Rabu, 13 Mei 2020 19:57 WIB
TRIBUNNEWS.COM – Kebijakan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi corona menimbulkan polemik.
Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riewanto menyebut kebijakan tersebut merupakan anomali atau ketidaknormalan.
Pasalnya, saat ini pemerintah merealokasi anggaran negara besar-besaran untuk membantu masyarakat miskin yang terdampak wabah.
“Menurut saya kurang tepat, karena posisi kita sedang dalam masa pandemi Covid-19.”
“Sangat anomali dengan kebijakannya sendiri yang merealokasi APBN dalam rangka membantu masyarakat miskin,” ujar Agus kepada Tribunnews, Rabu (13/5/2020).
Agus menuturkan, kebijakan menaikkan iuran BPJS adalah kebijakan yang tidak konsisten.
Di satu sisi, masyarakat yang terdampak corona terbantu dengan pemberian bantuan langsung tunai sebesar Rp 600 ribu atau bantuan sembako.
Namun, dalam kebijakan terbarunya ini, masyarakat juga harus membayar kenaikan iuran BPJS.
“Di satu sisi merealokasi APBN untuk masyarakat miskin yang terkena dampak corona, di sisi lain dinaikkan iuran BPJSnya.”
“Ini tidak konsisten antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain,” tutur Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS itu.
Dibanding menaikan iuran, Agus menjelaskan, seharusnya pemerintah lebih dulu melakukan perbaikan dalam struktur BPJS Kesehatan.
Misalnya data kepesertaan BPJS Kesehatan yang masih perlu dibenahi.
Agus menuturkan hal ini perlu dilakukan agar anggaran BPJS Kesehatan tepat sasaran.
“Selama ini data tentang kepesertaannya ini nggak jelas, antara peserta mandiri yang ditanggung oleh perusahaan swasta atau pun pemerintah,” jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Corona.
Kenaikan ini diatur dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kebijakan pun didorong oleh Jokowi pada Selasa (5/5/2020) lalu.
Kenaikan ini khususnya bagi peserta mandiri yang terdiri dari Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) yang diatur dalam Pasal 34.
Kenaikan pun mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang.
Dikutip dari Kompas.com, berikut rincian kenaikan untuk peserta mandiri kelas I, II dan III:
– Kelas I: Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000
– Kelas II: Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000
– Kelas III: Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000
Untuk kelas III, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500.
Sehingga yang dibayarkan oleh masyarakat tetap Rp 25.500.
Kendati demikian, pada 2021 mendatang subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000.
Oleh karenanya, masyarakat harus membayar kelas III senilai Rp 35.000.
Perlu diketahui, Jokowi juga sempat menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan pada akhir tahun lalu.
Kenaikan itu ia atur melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tersebut, iurannya menjadi:
– Kelas I: Naik menjadi Rp 160.000 per orang per bulan
– Kelas II: Naik menjadi Rp 110.000 per orang per bulan
– Kelas III: Naik menjadi Rp 42.000 per orang per bulan
Namun, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tersebut.
Alhasil, iuran BPJS kembali ke awal, yakni Rp 80.000 per bukan untuk kelas I, Rp 51.000 per bulan untuk kelas II, dan Rp 42.000 per bulan untuk kelas III.
(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Ihsanuddin)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Ahli Hukum Tata Negara Soroti Langkah Jokowi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan: Anomali di Tengah Pandemi, https://www.tribunnews.com/corona/2020/05/13/ahli-hukum-tata-negara-soroti-langkah-jokowi-naikkan-iuran-bpjs-kesehatan-anomali-di-tengah-pandemi?page=4.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Sri Juliati