Andi Saputra – detikNews
Kamis, 22 Agu 2019 08:24 WIB
Jakarta – 20 Tahun reformasi, perkembangan hukum tata negara terus mengalami dinamika. Salah satunya soal perlu kembali mengembalikan peran Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Mengapa?
“Tujuan utama kebutuhan haluan negara bukan untuk ‘romantisme’ mengembalikan sejarah Orde Baru yang kelam itu, melainkan untuk akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga negara, karena dalam realitasnya pertanggungjawaban kinerja lembaga-lembaga negara pasca Reformasi tidak cukup jelas dalam UUD 1945 akibatnya setiap lembaga negara tak merasa mempertanggungjawabkan kinerjanya setiap tahun kepada rakyat,” kata ahli hukum tata negara Dr Agus Riewanto kepada detikcom, Kamis (22/8/2019).
Menurut Agus, selama ini arah pembangunan nasional tanpa kiblat dan hanya berdasarkan pada visi dan misi Presiden saat kampanye dalam Pilpres. Kemudian disusun secara detail sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Sedangkan RPJM ini didasarkan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sesuai UU No.17/2009.
“Dalam Penyusunan RPJM dan Rencana RPJP tidak melibatkan kepentingan seluruh bangsa karena tidak disusun secara transparan dan tidak melibatkan berbagai komponen bangsa, melainkan hanya oleh segelintir elit parpol pengusung presiden dalam Pilpres dan DPR hasil Pemilu,” ujar pengajar Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo itu.
Maka, kata Agus, di sinilah relevansinya diperlukan upaya sistemik hukum ketatanegaraan untuk memperkuat fungsi MPR. Cara paling elegan untuk membangkitkan haluan negara adalah dengan melakukan amendemen kembali ‘secara terbatas’ terhadap ketentuan Pasal 3 UUD 1945 dengan memberi kewenangan baru MPR untuk menyusun dan menetapkan haluan negara dan mendesain ulang ketatanegaraan kita guna pengembalian fungsi laporan pertanggungjawaban presiden dan lembaga-lembaga negara kepada rakyat (progres report) setiap tahunnya di sidang tahunan MPR, di mana MPR sekali pun juga ikut menyampaikan laporan kinerjanya kepada rakyat.
“Dalam melakukan amandemen terbatas UUD 1945 ini terlebih dahulu perlu konsensus secara nasional dengan melibatkan semau komponen bangsa dan tidak melebarkan amandemen terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 apalagi hendak kembali kepada UUD 1945 asli,” cetusnya.
Menurut Agus, GBHN itu seharusnya tidak dimaksudkan untuk ‘mengancam’ perubahan sistem presidensial dan tidak mengembalikan model mandataris MPR. Sehingga tidak bisa memberi sanksi pada presiden berupa pemberhentian melalui Sidang Istimewa (SI/MPR).
“Melainkan tetap tunduk pada mekanisme pemakzulan (empeachment) yang diatur dalam Pasal Pasal 3 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 7B dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 dengan melibatkan tiga lembaga negara yaitu DPR, MK dan MPR,” pungkasnya.
(asp/rjo)