Progresivitas Penyelesaian Konflik Perundangan

Agus Riewanto Dosen Fakultas Hukum UNS Surakarta | Opini
16 January 2019, 04:10 WIB

PUBLIK dikejutkan oleh sejumlah pihak yang melakukan uji materiel (judivial review) ke Mahkamah Agung (MA) atas terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkum dan HAM) No 32/2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan melalui Jalur Nonlitigasi, yang diduga bertentangan dengan mekanisme konvensional dalam uji materi perundang-undangan.Sesungguhnya lahirnya Permenkum dan HAM No 32/2017 ini merupakan ikhtiar progresif dalam mencari solusi alternatif ketika terjadi konflik norma antarperaturan perundangan di Indonesia. Pada pokoknya Permenkum dan HAM ini mengatur, jika terdapat peraturan perundang-undangan yang bertentangan baik secara vertikal maupun horizontal yang menyebabkan timbulnya konflik norma hukum, konflik kewenangan antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah, menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat dan pelaku usaha, serta menghambat iklim investasi, usaha, dan kegiatan ekonomi nasional dan daerah dapat diajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui jalur nonlitigasi ke Kemenkum dan HAM.Realitasnya saat ini terdapat 62 ribu regulasi, mulai UU, PP, perpres, keppres, permen, dan perkada saling tumpang-tindih yang menghambat dalam pengambilan keputusan strategis dan kebijakan negara, yang mengakibatkan terhambatnya pembangunan.Bahkan berdasarkan data dari Kemenkum dan HAM dalam kurun waktu 3 tahun terakhir (2016, 2017 dan 2018), terdapat 7.898 peraturan perundang-undangan baru yang diundangkan. Dari angka tersebut, peraturan menteri/badan/lembaga/lembaga pemerintah nonkementerian, merupakan peraturan yang paling sering dibentuk, yaitu sebanyak 6.258. Data ini menunjukkan jumlah peraturan perundangan di Indonesia mengalami obesitas akut yang memerlukan cara progresif dalam penyelesaian konflik antarnorma peraturan perundangan.Itulah sebabnya kehadiran Permenkum dan HAM ini tidak bertentangan dengan mekanisme uji materi secara konvensional, yakni di MA dan MK. Karena publik justru diberi ruang alternatif progresif secara nonkonvensional melalui mekanisme mediasi dan dialog. Lebih dari itu, Permenkum dan HAM ini hendak memfungsikan hakikat Menteri Hukum dan HAM sebagai institusi tunggal yang melakukan sinkronisasi, koherensi, dan harmonisasi antarberbagai perundangan sebelum dan sesudah diundangkan dalam lembaran negara atau berita negara.Di titik ini sesungguhnya kehadiran Permenkum dan HAM No 32/2017 merupakan panasea dan oase di tengah situasi politik-hukum penyelesaian konflik norma peraturan perundangan di bawah undang-undang di MA, dirasakan publik tak progresif karena beberapa alasan; pertama, berbiaya mahal, dalam mengajukan permohonan uji materi ke MA dipungut biaya sebesar Rp5 juta.Kedua, proses sidang uji materi tertutup sehingga publik tak mampu ikut terlibat dalam proses persidangan. Ketiga, memakan waktu yang lama, uji materi di MA baru dapat diputus selama 14 hari. Keempat, eksekusi putusan MA membutuhkan waktu 90 hari yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Keempat, MA bersifat pasif hanya menerima permohonan uji materi tidak melakukan kajian secara aktif terhadap norma perundangan yang bertentangan untuk dibatalkan.Permenkum dan HAM progresif
Sangat berbeda dengan Permenkum dan HAM No 32/2017 ini ketika model penyelesaian sengketa normanya tidak melalui jalur hukum normatif, tetapi melalui jalur mediasi dan dialog semacam arbitrase perundangan, model ini progresif karena beberapa alasan: pertama, landasan hukumnya kuat berdasarkan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945, Pasal 4 dan Pasal 5 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara; UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan perencanaaan, pembahasan, pengundangan peraturan perundang-undangan adalah kewenangan Menkum dan HAM; Pasal 2 dan Pasal 3 Perpres 44/2015 Tentang Organisasi Kemenkum dan HAM: fungsi Kemenkum dan HAM adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang peraturan perundang-undangan.Kedua, bersifat aktif dan pasif sekaligus. Artinya Kemenkum dan HAM dalam menyelesaikan konflik norma perundangan adakalanya menunggu pengajuan dari para pihak, tapi juga aktif melakukan kajian terhadap aneka norma perundangan yang berkonflik untuk direkomendasikan di batalkan melalui Presiden.Ketiga, tidak berbiaya, pengajuan sengketa di Kemenkum dan HAM tidak dipungut biaya sama sekali sehingga efektif dan murah. Keempat, proses pemeriksaan dilakukan secara terbuka, dengan para pihak diundang untuk menyampaikan secara langsung argumentasi hukum di muka sidang majelis pemeriksa yang terdiri atas 5 orang (3 orang berasal dari internal Kemenkum dan HAM dan 2 orang ahli dari perguruan tinggi).Keempat, penyelesaian sengketa cepat dan eksekusinya dapat dilakukan saat itu jika para pihak bersengketa bersepakat menyelesaikannya. Jika tidak bersepakat, akan disusun rekomendasi agar presiden selaku kepala pemerintahan memerintahkan untuk mencabut atau memperbaiki peraturan perundangan yang terbukti mengandung konflik norma.Sejumlah kelebihan itulah yang menyebabkan sejak Permenkum dan HAM No 32/2017 ini diundangkan telah 25 orang/lembaga negara/badan publik/perorangan mengajukan sengketa ke Kemenkum dan HAM. Hingga kini Kemenkum dan HAM telah menyelesaikan konflik norma peraturan perundangan sebanyak 5 kasus. Kasus-kasus yang diselesaikan merupakan kasus yang sangat dirasakan manfaatnya, antara lain ganti rugi pengamen korban salah tangkap yang diakukan diajukan oleh YLBHI Jakarta, dan kasus Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Blok Silo Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang juga masyarakat Silo telah bertahun-tahun menolak agar wilayahnya tidak dijadikan lokasi pertambangan, tapi nekat ditetapkan Kementerian ESDM atas usul gubernur tanpa berkoordinasi dengan Bupati Jember. Kemenkum dan HAM mampu menyelesaikannya dengan cara mediasi antara para pihak dan membatalkan WIUP karena terdapat cacat formal.

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/read/detail/210778-progresivitas-penyelesaian-konflik-perundangan?fbclid=IwAR110tTm-UW6ZocZB4cCeUr_nwyGltv8K-jay01Ietd9WJQptC5EV3IxGOI

About admin

Check Also

Polemik Mural Jokowi 404:Not Found di Tangerang, Pakar Hukum: Bukan Melanggar Simbol Negara

TRIBUN-VIDEO.COM – Mural Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertuliskan 404:Not Found di Tangerang tengah menjadi …

Waiting for the Constitutional Court’s Decision and the Hybrid Election System

By : AGUS RIEWANTO l 16 Mei 2023 The Constitutional Court is convening to decide …

Menanti Putusan MK dan Sistem Pemilu Hibrida

Oleh : AGUS RIEWANTO l 16 Mei 2023 07:37 WIB· Menyimak persidangan di MK yang …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *