Andi Saputra – detikNews
Rabu, 08 Mei 2019 13:17 WIB
Jakarta – UUD 1945 telah memberikan jaminan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah 5 tahun. Selama 5 tahun itu, UUD 1945 membatasi secara tegas alasan pergantian pemerintahan secara sah.
“Pergantian pemerintah sah hanya dapat dilakukan melalui mekanisme konstitusi yaitu lewat 3 cara. Pertama, Pilpres reguler 5 tahun sekali (Pasal 6A ayat 1 UUD 45). Kedua presiden mangkat/meninggal dunia ( Pasal 8 ayat 1, 2 dan 3 UUD, dan ketiga jika presiden melanggar haluan negara melalui impeachment ( Pasl 7A UUD),” kata ahli hukum tata negara Dr Agus Riewanto kepada detikcom, Rabu (8/5/2019).
Dengan alasan di atas, maka menurut Agus, hasutan people power yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintan yang sah dapat dikategorikan makar.
“Karena dari aspek hukum tata negara pemerintahan yang sah dalam sistem presidensial sebagaimana dianut Indonesia memiliki masa kerja tetap (fixed term) 5 tahun sesuai Pasal 7 UUD 1945,” ujar Agus yang juga pengajar UNS Solo itu.
Lalu bagaimana dengan eksistensi Pasal Makar? Eksistensi makar masih diakui dalam sistem hukum Indonesia sesuai putusan MK No.28/PUU-XV/2017 dan Putusan MK No.7/PUU-XV/2017.
“Sesungguhnya masih eksisnya Pasal 87, 104, 106, 108, 110 tentang Makar dalam KUHP bukan untuk memproteksi pemerintah menjadi otoriter melainkan justru melindungi negara menyangkut eksistensi negara agar terhindar ancaman serta melindungi kepentingan hukum dan warga negara,” cetus Agus.
Menurut Agus, hasutan people power yang mengarah pada tujuan penggulingan pemerintahan yang sah, yang dimaksud ‘Pemerintahan’ itu bukan hanya Presiden/Wakil Presiden semata.
“Akan tetapi juga ‘KPU dan Bawaslu’ sebagai bagian dari peran pemerintahan dalam penyelenggaraan Pemilu. Itu sebabnya pelakunya dapat dikenai sanksi hukum berlapis, yakni pasal khusus Makar dalam KUHP, Pidana umum KUHP dan UU ITE,” pungkasnya.
Agus termasuk yang menyepakati people power sebagai tindakan inkonstitusional. Hal itu merupakan kesimpulan Focus Group Discussion yang digelar Kemenkumham dan diikuti para akademisi hukum di Jakarta, Selasa (7/5) kemarin. Tema diskusi tersebut adalah ‘Konsepsi dan Penerapan Pasal-pasal Makar dalam Sistem Hukum Indonesia.
Hadir dalam diskusi itu antara lain Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof Dr Said Karim dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Dr Hibnu Nugroho. Adapun dari pakar hukum tata negara yang hadir antara lain Ketua Pusako Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari, akademisi UGM Dr Oce Madril, akademisi Universitas Udayana Bali Dr Jimmy Usfunan, Ketua Puskapsi Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono, akademisi UNS Solo Dr Agus Riewanto dan akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Jakarta, Bivitri Susanti.
“Hasutan/tindakan/perbuatan ‘people power’ dengan maksud memobilisasi massa untuk menggulingkan pemerintahan yang sah adalah tindakan inkonstitusional yang dapat dijatuhi sanksi hukum,” kata Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) Yenti Garnasih yang juga hadir di FGD itu.
(asp/rvk)