Jumat 18/5/2018 | 01:00
Oleh Dr Agus Riewanto
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan pascapengeboman tiga gereja Surabaya, pelaku Dita Oeprianto dan keluarganya pernah bergabung Islamic State of Irak and Syria (ISIS), sebuah organisasi radikal yang hendak mendirikan negara Islam di Irak dan Syiria dengan cara-cara teror dan kekerasan. Dita Oeprianto merupakan orang pertama organisasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Surabaya.
Negara perlu memperhatikan pernyataan Kapolri dengan segera menyiapkan regulasi untuk mencegah warga negara Indonesia (WNI) terlibat dalam ormas radikal luar negeri. Bahkan berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, cukup banyak WNI pulang dari Suriah untuk berjihad. Jumlahnya 1.100. Sekitar 500 WNI masih di Suriah. Setengah lainnya, dideportasi ke Indonesia.
Aspek hukum yang sangat urgen untuk melawan meluasnya gerakan ISIS dan organisasi yang berafilisai ISIS seperti serangan bom di Surabaya kemarin dilakukan kelompok JAD dan JAT. Mereka pendukung utama ISIS Indonesia. Maka, pemerintah dan DPR perlu segera mengesahkan RUU Antiterorisme yang telah diusulkan sejak tahun 2016 untuk menggantikan UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Respons hukum ini untuk mengatasi secara efektif dan efisiensi jumlah migrasi WNI ke negara lain untuk bergabung dalam satu gerakan teror seperti ISIS.
Kini, gerakan terorisme tak hanya bersifat sporadis, namun telah mengarah pada keinginan untuk mendirikan sebuah negara. Warganya bersifat global dari berbagai negara dengan mengatasnamakan agama dan ideologi tertentu. Pemerintah perlu tegas atas kelemahan dalam mengatasi jumlah migrasi WNI ke luar negeri untuk bergabung pada gerakan teror internasional. Itulah sebabnya, kehadiran UU Terorisme baru menjadi perhatian serius. Pantauan terhadap negara-negara tujuan WNI tergabung dalam gerakan terorisme global ditingkatkan. Sementara itu, Kemendagri perlu kian memperkuat data kependudukan untuk memantau gerakan mereka.
Di sisi lain, Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) dan Kominfo perlu mempersiapkan road map pencegahan gerakan ISIS dan organisasai radikal lain dalam negeri melalui pemantuan jejaring media sosial. Internet memang rawan disalahgunakan untuk mengembangkan terorisme global. PPATK juga perlu memperluas jangkauan pemeriksaan transaksi keuangan ke arah dana-dana mencurigakan yang diduga untuk pengembangan ISIS.
Semua kegiatan ini tak bisa dilakukan secara parsial satu kementerian atau lembaga Negara. Ini harus dilakukan secara terpadu dan sistematis. Untuk mewadahi mekanisme kerja kementerian dan lembaga negara diperlukan payung hukum yang sangat mendesak. Sebab UU No 15/2003 tak lagi memadai.
Mendesak
Pengesahan RUU Terorisme makin mendesak. UU baru ini untuk menolak gerakan antiterorisme global, mencegah mengakarnya gerakan teror di tanah air yang mendorong bermigrasinya WNI ke dalam jaringan teror internasional. Sejak dibentuk, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror untuk menangani gerakan radikalisme telah menangkap lebih dari 500 tersangka terorisme. Uniknya, 80 persen di antaranya kaum muda usia produktif. Ini menunjukkan, tindakan teror yang bersumber dari gerakan ideologis tertentu, termasuk ISIS, telah menjadi idola di kalangan muda.
Padahal di tangan kaum mudalah, budaya inklusif, multicultural, dan demokratis hidup subur. Meluasnya ISIS harus dicegah karena tak manusiawi dengan dalih ideologi Islam yang bahkan dibenci mayoritas muslim dunia. Gerakan ISIS dapat dikategorikan sebagai kekerasan politik. Ini setara dengan kerusuhan, huru-hara, pemberontakan, revolusi, perang saudara, dan pembantaian. Mereka juga mempublikasikan aksi kekejaman lewat media sosial untuk mengundang simpati internasional. ISIS juga merancang agitasi sosial, agama, dan kemanusiaan untuk mengikat militansi. Mereka menebar kebencian dan menciptakan kepanikan global.
Gerakan ISIS dan ormas serupa jelas pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pemerintah perlu merancang aneka program strategis untuk mencegah yang humanis. Kofi Annan (2002) mengatakan, “While we certainly need vigilance to prevent acts of terrorism, and firmness in condemning and punishing them, it will be self-defeating if we sacrifice other key priorities, such as human rights…” (Kendati kita tentu saja perlu selalu siaga untuk mencegah aksi-aksi terorisme, dan teguh dalam mengutuk dan menghukum para pelakunya, kita akan membuat diri sendiri kalah apabila mengorbankan prioritas kunci lainnya seperti HAM …”).
RUU Antiterorisme perlu untuk memberangus dan melumpuhkan gerakan ISIS serta organisasi seperti JAT atau JAD. Mereka juga bisa dicegah oleh BNPT bekerja sama pergurungan tinggi untuk mengkaji secara serius variabel identitas guna menemukan potensi akar gerakan ISIS dan oraganisasi sealiran. Dicari mengapa mereka mudah memperoleh simpati di negeri ini, terutama kalangan muda.
BNPT bekerja sama dengan pemerintah daerah (Pemda) membuat peta aspek geopolitk daerah yang diduga berpotensi memiliki indeks human development (HDI) rendah seperti miskin, bodoh, dan apolitis. Ini biasanya relatif memiliki kecenderungan dekat dengan kelompok-kelompok radikal mengatasnamakan ideologi dan dogma tertentu.
Warga di kawasan HDI rendah biasanya merasa tidak mendapat keuntungan dari kemakmuran pembangunan dan akses keadilan ekonomi. Maka, usaha pemahaman akar persoalan terorisme menyimpulkan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial merupakan persoalan mendasar yang harus diselesaikan terlebih dulu dalam mencegah terorisme, termasuk ISIS, JAD dan JAT.
Penulis Pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS