Oleh Agus Riewanto
Selasa, 22 Mei 2018 | 03:04 WIB
BARU saja KPU RI menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pilkada Serentak tahun 2018 sebanyak 150.664.967 pemilih. Sejauh ini masih ada 849.633 pemilih yang dicoret dari DPT, karena belum memiliki KTP Elektronik (E-KTP). Uniknya menurut keterangan Kemendagri hingga tanggal 15 Maret 2018 masih terdapat 6,7 juta penduduk yang belum melakukan perekaman data e-KTP.
Artinya Pilkada serentak yang berlangsung di 171 daerah pada tanggal 27 Juni 2018 mendatang berpotensi untuk menghilangkan hak pilih warga negara karena faktor administrasi. Berdasarkan ketentuan 57 UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada mensyaratkan, dalam hal warga negara Indonesia tidak terdaftar sebagai pemilih, pada saat pemungutan suara menunjukkan E-KTP.
Norma UU Pilkada ini menempatkan syarat administrasi pengakuan pemilih jika telah memiliki E-KTP. Jika individu tidak terdaftar di daftar pemilih, tidak memiliki E-KTP atau surat keterangan, maka KPU tidak bisa memfasilitasi.
Ini karena akan sulit untuk mengonfirmasi atau membuktikan identitas calon pemilih itu. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara.
Hak politik warga negara mencakup hak untuk memilih dan dipilih, jaminan hak dipilih secara tersurat terdapat dalam ketentuan UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3); Pasal 28E ayat (3). Sementara hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6Aayat (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945.
Dalam rumusan pada pasalpasal tersebut tampak jelas, bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminasi terhadap hak pilih warga negara sebagai hak konstitusional (constitusional rights) dalam Pilkada hanya karena terhambat oleh faktor administrasi berupa tak memiliki E-KTP.
Harus dipahami bahwa hak pilih tak boleh diidentikkan dengan daftar penduduk karena masingmasing memiliki dasar hukum yang berbeda. Jika ada warga negara berhak memilih, tetapi tak memiliki e-KTP harus dijamin haknya untuk memilih.
Karena yang disebut pemilih adalah WNI berusia 17 tahun atau sudah kawin dan tak perlu klausul syarat yang lain, selebihnya hanyalah dianggap persyaratan administrasi yang dapat diabaikan. Tapi hak pilih tidak dapat diabaikan. Jika negara abai terhadap hak pilih warga negara, maka ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Sebab sesuai dengan ketentuan Pasal 25 International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR 1966) hak politik warga negara berupa hak pilih adalah hak yang dilindungi. Demikian pula dalam ketententuan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan bahwa ”Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”.
Pasal 43 ayat (1) UU ini, dinyatakan bahwa ”Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.
Kerja Keras
Agar negara tak melanggar hak pilih warga negara, maka Kemendagri perlu bekerja keras untuk melakukan perekaman E-KTP terhadap 6,7 juta penduduk. Jika di bedah secara kuantitatif 6,7 juta pemilih yang belum melakukan perekaman data dalam E-KTP ini paling banyak adalah pemilih pemula atau remaja (umur 17 tahun) yang baru pertama menggunakan hak pilih dan para lansia yang tinggal di pedesaan di luar Pulau Jawa.
Realitas ini seharusnya disikapi oleh Kemendagri untuk mendesain kerja sama dan sosialisasi perekaman E-KTP dengan Dispenducapil di tingkat kabupaten/kota bila perlu dengan melakukan jemput bola door to door ke setiap RT/RW. Jika terpaksa Kemendagri gagal melakukan perekaman E-KTP dalam satu bulan ke depan, maka Kemendargri perlu menerbitkan surat keterangan pengganti E-KTP.
Terbitnya surat keterangan pengganti E-KTP ini perlu pula kesepahaman antara Kemendagri dan jajaran penyelenggara Pilkada Serentak (KPU dan Bawaslu) untuk diakui sebagai syarat dapat menggunakan hak pilih bagi warga negara. Semata- mata untuk menyelamatkan hak pilih warga negara, dan sekaligus menjaga agar Pilkada Serentak 2018 tidak mengundang bom waktu pelanggaran hak konstitusional warga negara. (34)
—Dr Agus Riewanto, Direktur Pusat Kajian Hukum dan Demokrasi (Puskahad), dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta