LIPUTAN KHUSUS
Senin, 5 Maret 2018 | 00:00 WIB
Penulis: SuaraMerdeka.com
Aparatur Sipil Negara (ASN) selalu menjadi isu seksi dalam setiap pemilihan kepala daerah. Jumlah yang potensial sebagai pendulang suara, memiliki kekuasaan untuk mobilisasi melalui regulasi, serta kedekatan secara psikologi dengan calon petahana menjadikan mereka rawan untuk dimanfaatkan.
MASAkampanye Pilgub Jateng telah dimulai 15 Februari lalu. Namun, kurang dari sebulan kampanye, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah telah mencatat ada puluhan laporan dari Panitia Pengawas (Panwas) Kabupaten/Kota. Empat PNS ditambah 19 kepala desa dan camat diduga melakukan pelanggaran netralitas. Ada yang datang di acara kampanye dan ada pula yang diduga datang di acara deklarasi pasangan calon.
Istri Gubernur Ganjar Pranowo, Siti Atikoh yang berstatus PNS, juga sempat diklarifikasi oleh Bawaslu Jateng. Menurut Pakar Politik asal Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Dr Agus Riewanto SH MH, pilkada kali ini paling rawan untuk memanfaatkan ASN sebagai mesin pemenangan pasangan calon lantaran paling banyak calon yang berasal dari birokrat.
”Dari 117 daerah yang menggelar pilkada serentak Juni mendatang, berdasar pendataan saya terdapat 154 orang calon yang berasal dari birokrat. Mereka ini berpotensi untuk memainkan ASN menjadi mesin pemenangan paslon,” katanya.
Jumlah tersebut terdiri atas 3 orang calon gubernur, 6 orang wakil gubernur, 61 orang calon bupati, 56 orang calon wakil bupati, 16 calon wali kota dan 12 orang cawawali. Jumlah tersebut, lanjutnya, belum termasuk para petahana yang maju dalam Pilkada.
Sesuai Pasal 4 Ayat 15 PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, PNS dilarang untuk memberikan dukungan pada pasangan calon kepala daerah dan wakilnya. Plt Asisten Pemerintahan dan Kesra Pemprov Jateng Heru Setiadhie mengatakan aturan itu harga mati bagi PNS. Dukungan tak boleh diberikan dalam bentuk apapun.
Baik terlibat dalam kegiatan kampanye, menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan, membuat keputusan yang menguntungkan salah satu pasangan calon, ataupun mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan.
Sosialisasi Larangan
”Netralitas itu wajib. Jika tidak netral bisa dikenai sanksi sesuai Pasal 118 UU Nomor 10/2016. Pejabat negara, ASN dan kepala desa yang sengaja melanggar bisa dipidana penjara paling singkat satu bulan dan paling lama enam bulan dan atau denda Rp 600 ribu dan paling banyak Rp 6 juta,î kata Heru, kemarin. Heru menegaskan, ASN tak boleh memihak parpol mana pun maupun pasangan calon siapa pun.
Fokus ASN tetap pada pelayanan publik dan menyukseskan program-program pemerintah yang telah direncanakan. Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jateng Dadang Somantri mengatakan, pihaknya telah menyosialisasikan larangan-larangan yang dilakukan ASN pada masa Pilkada ini.Tak hanya pada ASN namun juga pegawai honorer di Pemprov Jateng.
Meski sebenarnya honorer tak masuk dalam aturan tersebut, namun mereka diminta melakukan hal yang sama. Lantaran secara moral mereka membantu tugas-tugas kedinasan ASN di Pemprov. Tujuannya, semua pegawai Pemprov baik ASN maupun non-ASN fokus pada pelayanan. ”ASN harus benar-benar netral.
Termasuk di medsos. Konsentrasi penuh pada pelayanan,” kata Dadang. Lalu bagaimana tanggapan Gubernur Petahana Ganjar Pranowo soal netralitas ini? Ia mendukung penuh. Namun diakuinya ada aturan yang tidak pas jika PNS tetap harus netral jika suaminya menjadi calon kepala daerah. ”Ya pasti istri saya (Siti Atikoh) milih saya.
Sudah cuti di luar tanggungan negara tapi foto tidak boleh, mendampingi juga tidak boleh, kelihatannya ada sesuatu yang tidak pas. Kelihatannya saat ini saya ini seram sekali,” katanya. Siti Atikoh sempat diklarifikasi oleh Bawaslu Jateng karena mendampingi Ganjar mendaftar di KPU sebagai bakal pasangan calon.
Setelahnya, Ganjar mengatakan ia menelpon Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Asman Abnur dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk mempertanyakan pelarangan tersebut. Setelah itu keluarlah SE Menpan RB tanggal 2 Februari yang membolehkan PNS untuk mendampingi istri/suami yang nyalon untuk melakukan kampanye.
Namun kebolehan itu tidak mutlak tapi ada batasannya. Komisioner Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran Pemilu Bawalsu Jateng Sri Wahyuni Ananingsih menyatakan salah satu objek pengawasan Bawaslu atau Panwas adalah pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab, pegawai ASN harus memiliki sikap netral, artinya harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Untuk pencegahan atau meminimalisasi dugaan pelanggaran netralitas pegawai ASN, ia menyatakan, Bawaslu berupaya melakukan upaya seperti sosialisasi terkait dengan aturan tentang netralitas pegawai ASN bagi para pegawai ASN di lingkungan Pemerintah Daerah. Sosialisasi dilakukan secara masif tidak hanya oleh Bawaslu Provinsi namun juga Panwas di tingkat kabupaten/Kota.
Kemudian, koordinasi dengan stakeholder. Selain itu, kami menyediakan tempat yang dinamakan sebagai ”Pojok Pengawasan” yaitu suatu tempat atau ruang di setiap kantor Bawaslu maupun Panwas yang di dalamnya berisi berbagai informasi terkait dengan pemilu.
”Tujuan penyediaan tempat ini adalah memberikan akses yang mudah bagi masyarakat untuk memperoleh informasi terkait pemilu.” Bawaslu juga melaksanakan pengawasan melekat terhadap kegiatan-kegiatan yang berpotensi melibatkan pegawai ASN.
Pencegahan pun senantiasa dilakukan oleh sebelum dilakukannya penindakan. Dia mengungkapkan saat ini sudah ada dugaan pelanggaran netralitas pegawai ASN di beberapa daerah yakni di Kabupaten Brebes, Kabupaten Kudus, Kabupaten Banyumas, Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kota Pekalongan dan Kabupaten Jepara.
Atas adanya dugaan pelanggaran tersebut Panwas telah melakukan penanganan. ”Sesuai dengan aturan yang ada, maka jika terbukti Panwas memberikan rekomendasi kepada pejabat yang berwenang dengan tembusan kepada Komisi ASN di Jakarta.”
Jika terbukti, lanjut dia, mereka akan dijerat pasal 71 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undnag-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan kepala daerah.
Dalam pasal itu disebutkan pejabat negara, ASN, kades dan perangkat desa tidak boleh melakukan kegiatan yang menguntungkan salah satu pasangan calon. Untuk pelanggaran Pasal 71 Ayat 3 sanksinya pidana. Ancamannya penjara dan atau denda.
Sesuai Surat Edaran Menpan No B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN pada Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2018, Pemilihan Legislatif Tahun 2019, dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019, larangan bagi PNS adalah melakukan pendekatan terhadap parpol terkait pencalonan sebagai kepala daerah ataupun wakil. Memasang spanduk yang mempromosikan dirinya sebagai bakal calon kepala daerah.
Kemudian, mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon kepala daerah dan mengikuti deklarasi bakal calon kepala daerah. ”Larangan lain adalah mengunggah menanggapi atau menyebarluaskan foto/gambar bakal calon kepala daerah atau pun hal lain berkaitan dengan pencalonan.
ASN juga dilarang melakukan foto bersama dengan bakal calon kepala daerah dengan mengikuti simbol tangan atau gerakan untuk keberpihakan. Kemudian, menjadi narasumber kegiatan atau pertemuan partai,” paparnya.
Jika dugaan pelanggaran terkait netralitas ASN tersebut terbukti melanggar ketentuan pidana pemilu maka yang bersangkutan pegawai ASN tersebut bisa dikenakan juga sanksi pidana. Misalnya dugaan pelanggaran Pasal 4 angka 15 huruf (a) PP No.53/2010 jo Pasal 70 ayat (1) UU No.10/2016.
Atau dugaan pelanggaran Pasal 4 angka 15 huruf (c) jo Pasal 71 ayat (1) UU No.10 Tahun 2016. Jika dugaan pelanggaran itu terbukti maka yang bersangkutan bisa dikenakan tidak saja sanksi administrasi namun juga sanksi pidana.
Pasal 4 angka 15 PP No.53/- 2010: PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah dengan cara seperti terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah, menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye.
Kemudian membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
Selain itu, dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang/uang kepada PNS dalam lingkungan kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat.
(Hanung Soekendro, Arie Widiarto, Evi Kusnidya-23)
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/70109/netralitas-asn-dalam-pilkada-diuji