Oleh Agus Riewanto
SIDANG pengadilan perdana dugaan kasus penistaan agama dengan tersangka calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) telah digelar pada 13 Desember 2016 lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto. Proses persidangan kasus ini bukan hanya menjadi perhatian publik nasional, melainkan juga publik internasional setidaknya beberapa media asing menjadikan sebagai headlines-nya, antara lain New York Times, The Washington Post (USA), dan The Guardian (Inggris).
Fokus perhatian publik pada sidang kasus ini ingin membuktikan dan menguji seberapa kuat institusi pengadilan dan para hakimnya mampu bersikap imparsialitas (ketidakberpihakan), yakni, semua warga negara diperlakukan secara sama dan adil di depan hukum tanpa prasangka atas dasar perbedaan apa pun.
Hal ini merupakan prinsip dasar tegaknya hukum (rule of law) dan proses penegakan hukum di pengadilan (due process of law) menuju pengadilan pidana yang adil (fair trial).
Tantangan Hakim
Sesungguhnya pengadilan kasus dugaan penistaan agama ini bukan untuk yang pertama, namun telah kerap terjadi hanya saja kasus Ahok ini sangat berbeda karena bersangkut-paut dengan isu politik menjelang Pilkada DKI Jakarta. Akibatnya banyak pihak berkepentingan dalam kasus ini.
Itulah sebabnya kasus ini menjadi tantangan tersendiri bagi hakim dan institusi pengadilan karena menjadi penentu salah dan benarnya seseorang telah melakukan tindak pidana sesuai hasil penyidikan Polri dan dakwaan jaksa sebagaimana dimaksud dalam KUHAP.
Fokus perhatian dan harapan publik kini ditujukan pada hakim karena sesungguhnya inti tegaknya hukum di tangan hakim.
Dengan demikian hakim menjadi kunci utama untuk dapat menutup rapat dan menyudahi sebuah kasus tindak pidana melalui putusannya yang adil dan memenuhi rasa keadilan masyarakat berdasarkan fakta-fakta, alat bukti, saksi di persidangan serta keyakinan hakim.
Dalam tradisi hukum disebut sebagai sidang pengadilan judex fictie, yakni kemampuan para pihak yang berperkara untuk mampu meyakinkan hakim agar dapat memutus perkara sesuai dengan fakta persidangan berdasarkan alat bukti yang dihadirkan para pihak.
Publik berharap hakim dalam mengadili kasus ini tidak terpengaruh oleh opini publik yang cenderung bersifat menjustifikasi bahwa terdakwa dalam kasus ini pasti bersalah dan dihukum.
Dalam khazanah hukum kerap kali hakim dalam membuat putusan heurastic atau mental hourtcut sehingga putusan hukumnya cenderung bias hanya ingin menguntungkan salah satu pihak yang berperkara karena kuatnya opini publik.
Padahal jauh hari DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi manusia) PBB pada tahun 1948 telah menegaskan bahwa Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang; setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas proses peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.”
Ketentuan DUHAM ini kemudian diterjemahkan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 pascaamandemen yang menegaskan bahwa, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut Steven Lubet (1998) dalam Judicial Dicipline and Judicial Independence, mengingat bahwa yang dimaksud kekuasaan kehakiman yang merdeka itu setidaknya mengandung tiga nilai dasar, yakni adil (fairness), tidak berpihak (impartiality), dan berdasarkan kejujuran moral (good faith).
Fairness maksudnya bahwa hakim dalam memutus perkara haruslah memberi kesempatan yang sama dan terbuka kepada semua pihak untuk didengar tanpa mempertimbangan aspek status sosial para pihak berperkara.
Impartiality maksudnya hakim yang merdeka adalah hakim yang dalam membuat putusan hukum tidak terpengaruh dan bebas dari tekanan publik dan kekuasaan politik tertentu.
Good faith maksudnya hakim dalam memutus perkara harus berdasarkan kejujuran moralitas masyarakat dan bersedia menanggung risiko atau akibat atas putusannya baik yang bersifat personal, politis maupun ekonomi.
Maka di titik ini profesi hakim adalah profesi yang sangat mulia (nobile officiun) sepanjang sang hakim bekerja berdasarkan perintah nurani, bukan atas dasar pesanan dan tekanan opini publik.
Putusan hakim dalam semua perkara tak berdiri sendiri, namun berkait dengan kemampuan dan kemauan masyarakat terutama pihak-pihak yang berperkara untuk menerima apa pun putusan hakim.
Karena ketidakpatuhan dan ketidaktaatan masyarakat pada putusan hukum akan dapat berakibat pada tak berwibawanya negara hukum (state of law) sebagai inti dari adanya pengadilan. Putusan hakim dalam kasus Ahok ini merupakan ujian bagi negara hukum Indonesia.
Itulah sebabnya sebagai bangsa yang beradab yang mempercayai demokrasi dan hukum sebagai pilar jalannya negara, maka hari ini dan beberapa waktu ke depan kita sedang diuji mampukah kita tetap mempertahankan konsensus, bahwa demokrasi tanpa hukum akan timpang.
Sebaliknya, sistem hukum yang baik adalah yang imparsialitas. Keduanya merupakan mutualis-simbiosis yang harus bergandegan secara simultan dan sistematis.
(Sumber: Suara Merdeka, 20 Desember 2016)
Tentang penulis:
Dr Agus Riewanto, pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Me gusta la información útil que proporcionas para tus artículos. Agregaré tu blog a favoritos y lo veré una vez más aquí con frecuencia. ¡Estoy razonablemente seguro de que me contarán muchas cosas nuevas aquí mismo! ¡Buena suerte para los siguientes!