SOLO – Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) di tengah situasi pandemi Covid-19 menghadirkan banyak tantangan bagi pemerintah, aparat keamanan, dan penyelenggara pemilu. Harus ada strategi khusus agar agenda lima tahunan ini bisa terlaksana tanpa risiko.
Penerapan protokol kesehatan yang mutlak harus diterapkan agar pilkada tidak menjadi klaster baru dalam kasus Covid-19. Hingga kemungkinan turunnya tingkat partisipasi maupun potensi pelanggaran aturan kepemiluan.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk “Pilkada Serentak Jateng 2020 Aman dan Bergembira tanpa Provokasi”, yang digelar secara online melalui aplikasi Zoom, kemarin (22/7). Di Jateng, pilkada serentak akan digelar di empat kota dan 17 kabupaten.
Diskusi yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Surakarta bersama Polda Jateng, KPU Provinsi Jateng, dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) tersebut menghadirkan empat pembicara. Yakni Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Luthfi, Presidium Mafindo Anita Wahid, Ketua KPU Provinsi Jateng Yulianto Sudrajat, dan Pengamat Politik dan Hukum UNS Agus Riwanto.
Pengamat Politik dan Hukum UNS Agus Riwanto mengatakan, Covid-19 berpotensi memundurkan dan menyebabkan cacat demokrasi. Sebab, Covid-19 dengan beragam aspeknya mengganggu pelaksanaan praktik-praktik demokrasi.
“Ada banyak agenda demokrasi yang tidak bisa dijalankan dengan baik. Salah satunya anggaran pilkada berpotensi membengkak. Ini risiko bila tetap menggelar pesta demokrasi di tengah suasana Covid-19,” ujarnya.
Salah satu tantangan terberat adalah tingkat partisipasi masyarakat rendah. Sebab, mereka takut untuk berkerumun, datang ke TPS untuk memberikan hak suara, maupun terlibat dalam kegiatan lain terkait pemilu.
“Risiko lain dari pilkada di masa pandemi adalah kompetisi tidak fair. Ada kemungkinan penyalahgunaan bansos, kampanye yang tidak maksimal, dan money politic makin tinggi. Maka di Pilkada 2020 ini, yang paling berpotensi menang itu incumbent,” imbuhnya.
Presidium Mafindo Anita Wahid menyoroti fenomena hoax yang selalu marak di setiap helatan pilkada. “Hoax sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Namun saat ini, dengan perkembangan teknologi digital, hoax jadi lebih mudah disebar, jangkauannya luas dan cepat, biayanya murah. Kerap berisi tentang black campaign atau informasi menyerang pihak tertentu. Di Indonesia, isu agama, ras, ideologi paling banyak untuk materi hoax,” jelasnya.
Anita berharap, agar semua stakeholder bergandeng tangan, mencegah informasi palsu beredar luas di masyarakat. “Misalnya KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu. Harus lebih cermat mendengar info yang beredar di masyarakat,” tuturnya
Ketua KPU Jateng Yulianto Sudrajat menegaskan, pihaknya terus menyosialisasikan terselenggaranya pesta demokrasi yang gembira tanpa dinodai hoax. “Kami punya kultur adiluhing. Jangan sampai pemilu menjadi semakin liberal, makin mengutamakan kelompok, sehingga proses kontestasi menjadi sangat gaduh,” ujarnya.
Terkait pelaksanaan pemilu di tengah pandemi Covid-19, Yulianto menyebutkan, tantangannya sangat berat. Sebab, penyelenggara pemilu dituntut untuk bisa menjalankan seluruh tahapan pilkada dengan nyaman, sehat dan selamat.
“Penerapan protokol kesehatan menjadi mutlak. KPU sudah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 06 Tahun 2020 tentang Pilkada di Masa Pandemi. Di situ mengatur seluruh tahapan yang harus mematuhi standar protokol kesehatan,” katanya.
Terkait pengamanan pilkada, Kapolda mengatakan, ada 14.575 personel akan diterjunkan Polda Jateng, ditambah backup 720 anggota Brimob. Mereka akan mengamankan 44.385 TPS di seluruh wilayah yang menyelenggarakan pilkada.
“Satgas yang akan menangani dugaan pelanggaran pilkada sudah dibentuk di bawah komando ditreskrimsus. Nanti akan selalu berkoordinasi dengan Gakkumdu. Setiap ada laporan dugaan akan kami lakukan penyelidikan secara cepat dan profesional,” ujar mantan Kapolresta Surakarta ini. (atn/bun/ria)
(rs/atn/per/JPR)