Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Belum lama publik ini Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menolak sebagai pihak melakukan eksekusi terhadap hukuman kebiri kimiawi bagi pelaku kejahaan seksual terhadap anak.
Sebagaimana diketahui Presiden Jokowi telah menandatangani Perppu No. 1/2006 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan anak. Dalam ketentuan Pasal 81 Ayat (7) Perppu ini pelaku kejahatan kekerasan seksual pada anak dimungkinkan untuk dikenai pemberatan hukuman kebiri kimiawi. Adapun yang dimaksud kebiri kimiawi pemberian obat yang bersifat anti hormon testosteron, pelaku diharapkan kehilangan dorongan seksual. Dilakukan dengan cara menyuntikkan anti androgen, akibatnya terjadi penurunan dorongan seksual. Diharapkan pelaku menjadi tidak ingin dan tidak mampu lagi melakukan hubungan seksual.
Alasan Penolakan PB IDI
Argumentasi mengapa PB IDI menolak menjadi eksekutor terhadap hukuman kebiri ini adalah berdasarkan Fatwa Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran (MKEK) yang ditetapka pada 8 Juni 2016, Fatwa ini menegaskan profesi dokter bertujuan untuk memberikan kebaikan dengan cara menyembuhkan orang lain. Dalam prosesnya, dokter wajib menghormati otonomi pasien. Sesuai dengan sumpahnya dokter tidak boleh berbuat semena-mena, apalagi menyakiti diri sendiri dan orang lain, meski keselamatan dokter tersebut sedang berada di bawah ancamanan. Tindakan kebiri kimiawi dinilai PB IDI bertentangan dengan semangat PB IDI, karena bersifat menganiaya.
Perspektif Politik Hukum
Sesungguhnya dari aspek teori politik hukum (legal policy) klasik sebuah kebijakan hukum baik dalam hal membuat kebijakan Undang-undang (UU) baru yang akan diterapkan di masa mendatang ataupun penghapusan UU lama untuk tidak diterapkan lagi merupakan sebuah pilihan politik hukum negara yang tak boleh ditolak oleh siapapun. Karena penolakan terhadap kebijakan hukum negara berarti negara dalam posisi lemah dan tak efektif. Negara dalam pandangan politik hukum klasik merupakan agen tunggal pembuat produk hukum dalam arti peraturan perundang-undangan dan tak boleh ada aktor lain. Karena itu siapapun yang melawan kebijakan negara dapat dianggap sebagai perlawanan pada negara (disobedience).
Namun dalam padangan teori politik hukum (legal policy) modern negara tidak dianggap sebagai agen tunggal pembuat peraturan perundang-undangan karena negara hanyalah merupakan puncak stupa dari wadah untuk mengakomodasi semua suara dan aspirasi publik terhadap perlu tidaknya sebuah produk peraturan baru untuk diterapkan pada masyarakat atau sebaliknya peniadaan hukum lama untuk dibatalkan pemberlakuannya. Karena posisi negara dalam konteks ini hanyalah merupakan penjaga malam (leviatan) atas semua hal yang diinginkan rakyatnya. Sebab dalam pandangan politik hukum modern, hukum hanya akan efektif berjalan jika hukum itu merupakan cermin dari kehendak rakyatnya. Jika rakyat tak menghendakinya maka hukum tak akan mungkin dapat berjalan efektif. Itulah sebabnya dalam pandangan ini hukum haruslah mengalir sesuai dengan apa yang hidup dalam denyut nadi rakyatnya sesuai adigium politik hukum modern, hukum adalah sesuatu yang hidup dalam masyarakat (living law in society).
Hukum positif tak serta merta dapat diberlakukan secara memaksa dan otoriter. Bahkan dalam pandangan demokrasi modern sebuah hukum positif sebelum berlaku secara umum masih dibuka ruang bagi publik untuk melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang tujuan utamanya adalah untuk menjaga masyarakat agar tak ada satu pihak pun dirugikan atas pemberlakuan sebuah hukum positif.
Mensikapi Penolakan Eksekusi
Dalam menyikapi penolakan PB IDI untuk menjadi eksekutor kebiri karena alasan-alasan profesional dan kemanusiaan sebaiknya pemerintah bijak dalam mensikapinya dengan cara menimbang kembali hukuman kebiri ini dengan menunjukkan hasil kajian yang komprehensif, sehingga hukuman kebiri dapat diterima semua kalangan. Sebab menjadi tak bergigi sebuah kebijakan hukum jika tak dapat dieksekusi. Kendati pemerintah dapat bergeming, misalnya dapat saja eksekutor kebiri dilakukan oleh dokter-dokter di kepolisian atau militer, namun mereka juga adalah dokter yang merupakan bagian dari anggota profesi dokter yang bernaung di bawah PB IDI.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu segera bersikap atas polemik penolakan eksekusi hukuman kebiri ini dengan segera membahasa Perppu ini untuk disahkan menjadi UU atau ditolak. Menurut konstruksi dan pranata konstitusi (UUD 1945) Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 yang memberi otoritas presiden menerbitkan Perppu memberi batasan terbitnya Perppu, jika dalam keadaan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, Ayat (2) Perppu tersebut harus persetujuan DPR; Ayat (3) jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perppu itu harus dicabut.
Sesungguhnya publik di negeri ini pastilah setuju atas pemberatan hukuman bagi predator pelaku kejahatan seksual terhadap anak, akan tetapi masih tersedia sejumlah pilihan hukuman lain yang setara dengan hukuman kebiri, mulai hukuman mati, pembayaran restitusi pada korban, dan terapi psikologi penyembuhan. Sanksi hukuman kebiri dalam perpektif etika kedokteran sebagaimana disampaikan PB IDI berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Adalah tidak tepat membuat sanksi hukuman dengan melanggar HAM.
@@@###@@@
Dr. Agus Riewanto, SH., MA
Doktor Ilmu Hukum
Pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
https://www.indonesiana.id/read/80001/menimbang-penolakan-sanksi-kebiri