisi berlaku adil dengan melakukan gelar perkara terbatas serupa.
Bisa dibayangkan, betapa sulitnya polisi jika semua kasus pidana umum diminta gelar perkara terbuka terbatas. Selain memakan biaya mahal dan menghabiskan energi, tidak semua kepolisian di Indonesia siap melakukannya.
Padahal tuntutan publik untuk meminta gelar perkara ini seharusnya tak boleh ditolak polisi, karena selain ada preseden (peristiwa hukum serupa), juga karena sesungguhnya Ahok adalah warga negara yang sama berkedudukannya di depan hukum dengan rakyat biasa.
Implikasi bagi Ahok sebagai pribadi adalah, kasus ini baru berada dalam ranah penyelidikan menuju penyidikan, maka dapat berkonsekuensi kasus pidana ini dihentikan jika penyidik (polisi) dalam perkembangan menghentikan karena tidak terdapat bukti kuat untuk dilanjutkan ke kejaksaan.
Dalam penghentian penyidikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sesuai Pasal 109 ayat (2) KUHAP dan Pasal 7 ayat (1) huruf i jo Pasal 109 ayat 92 KUHAP dan penuntut umum (kejaksaan) dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SKPP) atau Jaksa Agung demi kepentingan hukum dapat mengeluarkan Depoonering atau Sponering sebagaimana terjadi dalam kasus Cicak Vs Buaya (KPK-Polri) dengan tersangka Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Implikasi pribadi bagi Ahok yang lain adalah, Ahok dapat mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka ini ke pengadilan negeri (PN) karena hal ini diatur dalam KUHAP dan diperkuat oleh Putusan MK No.21/PUUXII/ 2014 dan terdapat yurisprudensi PN Jakarta Selatan, di mana hakim Sarpin Rizaldi pernah mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan tersangka KPK Komjen Budi Gunawan (BG).
Sebagai Cagub DKI
Adapun implikasi hukum bagi Ahok sebagai calon gubernur DKI adalah, ia tidak otomatis gugur sebagai calon sesuai imperatif ketentuan Pasal 88, Pasal 163, Pasal 43, Pasal 53, dan Pasal 191 UU No.16/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Keguguran calon hanya disebabkan jika ia melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman lima tahun dan telah berkekuatan hukum tetap sebelum pemungutan suara.
Bahkan Ahok dan partai politik (parpol) pendukung dilarang mengundurkan diri dan menarik dukungan, karena akan diberi sanksi berat.
Selain pidana penjara 3-6 tahun, juga denda uang Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar. Dalam posisi tersangka sekalipun, UU Pilkada masih menoleransi seorang calon untuk dilantik sebagai kepala daerah terpilih.
Kecuali telah berstatus sebagai terdakwa, ia dapat dihentikan sementara setelah dilantik dan jika telah berkekuatan hukum tetap, diberhentikan langsung setelah dilantik.
Keguguran calon dalam pilkada tidak disebabkan karena melakukan tindak pidana umum, namun karena melakukan pelanggaran UU Pilkada yang bersifat khusus (lex specialis).
Misalnya melanggar Pasal 73 Ayat (2) tentang politik uang atau melanggar Pasal 71 Ayat (2) dan (3) jika seorang petahana menyalahgunakan kewenangnan (abuse of power) dalam bentuk merancang program dan kegiatan pemerintah daerah yang menguntungkan dirinya atau mengganti pejabat di lingkungan pemda yang diduga untuk menyokong kemenangannya. Dengan demikian proses Pilkada DKI tidak terpengaruh status tersangka Ahok.
Kini kita tinggal menunggu supremasi hukum kasus Ahok ini, bukan supremasi politik. Sepanjang belum berkekuatan hukum tetap, adalah kewajiban publik untuk tidak menjustifikasi bahwa seseorang pasti bersalah karena berdasarkan KUHP dan KUHAP, kita menganut asas praduga tak bersalah (presumption of Innocence).
(Sumber: Suara Merdeka, 21 November 2016)
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto SH MA, dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Surakarta