SOLO – Pengamat Politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto menilai mundurnya Achmad Purnomo sebagai Bakal Calon Wali Kota Solo bukan sekedar tidak setuju Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) digelar saat pandemi wabah COVID-19.
Munculnya putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka sebagai pesaing mengakibatkan peluangnya mendapat rekomendasi dari DPP PDIP semakin tipis. (Baca juga : Mundur dari Bakal Calon Wali Kota Solo, Purnomo Pasrah ke Partai)
“Saya membaca dari aspek politik, dilihat dari gestur dan pesan pesan politik di balik itu, dia ingin mengatakan simbolik bahwa Pilkada Solo telah selesai. Karena hadirnya Gibran secara politik kalkulatif membuatnya tidak berpeluang untuk direkomendasi PDIP sebagai Calon Wali Kota Solo,” kata Agus Riewanto kepada SINDOnews, Jumat (5/6/2020).
Baca Juga:
- 2 Nakes Positif COVID-19 Diduga Terpapar Pasien yang Dirawat
- Tambah Lagi, Dua Tenaga Medis di Solo Positif COVID-19
Sehingga besar kemungkinan pesan politik yang mau disampaikan adalah daripada martabatnya turun karena tidak mendapat rekomendasi, maka lebih baik menyatakan mundur terlebih dahulu. Adanya pandemi wabah COVID-19 menjadi moment sebagai alasan kultural sebagai bentuk kearifannya.
Sebagai orangtua, kata Agus, Purnomo memandang hal itu sebagai bentuk kompetisi. Sehingga lebih baik mundur mengingat secara politik tidak memungkinkan mendapat rekomendasi. Sehingga Achmad Purnomo dinilai tengah menyampaikan realitas politik yang tengah dihadapi saat ini.
Berkompetisi dengan Gibran sebagai anak Presiden, dianggap sangat berat karena secara politik gennya lebih tinggi. Mulai dari aspek popularitas, dukungan politik, dan lainnya. Sehingga untuk memenangkan rekomendasi DPP PDIP untuk diusung sebagai Calon Wali Kota tentunya sangat berat. (Baca juga : Golkar Dukung Gibran Tanpa Syarat di Pilwalkot Solo)
Terkait sikap DPC PDIP Solo yang dinilai masih menginginkan Achmad Purnomo tetap maju, dia menilai karena mundurnya Purnomo karena masih keputusan pribadi. Namun hal itu belum diputuskan dalam rapat organisasi. Selama ini, Ketua DPC PDIP Solo FX Hadi Rudyatmo (Rudy) yang paling keras agar pasangan Achmad Purnomo-Teguh Prakosa yang maju. Terlebih DPC PDIP Solo yang mengusulkan pasangan itu ke DPP PDIP.
“Bagi DPC PDIP Solo, mundurnya Achmad Purnomo mungkin dianggap tidak sehat karena dulu kan sudah mengajukan, kok sekarang tiba tiba sekarang mundur,” terangnya. Sehingga benturan kepentingan antara urusan pribadi Achmad Purnomo dengan urusan organisasi DPC PDIP Solo harus diselesaikan dulu secara internal.
Disinggung mengenai peluang duet Gibran-Purnomo dalam Pilwalkot Solo, secara politik mungkin saja.”Namun kalau dilihat dari gengsi dan marwah politik, masak ada orang tiga kali menjadi Wakil Wali Kota. Rasanya tidak masuk akal,” tegasnya.
Secara regulasi, Achmad Purnomo diakui masih memiliki peluang untuk diusung sebagai Wakil. Sebab ketika pertama kali menjabat Wakil Wali Kota Solo, dalam Undang Undang belum 2,5 tahun dianggap belum satu periode. Proses kepemimpinan di Pemkot Solo dulu mengalami pergantian ketika Jokowi (kini menjadi Presiden RI), terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sehingga FX Hadi Rudyatmo (Rudy) yang semula menjadi Wakil, posisinya naik menjadi Wali Kota Solo. Posisi Wakil Wali Kota Solo kemudian diisi oleh Achmad Purnomo.
Dalam Pilwalkot Solo berikutnya, Rudy-Purnomo kembali terpilih sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota dan menjabat hingga saat ini. “Itu kan secara formal, secara hukum. Secara simbolik orang kan melihat dia (Achmad Purnomo) telah dua kali. Politik itu kan bicara simbolik bukan formal,” paparnya.
Jika maju lagi sebagai Wakil, secara simbolik tidak menarik. Selain itu, marwahnya juga turun karena kembali bersedia menjadi wakil. Sehingga hal itu membuat Achmad Purnomo tidak nyaman dan memilih untuk mundur.