Andi Saputra – detikNews
Rabu, 21 Agu 2019 08:20 WIB
Jakarta – Kegeraman Presiden Joko Widodo atas banyaknya regulasi kembali memuncak dan disampaikan dalam pidato tahunan MPR. Menurut Jokowi, hal itu menghambat pembangunan di sana-sini sehingga perlu penataan legislasi.
Untuk menata regulasi yang amburadul itu, Jokowi mencetuskan akan membentuk Pusat Legislasi Nasional (PLN). Menurut ahli hukum tata negara Agus Riewanto, sebaiknya PLN diisi dari unsur Kemendagri, Kemenkumham, dan Setkab.
“Untuk mewujudkannya presiden sebaiknya tak perlu mengubah nomenklatur Kementerian Negara yang berjumlah 34 kementerian sebagaimana dimaksud dalam UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Presiden cukup meletakkannya di salah satu Kementerian yang telah bisa saja di Kemenkumham RI atau di Kemensesneg atau Kementerian Sekretariat Kabinet,” kata Agus kepada detikcom, Rabu (21/8/2019).
Tujuannya agar lembaga baru ini akan langsung berada di bawah Presiden. Sehingga memiliki dukungan politik yang kuat, memiliki kemampuan koordinasi yang baik dan memiliki daya tawar untuk dipercaya publik.
“Adapun sumber daya manusianya agar efisien dan efektif serta tidak menimbulkan kegaduhan cukup diambilkan dari Ditjen Peraturan Perundang-undangan dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, Deputi Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan Kemensesneg dan Sekretariat Kabinet untuk digabung dalam satu kementerian yang memiliki otoritas tugas mewujudkan lembaga yang dimaksud,” pungkasnya.
Selain itu, juga perlu ditarik unsur Kemendagri. Sebab, selama ini produk Perda juga menjadi sumber kesemrawutan perundang-undangan di Indonesia. Terutama ketidaksinkronan antar Perda dalam persoalan yang sama, sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum, menghambat investasi, dan pelanggaran HAM.
“Itulah sebabnya dalam pembentukan Pusat Legislasi Nasional (PLN) yang ditempatkan dalam kementerian tersendiri tersebut, presiden perlu melibatkan Kemendagri. Terutama Direktorat yang menangani hukum dan pembinaan Perda,” papar Agus.
Menurut Agus, pelibatan Kemendagri ini beralasan kuat karena sebagai institusi yang diberi otoritas pembinaan daerah. Bahkan berdasarkan konsep Otonomi Daerah sesuai dengan UU Otonomi Daerah, pengaturan urusan kebijakan publik daerah diserahkan pada DPRD dan Kepala Daerah dalam bentuk Perda dan Perkada.
“Acapkali produk Perda dan Perkada juga mengalami obesitas yang perlu didesain ulang penataannya agar daerah satu visi dengan pemerintah pusat dalam kebijakan hukum nasional,” pungkas Agus.