Agus Riewanto, Minggu, 15 Desember 2019 | 19:53 WIB
Salah satu arahan Presiden Joko Widodo pada pidato pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2020-2024, menyatakan keinginan pemerintah untuk mewujudkan Undang-Undang (UU) prioritas pemerintah, salah satunya adalah UU Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Hal ini dilakukan sebagai langkah Indonesia untuk mengatasi problem UMKM, antara lain: rendahnya inovasi produk dan riset pasar, terbatasnya akses sumberdaya manusia berkualitas dan hak intelektual. Selain itu, keterbatasan dalam manajemen dan usaha, lemahnya penguasaan teknologi, lemahnya pemasaran, rendahnya kompetensi kewirausahaan dan kererbatasan modal, serta fakta mayoritas UMKM tidak berbentuk badan usaha formal. Omnibus Law UMKM Dalam mewujudkan UU Pemberdayaan UMKM ini pemerintah tengah membuat terobosan hukum mengintrodusir Omnibus Law, yakni menyatukan, menyinkronkan, menyederhanakan dan mengefektifkan agar kelak hanya ada satu UU yang akan menjadi payung pengaturan masalah-masalah pemberdayaan UMKM di Indonesia. Omnibus Law terkait dengan UU pemberdayaan UMKM ini sangat penting dilakukan agar UMKM kian dapat berkembang sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional, terutama penyerapan lapangan kerja. Di Eropa, misalnya, UMKM dianggap sebagai elemen penting dalam perekonomian. Uni Eropa mengklaim bahwa UMKM merepresentasikan 99% bisnis di Uni Eropa. Dalam lima tahun terakhir, UMKM telah menciptakan 85% lapangan kerja dan menyerap 2/3 ketenagakerjaan sektor privat. Data demikian tak kalah dengan peran penting UMKM di Indonesia, Data Kementerian Koperasi dan UKM (2018) menunjukkan bahwa sebesar 55, 21 juta unit UMKM dapat menyerap 101,7 juta tenaga kerja. Dari jumlah angkatan kerja 2018 sebanyak 117 juta orang yang bekerja di UMKM 109,7 juta orang. Fakta di atas memperlihatkan peran UMKM sangat strategis, terutama dalam rangka menampung jumlah tenaga kerja dan secara perlahan dapat mengurangi angka pengangguran. Aturan Badan Usaha UMKM Salah satu problem klasik yang harus terlebih dahulu dibenahi guna pemberdayaan UMKM dengan menggunakan Omnibus Law adalah perlunya pengaturan badan hukum usaha UMKM yang solid dan kuat. Badan usaha dalam perspektif hukum bisnis adalah lembaga atau kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Dalam praktiknya, badan usaha sering dipersamakan dengan bentuk perusahaan. Beberapa bentuk badan usaha yang paling umum di Indonesia adalah commanditaire vennootschap (CV), firma, perseroan terbatas (PT), dan koperasi. Sementara bentuk badan usaha yang tidak lagi umum digunakan dewasa ini antara lain adalah UD (usaha dagang) atau PD (perusahaan dagang). Berdasarkan data dari Badan Ekonomi Kreatif (2018) menemukan 96% UMKM belum berbadan hokum dan tidak memiliki payung hukum. Mayoritas pelaku usaha UMKM tidak berfokus kepada perlindungan hukum dan perkembangan usahanya. UMKM hanya fokus pada keuntungan. Pola bisnis UMKM selama ini sangat sederhana tanpa ada perencanaan pengembangan di masa mendatang. Badan usaha UMKM yang berbasis hukum sangat penting dikembangkan dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia yang tujuan utamanya adalah agar UMKM kerkepastian hukum, stabil dalam menjalankan usaha, profesional, mendapatkan akses pendanaan yang lebih baik, profit yang lebih baik, dan terutama agar dapat meningkatkan penerimaan pajak negara. Lebih dari itu, juga dimaksud untuk dapat menarik minat investor yang sebanyak-banyaknya dari luar negeri serta UMKM terlindungi secara hukum jika mengalami pailit sewaktu-waktu. Problem Hukum Badan Usaha UMKM Problem hukum yang harus dilakukan melalui program Omnibus Law dalam pemberdayaan UMKM terkait dengan pengaturan badan usaha UMKM ini antara lain: pertama, menghilangkan multitafsir dalam hal pemilik dan pihak berkepentingan dengan persekutuan perdata, firma, dan CV, belum terlindungi dan kepastian hukum. Kedua, perlunya mempertegas persekutuan perdata, firma, dan CV sebagai badan hukum di mana selama ini ketiga badan usaha ini tidak termasuk badan hukum dan yang diakui badan hukum hanyalah Perseroan Terbatas (PT). Ketiga, perlunya memperkuat peran pemerintah dalam pengawasan PT, perubahan dasar pendirian PT, struktur permodalan, organ PT, dan keberadaan komisaris lebih up to date sesuai dengan karakteristik UMKM yang memerlukan kebijakan khusus. Keempat, fakta bahwa selama ini belum terintegrasi model pendaftaran badan usaha, maka diperlukan pengintegrasiannya dengan desain birokrasi yang mudah, efektif dan berbiaya murah. Omnibus Law Badan Usaha Tunggal Problem pengaturan badan usaha UMKM ini harus terjawab melalui program Omnibus Law, terutama perlunya kebijakan khusus pengaturan badan usaha UMKM yang kuat, mandiri dan berkepastian hukum. Untuk itu diharapkan ke depan Indonesia perlu memiliki UU tunggal yang mengatur badan usaha UMKM melalui Omnibus Law ini dengan memangkas dan menyederhanakan aneka sistem, kelembagaan dan pengaturan yang tercerai-berai di berbagai macam bentuk peraturan perundang-undangan, baik di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang) dan UU Perseroan Terbatas (UU PT), serta dalam otoritas lembaga negara yang beragam menjadi tunggal. Hal itu agar UMKM benar-benar berdaya dan memiki sumbangsih besar dalam pertumbuhan eknomi nasional. Agus Riewanto, Pengajar Pascasarajana Ilmu Hukum dan Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sumber : Investor Daily
Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul “Omnibus Law Badan Usaha UMKM”