Solo – Revisi UU KPK dinilai hanya akan melemahkan lembaga anti rasuah. Ahli hukum tata negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riewanto menyebut KPK hanya akan fokus menjadi lembaga pencegahan ketimbang penindakan.
Agus menduga revisi UU nomor 30 tahun 2002 yang diusulkan DPR memiliki agenda terselubung. Menurutnya, korupsi akan semakin merebak ketika revisi UU tersebut disahkan.
“Ini pasti ada hidden agenda dalam revisi UU KPK. Ujung-ujungnya KPK hanya dijadikan lembaga pencegahan, sebagai mitra pemerintah. Penindakan akan dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan,” kata Agus saat dihubungi detikcom, Senin (9/9/2019).
Ada beberapa catatan dari dosen Fakultas Hukum UNS itu. Mulai dari prosedur revisi UU, kata dia, sudah tidak sesuai aturan.
“Harusnya usulan masuk prolegnas (program legislasi nasional) dulu, sesuai UU nomor 11 tahun 2012 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Usulan revisi UU KPK tidak ada dalam prolegnas,” ujarnya.
Dalam revisi tersebut, KPK nantinya tidak lagi boleh melakukan penyadapan tanpa izin dari dewan pengawas. Dewan pengawas ini dinilai berbahaya karena membuka peluang intervensi dari eksekutif.
“Padahal saat ini sudah ada penasihat KPK. Nanti masih ada lagi dewan pengawas. Ini bahaya karena akan banyak mengintervensi tugas KPK,” ujarnya.
Kemudian revisi UU memungkinkan adanya surat penghentian penyidikan perkara (SP3). Padahal KPK berbeda dengan lembaga penegak hukum lainnya.
“Kalau kepolisian dan jaksa bisa SP3 karena ada kemungkinan salah atau kurang bukti. Tapi kalau KPK ini asumsinya selalu benar, karena lewat penyadapan,” kata dia.
Agus mengatakan saat ini nasib KPK berada di tangan presiden. Presiden diharapkan menolak usulan DPR tersebut.
“Tinggal komitmen presiden seperti apa. Kalau tidak ditandatangani, selesai itu masalahnya,” pungkasnya.